Rintihan Bumi Pertiwi

63 4 3
                                    

Ada yang bilang, bahwa pemuda adalah harapan bangsa. Generasi yang kelak menjadi cikal – bakalnya kejayaan negara. Namun seiring berjalannya waktu, sebuah pertanyaan perlahan mencuat dibalik benakku. Benarkah begitu?

Masalahnya, kondisi mental penerus bangsa hari ini bukankah patut untuk kita khawatirkan? Tawuran antar pelajar sudah sangat sering kita dengar, belum lagi krisis moral di kalangan kaula muda saat ini yang seakan lupa pada budaya toleransi, pun keramah tamahan Indonesia yang terkenal di manca Negara. Bagai kayu yang semakin lapuk dimakan usia, karakter dan moral baik yang menjadi ciri khas pribumi Indonesia makin hari makin terkikis saja. Saat ini misalnya, Aku tengah duduk di ruang tengah bersama kakek dan nenek yang sudah menyaksikan sepak terjang Indonesia selama 74 tahun kemerdekaannya. Di depan kami televisi yang menyala tengah menyiarkan acara berita, tertulis dengan jelas pada layar selebar 21 inch itu bahwa sekumpulan remaja sekolah tertangkap akibat melakukan tawuran dengan remaja sekolah lainnya. Entah apa alasan yang mendasari kedua pihak melakukan tindakan anarkis semacam itu, yang pasti apa yang mereka lakukan itu berakibat buruk pada banyak hal terlebih diri sendiri, orang tua, sekolah, dan lingkungan sekitar. Aku sendiri hanya bisa berdecak heran menanggapi kejadian seperti ini. Sementara itu, di tengah cuapan penyiar berita, kakek bergumam dengan nada prihatin,

“Dulu, kami berjuang antara hidup dan mati demi kemerdekaan bangsa. Berlumur kain yang menutupi badan kami dengan darah dan keringat sebab melawan bangsa orang yang menjajah pribumi.”

Saat itu, perhatianku lantas teralih dari televisi menjadi sepenuhnya fokus pada kakek yang duduk di atas kursi berdampingan dengan nenek di sebelahnya terpisah oleh satu meja berukuran 60x60 cm. Pandangan kakek jelas lurus ke arah layar televisi dengan sorot sendu yang tercetak jelas pada lensanya. Setelah membuang nafas pendek kakek melanjutkan,

“Miris sekali, kalau lihat anak jaman sekarang. Sudah enak diberi merdeka dari para penjajah tapi malah belum memerdekakan dirinya sendiri. Buktinya, saudara se-bangsa, se-negara saja masih mereka lawan. Satu sama lain saling menjatuhkan dan melukai. Hahhhh.” Kakek menghembuskan nafasnya dengan berat, sementara nenek disebelahnya hanya diam mendengarkan dengan tangan yang sibuk menggeluti benang wol dan jarum sulam. Aku tahu, meski nenek hanya menunduk dengan tangan yang sibuk dan lisannya diam, tapi dalam hati beliau pasti menyetujui kalimat kakek dengan tegas. Sebab keduanya sama – sama generasi pejuang yang mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan Indonesia. Bagaimana tidak, kakek sudah kehilangan kemampuan menggerakkan kakinya sebab saraf yang terputus akibat tembakan yang meluncur menembus pahanya dan membuat beliau mesti menggunakan kaki palsu sebagai alat bantu. Berbeda dengan kasus nenek yang kesulitan bicara sebab trauma mendalam saat perang, keduanya sama – sama berjuang dan berkorban demi Indonesia. Berbanding terbalik dengan kebanyakan orang di masa sekarang, yang terlalu terlena dengan kemerdekaan yang disuguhkan hingga lupa untuk mempertahankan apa yang sudah para pejuang seperti kakek dan nenek pertaruhkan. Setelah itu, kakek kembali melanjutkan kalimatnya dengan nada sedikit kesal

“Habiiiiss negaraku kalau pemudanya seperti ini semua.” Kakek kembali melanjutkan, kali ini sembari menyesap kopi hitam yang sudah menghangat suhunya beberapa derajat lebih rendah sejak 10 menit yang lalu. Dahi kakek yang sudah keriput terlihat semakin bertambah lipatannya, beliau pasti terlalu banyak berpikir perihal perubahan moral dan karakter pemuda bangsa yang kebanyakan semakin merosot dari hari ke hari. Ditambah lagi dengan berita yang menyuguhkan berita perpecahan dimana – mana, ekonomi pasang surut yang membuat beberapa kalangan nelangsa. Kasihan kakek, setelah kemerdekaan, beliau pasti mengharapkan kedamaian, kemakmuran, pun kesejahteraan. Tapi di usia senjanya kini, kepunahan toleransi di Indonesia justru yang beliau dapatkan.
Aku tersenyum miris melihat rekasi kakek yang jelas menampakkan kesedihannya melihat kondisi mental dan moral remaja Indonesia hari ini. Memang nyatanya patut dikhawatirkan, kadang aku juga berpikir, aku ini... bagaimanapun adalah remaja Indonesia juga, bukan? Aku juga salah satu generasi penerus bangsa. Tapi kalau aku cerna beberapa kali lagi, jika kakek menilai negara akan habis sebab mental dan moral remaja hari ini, lalu bagaimana dengan aku dan teman – temanku yang setiap hari berjuang keras demi masa depan kami kelak? Bagaimana dengan teman – temanku yang menghabiskan waktu bermainnya demi memikirkan karya apa yang akan mereka buat esok? Bagaimana dengan mereka yang rela mempertaruhkan nyawa demi sampai di halaman sekolah tercinta? Tidak, kakek tidak bisa menilai pemuda masa kini hanya karena mereka yang berbuat anarkis bukan? Peribahasa bilang, sebab nila setitik, rusak susu sebelanga. Kalau begitu, rasanya tidak adil bagi kami yang masih baik – baik saja. Maka aku, mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan hal tersebut.

Rintihan Bumi PertiwiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang