Bab 1: Peraturan Aneh

1 1 0
                                    

Salah satu SMA favorit itu unik. SMA Putri Cendikia. Hanya menerima murid dengan syarat ketat dan tertentu. Bukan nilai ijazah semasa SMP patokannya. Tapi seberapa berani calon murid dikeluarkan dari sekolah. Sistem poin adalah utamanya. Dan sekolah swasta ini telah masuk ke dalam sejarah sebagai sekolah yang paling sering mengeluarkan siswanya.

Poin paling berpengaruh adalah heels.

Siapa pun murid yang kedapatan memakai high heels atau stiletto ke sekolah, dia akan langsung dikeluarkan.

Salah satu murid yang pernah melakukannya adalah Anggun. Tiga tahun yang lalu dirinya memakai stiletto ke sekolah sebagai bentuk protes atas peraturan-peraturan aneh dari sekolah. Video protes yang pernah dia lakukan tidak dihapus oleh pihak sekolah. Namun diubah sedemikian rupa dengan menambahkan narasi. Sebagai murid paling bandel dan paling mencoreng nama baik sekolah.

Anggun dikeluarkan tepat saat kenaikan kelas tiga. Namanya langsung menjadi judul besar di media massa. Sekolah tidak bergeming karena itu merupakan peraturan. Masyarakat menjadi bingung dengan peraturan itu. Peraturan tertulis itu seharusnya tidak perlu. Menurut mereka, sekolah bisa membina muridnya agar bersikap lebih baik. Persis seperti semboyan kebanggaan sekolah,

"Mencetak generasi perempuan tangguh dan berprestasi, bukan sekedar sensasi."

High heels dilarang, stiletto pun demikian. Tapi tidak dengan sepatu kets. Sepatu berwarna diijinkan selama itu mendukung aktifitas murid. Munculnya peraturan aneh tersebut juga tanpa alasan. Pengumumannya tepat setelah upacara hari senin.

Pemberitahuan itu menimbulkan kebingungan. Semua mulai bergosip. Guru-guru yang semuanya wanita juga begitu. Mereka mengira kepala sekolah salah dalam memberikan peraturan baru kali ini. Ternyata tidak. Dan di saat itulah, Anggun berteriak keras, memprotes kebijakan baru sekolah.

"Bagaimana kalau malam perpisahan kelas tiga, Pak? Bukannya tetap boleh memakai high heels atau stiletto?"

Semula gosip hanya berupa bisik-bisik berubah cepat menjadi obrolan ramai. Suara tinggi-rendah saling menyahut. Ada yang terima, mewajari tapi sebagian besar tidak.

"Pak, itu malam perpisahan. Masa iya harus pakai sepatu kets?" teriak murid lainnya.

"Tenang anak-anak, tenang, biarkan Pak Puji menjelaskan dulu, tenang ya," pinta Wardah. Ia mulai menunjuk-nunjuk muridnya yang ribut.

Semua mulai menyembunyikan wajahnya dari balik topi. Kecuali Anggun. Ia tetap mantap menengadah. Tatapan matanya menantang.

"Ini peraturan baru. Siapa pun yang melanggar, akan langsung dikeluarkan. Termasuk memakai sepatu hak tinggi di acara malam perpisahan sekolah. Titik."

Keributan pecah lagi. Anggun geram. Teman-temannya mencoba menahan tubuhnya yang ingin maju. Pikirannya berkecamuk. Cita-cita melenggang cantik untuk pertama dan terakhir kali gagal. Tahun lalu masih diizinkan memakai sepatu hak tinggi. Dia mulai bertanya-tanya. Mereka mulai bertanya-tanya.

"Pak, apakah ada kasus soal itu? Kenapa angkatan sekarang saja yang kena, Pak?"

Puji tidak menjawab. Ia menutup upacara kali itu dan berhasil membuat jengkel semua murid. Semua menyelidik. Semua mencari tahu. Tetap tidak ada hal khusus yang berhasil mereka gali. Bahkan para guru juga tidak memiliki jawaban yang pasti.

Setahun berlalu, sepatu hak tinggi menjadi barang ilegal baru. Setiap sabtu mereka merayakan pemberontakan baru. Sepatu hak tinggi berpindah dari satu tas ke tas lainnya. Bersembunyi di antara pergantian jam pelajaran. Gerakan baru itu melambung di dunia maya.

"Kaki dan stiletto mereka. Bebaskan dan merdekakan mencintai diri sendiri."

Dua kalimat sakti pemungkas buatan Anggun yang berhasil menghiasi setiap foto teman-teman satu angkatannya. Foto tanpa badan. Hanya menunjukkan rok panjang abu-abu mereka dan kaki berbalut sepatu hak tinggi berwarna-warni. Dengan latar belakang sekolah mereka. Di kelas, di lapangan parkir, di kantin dan di mana pun.

Bentuk protes ini menyulut kemarahan Puji. Dia tahu foto-foto tanpa wajah itu merupakan murid-muridnya. Bertahun-tahun mengajar, dia tahu persis setiap sudut pemandangan di sekolah yang dia ajar. Puji mengambil tindakan cepat. Para guru diperintahkan mencari pelakunya.

Satu angkatan dipanggil ke lapangan. Dijemur hampir seharian. Pingsan beberapa orang. Tetap bungkam dan diam. Mereka menjaga erat seperti memegang harga diri sampai mati. Adik kelas mereka berteriak histeris. Meminta pengampunan untuk senior mereka. Para guru bergeming. Tetapi Wardah tetap bersikukuh.

"Tidak boleh ada yang meninggalkan lapangan kalau belum ada yang mau mengaku!"

Anggun menoleh, "Aku akan angkat tangan."

"Udah sih, jangan! Harus ditanggung bersama!"

"Udah gak bisa kalau begini. Malah gak bakal jalan seterusnya ntar."

Teman di samping kanannya bingung. Anggun bertindak cepat. Ia mengangkat tangan.

"Maju kamu!" bentak Wardah.

Anggun maju. Suasana semakin memanas. Teriknya matahari menjadi saksi bisu Anggung diliburkan selama sebulan. Gencatan senjata. Para murid akhirnya diizinkan kembali ke kelasnya. Anggun tetap di ruang guru, mendapatkan caci maki dan teguran keras. Kepala sekolah menamparnya. Tidak sedikit pun raut wajahnya melunak. Keras dan mendendam. Ia membatin pada dirinya sendiri, gerakan frontal akan segera ia susun dan laksanakan.

Sekolah kembali tenang setelah Anggun diistirahatkan paksa. Tidak ada lagi unggahan di sosial media. Tentang para murid SMA yang memakai sepatu hak tinggi. Anggun tidak juga meratapi kesalahannya. Baginya itu bukan kesalahan. Bentuk protesnya jelas. Akibat ketidakjelasan dari peraturan. Di rumah ia tidak mengurung diri. Ia aktif berkomunikasi mencari dukungan. Pada siapa saja di luar sana.

Anggun hanya harus menunggu lebih sabar, sampai saat itu tiba. Walau harus mengorbankan masa depannya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Imagine Us In HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang