I. AGAM

18 1 0
                                    

Do you ever wonder why things have to turn out the way they do?
-Nicholas Sparks
.
.
.

Agam mengusak rambutnya kasar. Matanya memandang tajam sekelilingnya. Dalam hati dia menggumamkan beribu kutukan. Kenapa Ayahnya memaksanya mengikuti MOS? Padahal sebagai seorang donatur, gampang saja untuk meminta pihak sekolah tidak melibatkannya dalam hal bodoh ini.

"Kamu harus ikut MOS seperti murid lain gam, Ini pengalaman sekali seumur hidup! Ini termasuk dalam pengalaman SMA kamu!"

Tch.

Mengingat perkataan Ayahnya hanya menambah rasa kesal dihatinya.

"Bro! Emosi mulu lo! Udah dapet berapa tanda tangan?"

Haikal, sahabatnya berjalan mendekatinya dan mengambil jurnal kecil yang berada ditangan Agam.

"Eh buseeettt! Cuma 2?! Ini juga tanda tangan pengurus kelas lo?! Minimal 25 tanda tangan pengurus MOS nyet! Terakhir kan hari ini! Lo gabisa nurunin harga diri lo dikit? Palingan cuma disuruh nyanyi yel-yel sekolah doang. Tapi udah ga mungkin, ini waktunya mepet banget gam! Oh! Kecuali lo bisa dapetin tanda tangan dari ketua eksul! 1 tanda tangan, nilainya 25 tanda tangan! Tapi mereka susah banget dimintain tanda tangan nyet! Belagu banget! Dipikir mereka artis apa?!"

Agam hanya mendengus mendengar celotehan Haikal. Dia mengambil kembali jurnal miliknya dan berjalan kembali ke kelas. Meninggalkan Haikal yang dia yakini sedang menyumpah serapah dirinya. Persetan dengan semua ini. Kenapa dirinya harus mengemis tanda tangan orang lain? Dan harus melakukan hal-hal bodoh demi itu?

Hattchim!

Suara bersin seseorang membuat langkah Agam berhenti. Dirinya melihat seorang siswi mengenakan masker wajah terlihat kebingungan untuk membawa berapa kotak berisi peralatan kesenian. Entah setan apa yang merasuki Agam. Kakinya berjalan mendekat kearah siswi itu.

"Mau dibantu?"

Agam pasti sudah gila. Menawarkan sebuah bantuan? Tch. Mungkin dirinya hanya kasihan. Kakak kelas ini terlihat tidak dalam keadaan baik.

"Wah! Makasih. Tolong bawain sebagian ke Ruang Guru ya."


Setelah Agam meletakan barang kesenian yang dibawanya, bel pertanda istirahat berakhir berbunyi. Agam langsung meninggalkan Ruang Guru dengan langkah yang agak cepat. Tidak mau terlambat. Dia tidak mau membuat para pengurus mendapatkan alasan untuk menghukumnya. Mungkin saat ini mereka belum tau bahwa dirinya anak orang penting di Sekolah ini. Setelah mengetahuinya nanti, Agam yakin mereka semua akan langsung menyesalinya.

.
.
.

Agam duduk di kursinya sambil melamun. Bel istirahat kedua sudah berbunyi 5 menit yang lalu. Namun Agam enggan berdiri, dirinya memutuskan tetap diam didalam kelas.

Puk

Agam mengerutkan dahinya. Kak Aji pengurus kelasnya menepuk dahinya pelan dengan sebuah jurnal. Lalu menjulurkan jurnal kecil kearahnya.

"Punya lo kan? Lain kali jangan teledor."

Agam otomatis meraba saku celananya. Tidak menemukan tanda keberadaan jurnalnya. Kapan dia menjatuhkannya?

"Adek-Adek! Jangan lupa, 25 tanda tangan pengurus MOS terakhir hari ini! Kalian harus ngumpulin jurnalnya waktu sepulang Sekolah nanti! Masih ada waktu sampai selesai istirahat kedua! Semangat!!"

Suara Kak Ayu, pengurus kelasnya membuat Agam mengingat bahwa dirinya hanya memiliki 2 tanda tangan saja. Agam menghela nafas panjang. Memandang tajam jurnal yang ada ditangannya.

"Kok kamu malah diem aja di Kelas? Udah dapet berapa tanda tangan?"

Agam hanya diam saat Kak Ayu mengambil dan memeriksa jurnal miliknya. Dirinya sudah pasrah. Entah hukuman apa yang akan diberikan padanya.

"Oh, udah 25! Okay."

Agam memandang heran Kak Ayu yang pergi meninggalkannya. 25? Bukannya hanya 2? Agam membuka jurnalnya. Tertera sebuah nama, tanda tangan dan stempel bintang disana.

"Agapita Daphilia?"

💘










HOW TO MAKE YOU NOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang