ESAI DIRI

1 0 0
                                    


SAYA BUKAN SANG RAJA

Sepuluh ribu tahun, sang raja arif bijaksana yang maharaja mahakuasa. Yang memiliki segalanya, dunia dan dirinya. Yang disayangi dicintai rakyatnya. Yang nyaman dalam tinggi singgasananya, menjulang menembus langit. Yang kini jatuh, terjerembab dalam liang jurang gelap hina. Sebab jatuh bukan keinginan orang-orang mereka saja, melainkan orang-orang disekitarnya yang melakukannya.

Saya lahir dan besar dari tepian tengah Indonesia, Pulau Lombok – Nusa Tenggara Barat. Hingga delapan belas tahun terakhir ditempa dalam sosial yang serupa, kini saya jejakkan telapak saya di Bumi Pasundan. Saya Maul (Maulana Mahfud), seorang "Pekerja Berdedikasi, Pemimpi Kesejahteraan Abadi", seorang ENFJ-A Protagonis, seorang plegmatis-melankonis, dan dominan multitalent. Saya seorang yang berprinsip, namun mudah luluh sebab dimintai tolong. Saya orang yang kaku namun senantiasa lembut jika tidak ada alasan untuk egois. Saya berpikiran panjang dan dalam, namun teman-teman saya selalu menyelamatkan saya dari jurang yang disebut rasa takut. Saya bukan dari keluarga miskin, malah justru terpandang. Saya bukan kalangan marginal, bahkan cenderung borjuis. Saya bukan bagian yang terpinggir, jelas karena saya selalu sempat dalam lingkaran yang tepat. Karena itulah saya membenci posisi saya.

Sudah jauh jurang gelap kini ia tempati. Sang raja bukanlah lagi raja, ia sama saja rakyat jelata. Anehnya, mereka yang di bawah cenderung mengumpul sedang yang di atas sebagai penjelajah, menjamah semua relung muka bumi. Yang membuat sadar adalah bahwa selama ini tidak ada yang pernah sendiri. Entah ketika jaya ataupun melarat. Hanya berbeda dalam kepeduliannya. Sesama yang lemah senantiasa saling melindungi, sesama yang kuat akan saling menyaingi.

Saya seorang pembelajar diri, saya mencipta karakter diri saya, saya memperbaiki setiap retak masa lalu saya, dan menyajikan apa yang dunia perlukan dibanding apa yang orang-orang ingin lihat. Saya seorang introvert sebelumnya, cenderung diam namun pandai, cenderung mengamati dan menghindari, cenderung latah tentang apa yang saya hadapi. Ketika saya empat belas tahun, saya tenggelam dan hanyut di tengah laut pantai. Jika tanpa teman saya yang menolong, bukan seperti ini saya akhirnya. Sama seperti kata orang-orang tua, ketika kita hendak mati maka tidak ada artinya lagi semua ambisi dan asumsi untuk keuntungan diri.

Ketika saya putih abu, saya adalah seorang pemimpin. Saat putih biru pun begitu, namun ego saya terlalu tinggi hingga segenggam potensi saya sia-siakan. Sebab itu visi ini saya ciptakan : orang-orang yang membentuk diri saya sampai saat ini tidak pernah meminta balasan apapun, lalu apa yang hendak saya balaskan dengan diri saya yang sebaik ini ? jawabannya ialah sebuah komitmen. Sayangnya masa putih abu saya tidak pernah sejalan dengan visi saya. Manusia adalah makhluk ego, apa yang sudah ada akan terus ada, mencari yang baru lebih penting dari pada memperbaiki yang salah, dan hidup nyaman jauh lebih indah dari hidup penuh tantangan. Hingga masa putih abu berakhir, orang-orang terus mengenal saya sebagai sosok yang mengabdi dan berkompetensi. Sebaliknya, saya selalu mengecap diri saya sebagai si gagal yang sebenarnya. Apa yang saya coba kendalikan selalu berbalik arah, apa yang saya rencanakan selalu berbuah masalah. Hingga titik ini, visi hidup saya perbaiki. Segala ke-random-an adalah kepastian dunia. Seorang perancang bukan lah tuhan, mereka hanya menggabungkan pola-pola yang serupa. Seorang pemimpin bukanlah pemimpi, karena mereka ada peng-realis mimpi-mimpi. Saya kini semakin dekat akan jati diri saya, apa yang saya minati, dan apa yang harus saya jalani. Saya adalah seorang worker. Beri saya pekerjaan apapun, akan saya kerjakan dengan sungguh dan tekun. Sebab jika pemimpin mengenal anggota dari namanya, maka pekerja mengenal sesama pekerja dari kerja kerasnya.

Mereka yang di bawah senantiasa mengejar yang terang. Ingin memanjat tebing harapan, namun tidak pernah ada yang pantas untuk berada di atas sana. Namun kini situasi jauh berbeda, Sang raja adidaya berdiri di depan mereka, sebagai harapan yang kelak akan mengantarkan mereka pula ke atas sana. Sebaliknya sang raja, terenyuh dan tergugah. Mereka yang di bawah tidak seburuk yang dibayangkan, dan mereka yang di atas tidak jauh lebih baik dari apa yang biasa diceritakan. Sebab mereka mengerti satu sama lain, jika persaingan membawa perselisihan, kepedulian membawa kerukunan.

Belum genap dua puluh tahun hidup, saya sudah belajar lebih, berubah lebih, berpengalaman lebih, walau semua itu berawal dan berakhir buruk. Saya tidak pernah menempa diri saya sebagai seorang yang gagal lebih dari yang lain, juga sebaliknya. Saya hanya seorang pemuda belantara, sepuluh tahun terasingkan, sisanya terkejut akan rimbanya dunia. Dunia tidak pernah jadi baik selama kita buruk. Mereka yang menang akan jadi kebanggaan, yang kalah selalu berakhir sebagai pembelajar, sedang yang biasa-biasa saja selalu dinomor-duakan. Saya punya mimpi, sebagaimana para pemimpi dan impiannya. Kita sementara dan dunia itu fana. Ruh kita memang abadi, tapi jejaknya tidak bisa terus ada. Ada peraih nobel atau seorang revolusioner yang namanya dipahat di atas gunung, menjadi sembahan buku-buku, namun dunia tidak bisa jadi seindah hikayat-hikayat yang sudah ada. Setidaknya dunia sudah lebih baik, hanya kita saja yang terus meminta lebih.

Selepas wisuda nanti, saya berniat untuk menghampiri belahan timur dan tengah nusantara. Memahami pelik permasalahan mereka, menjadi bagian dan ikut merasakan manis pahitnya menjadi yang ternomor-duakan. Bibit bukannya belum ada, generasi baru sudah banyak menelurkan perubahan. Hanya saja, massa belum tergerak, orientasi hanya keuntungan, hanya sebagian yang ikhlas sepenuhnya. Saya benci ketika orang-orang mengeluh, ketika mereka meminta tolong, ketika mereka menangis dan tertawa karena satu hal yang sama, pahitnya hidup. Sekiranya tidak ada artinya gelar tinggi jika bukan karena saya dunia jadi sedikit lebih baik, sepuluh tahun pengabdian kelak mungkin jadi mimpi terbesar saya. Minim relasi dan pengalaman adalah kekurangan saya, bermodalkan tekad dan jalan pikir ujung-ujungnya hanya membawa saya pada jalan kosong.

Tangga manusia mulai diurai. Kini semua tahu siapa yang pantas. Semua saling mencengkeram erat, agar tidak ada satupun benang kebersamaan yang putus. Pijakan raja semakin kuat, kini tekadnya tak lagi berat. Asa dan harapan terus digemakan, semoga cahaya kelak menyoroti dasar keputusasaan. Tebing satu mil kini terpanjati, serpihan lengan mulai terlihat, penuh peluh dan diikuti hembusan sesak. Mahkota sang raja berkilau dibawah silau matahari, wajah raja yang penuh haru mulai tersisih debu. Pijakan terakhir sang raja, tapak baru sang raja di tanah sentosa. Ia berjalan haru, terkesima oleh cahaya yang ia rindu. Berjalan semakin jauh. Dengan gemuruh pujaan para penduduk jurang. Sang Raja kini sadar, ia telah di atas segalanya. Ia pernah jatuh dan kembali bangkit. Ia tahu bagaimana rasanya di bawah dan tidak lagi berada di sana. Semakin jauh.

Kabinet bagi saya adalah sebuah wadah paling relevan untuk diikuti guna menunjang mimpi dan cita saya ke depan. Relasi dan pengalaman adalah hal yang paling saya kejar. Kepedulian dan gerakan kemasyarakatan adalah apa yang paling cocok dengan diri saya, meski saya tidak masalah dengan pemberdayaan manusia ataupun kreativitas, saya pikir mengabdi pada masyarakat punya arti yang lebih mulia dalam visi saya. Tidak ada jaminan yang saya taruhkan dengan menjadi bagian dari magang kabinet baracita ini, saya hanya pembelajar dan pekerja keras. Didik saya sebaik mungkin, satu hal yang dapat saya janjikan hanyalah saya tidak akan mengecewakan siapapun, apapun, dan kapanpun. Softskill apapun akan saya pelajari, terlepas dari apa yang sudah saya miliki. Sebab kelak saya bukan ingin jadi pembaharu, melainkan pemandu untuk kesejahteraan siapapun yang ada di sekitar saya. Jika masa depan ada di bola mata saya, maka saya akan berusaha agar tidak ada lagi orang menangis dan tertawa karena pahitnya hidup.

Sang raja tetaplah raja. Seorang pemenang mungkin adalah mereka yang kalah namun bisa kembali menang satu waktu. Mereka yang menjadi bahan ceritaan orang lain adalah mereka yang punya usaha untuk masa depannya yang emas. Tapi siapa yang kelak bisa menyelamatkan mereka yang terlanjur berada di jurang. Apakah karena begitu mereka lahir sehingga begitu juga mereka harus berakhir. Sang raja tidak mungkin kembali ke jurang lagi, siapa yang hendak melepas kemarifatan yang menipu semacam itu. Sebab itu hikayat ini bukan tentang siapa yang jadi raja, melainkan siapa yang menuruti raja, yang ikhlas membawa pesan sang raja untuk menyelamatkan mereka yang di bawah. Merekalah para pekerja, Ksatria berjiwa tembaga.

Saya Maul-FMIPA 19, seorang pekerja berdedikasi, pemimpi kesejahteraan abadi.

Esai Diri "Saya Bukan Sang Raja"Where stories live. Discover now