Prolog.

38 6 5
                                    

Renungan suci dengan kunang-kunang sebagai tamu, dan malam sebagai panggungnya, ku tatap saling iba kepada bulan.

"Apa kau sedang mengejekku?" Tanyaku dengan kerutan di dahi yang kian menjadi seiring terangnya rembulan bersinar di larut malam. Seolah mengejek.

Angin sepoi tak lagi menjadi pelengkap acara malam ini, melainkan hujan tak deras yang menghampiri. Aku tersenyum. Berniat mengejek kepada bulan yang tak lagi bersinar, tertutupi oleh sang pembawa acara. Awan malam kian menghitam, membuat senyumanku tak lagi terlihat, melainkan sendu yang tercipta.

Kini awan yang menggangguku, seolah berkata kehidupanku adalah gelap. Aku juga benci malam, malam adalah panggung ia menari. Tentu saja yang kumaksud bukan aku, tapi air mataku yang menari. Memuakkan.

"Lalu apa maumu?" Tanyanya di antara genangan air sebab hujan tak deras.

Kuusap air mataku, muak berbicara dengannya, walaupun malam ini adalah panggungnya.

"Kenapa kau begitu kesal?" Tanyanya. Lagi-lagi air mata ikut terjatuh, seolah cacat tak kuat menopang untuk berdiri-membuat ia dengan seenak jidat berbicara kepadaku dalam keheningan malam.

Itulah mengapa aku benci malam, karna inilah panggungnya, tempat ia menari. Air mataku.

Kutopangkan tubuh dengan berat bertumpu pada kaki, menatap dengan sendu apa yang ada di depanku. Jurang. Tak jauh dari rumah memang terdapat jurang, karna aku tinggal di antara lebatnya hutan. Ku ambil napas sebanyak yang kubisa, menyimpan sebentar di dalam dada, lalu kuhempaskan bersamaan dengan keluarnya teriakan yang kian mengeras.

Saat itu aku mengganggu pertunjukannya, membuat semua tamu terkejut dalam diam. Aku sangat puas, lalu kutinggalkan panggung itu dengan bangga. Mengakhiri pertunjukan tangis dengan penampilanku yang mempesona, bak bidadari yang jatuh ke bumi dengan indah karena muak dengan pemandangan neraka di sebrangnya.

'Hahhh, bye.'

°°°

Ku memasuki tempat yang orang sebut dengan rumah. Berukuran besar tapi tidak sebesar Mansion, isi di dalamnya pun cukup minimalis, tak banyak hal yang menjadi kesukaan maling. Aku tertawa kecil, memikirkan apa yang akan maling ambil di rumah ini? Bahkan pengemis akan tertawa hebat melihatnya seraya berkata,

"AHAHAHA, BAHKAN KAU JAUH LEBIH MISKIN DARIKU." Ucapnya penuh ejekan bangga.

Aku pun merangkul tubuhnya yang lebih pendek dariku, dengan kulit yang sudah mengendor dan tulang yang rapuh, aku berkata kepada pengemis itu, "Dan kita adalah golongan yang sama. Bukankah hidup ini indah? Tuhan tidak membiarkanku sendirian!" Ucapku diiringi tawa yang terbahak-bahak, yang langsung disambut hantaman tepat di bokongku. Pengemis itu sudah pergi, tapi rasa sakitnya tidak demikian. Bahkan rasa sakitnya masih terbekas sejak tadi pagi hingga detik ini.

Aku mengganti seluruh pakaianku menjadi pakaian yang jauh lebih lusuh, baju oversized dengan kolor hitam yang tak lagi baru-sejak dua tahun yang lalu. Menatap heran ke arah kaca. Aku heran, sungguh. Mengapa aku masih terlihat cantik dengan pakaian ini?

Kurebahkan tubuhku ke kasur yang sudah lapuk. Menatap kearah cermin persegi yang kugenggam, memulai meeting zoom dengan dirinya.

Dia menatapku, aku pun ikut menatapnya. Kita saling menatap iba.

"Apa yang kau lihat?"

"Dirimu."

"Apa yang menarik dariku sehingga kamu terus melihatku?"

"Aneh."

"Siapa yang kau sebut aneh?"

"Dirimu."

"Bagian mananya?"

"Otakmu."

Aku terdiam, hendak marah dan melempar benda persegi itu ke dinding. Tapi teringat aku baru saja memungutnya di jalan, tak tega.

"Apa maksudmu?"

"Kenapa kamu jadi begini?"

"Apa maksudmu?"

"Berhenti bertanya, biar aku perjelas." Ucapnya dengan helaan napas yang tak begitu panjang.
"Kenapa kamu tidak pergi ke rumahmu? Berlagak miskin?"

"Apa maksudmu? Ini rumahku."

"Biar kuperjelas lagi. Ini gudang. Pergilah agak jauh ke dalam sana, jika kamu menemukan dua anjing penjaga, mereka mencarimu."

"Apakah aku menarik di mata mereka?"

"CUKUP PERGI SAJA."

"Siapa sih kamu, enak saja mengaturku."

"Hentikan obrolan bodoh ini, konyol, bahkan kau tak mengenal dirimu sendiri."

Kuhentikan meeting zoom itu, karena sebentar lagi limit waktunya akan tercapai. Merasa lelah, aku pun tertidur.

Senyap.

Tubuhku terangkat. Entah apa yang terjadi, aku tak lagi menemukan diriku di gubuk miskin itu keesokan harinya.

To be continued..

KomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang