Sendirian di atap gedung sekolah, wajah penuh lebam, seragam sekolah yang dia kenakan pun lusuh oleh campuran antara debu dan beberapa bercak darah.
Dengan keadaannya yang jauh dari kata baik-baik saja itu, Nam Dohyon menggeleng kalut dalam lamunannya.
Bukan ini yang Dohyon harapkan saat berhasil masuk ke sekolah ini beberapa bulan lalu.
Menjadi korban risak oleh ketiga teman sekelasnya ㅡah tidak, mereka sama sekali tidak pantas disebut teman.Secara otomatis tangan Dohyon mengepal kuat begitu sekelebat bayangan ketika dirinya dirisak beberapa saat lalu muncul dikepalanya.
'Teman dekat adalah calon musuh terbaik'
Setidaknya itulah yang dapat Dohyon tangkap dari apa yang dialaminya.Lee Yoojin, teman dekat Dohyon. Dijuluki kakak-beradik sudah menjadi hal biasa untuk keduanya, mereka memang sedekat itu ㅡtapi itu dulu. Siapa yang menyangka jika sekarang Yoojin justru ikut serta dalam kelompok yang merisaknya. Yoojin adalah salah satu dari ketiga orang yang merisak Dohyon barusan.
Yoojin...kenapa...??
Sekujur tubuh Dohyon memang sakit karena baru saja dipukuli. Tapi hati dan jiwanya lah yang paling sakit disini.Dohyon sama sekali tidak tau kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga Yoojin tega melakukan semua itu. Mengkhianatinya dengan membocorkan pada semua orang tentang hal yang bahkan Dohyon sendiripun belum tau kebenarannya seperti apa.
Tentang ayahnya. Yang tidak pernah sekalipun ia temui sejak kecil. Rupa, bentuk tubuh, suara, bahkan Dohyon juga tidak tau ayahnya masih hidup atau tidak. Dan sekarang, rasanya Dohyon mulai ragu jika dia memiliki seorang ayah.
Jika saja Dohyon tidak menceritakan semua itu pada Yoojin ㅡah tidak, jika saja Yoojin tidak membeberkan hal itu pada semua orang, mungkin semuanya akan baik-baik saja. Dohyon tidak akan menjadi korban risak dan semua orang tidak akan menyebutnya dengan sebutan... anak haram.
Tapi apakah memang itu kebenarannya? Dohyon anak haram?
Dohyon tidak akan tau kebenarannya seperti apa jika ibunya masih saja bungkam jika ditanya. Memang selalu begitu, ibunya selalu enggan menjelaskan bahkan menjawab pun tidak saat Dohyon bertanya tentang ayahnya.Lagi-lagi Dohyon menghembuskan nafasnya kasar. Matanya menatap kosong keadaan sekitarnya yang sangat sepi dan senyap. Dan Tanpa Dohyon sadari, kakinya melangkah hingga keujung rooftop. Tangannya tidak ragu sama sekali saat menyentuh balkon rooftop ㅡberukuran setinggi pinggangnya, yang berdebu. Matanya menatap kebawah, memperkirakan seberapa jauhnya dia dari permukaan tanah.
Haruskah?
Dohyon sudah sangat lelah dengan semuanya. Dengan ibunya yang selalu menutup-nutupi perihal ayahnya, dengan temannya yang pengkhianat, dan dengan semua orang yang menyebutnya anak haram. Dohyon benar-benar tidak tahan lagi.
Berkali-kali Dohyon sempat terpikir, penderitaanya tidak akan pernah bisa berakhir kecuali kalau dia mati.
Haruskah? Sekarang?
Mengikuti isi pikirannya, Dohyon mulai memanjat balkon beton dihadapannya. Ia meringis ketika merasakan ngilu disekitar lututnya, tapi meskipun begitu Dohyon berhasil berdiri sempurna diatas balkon.
Air mata menetes diwajah Dohyon yang datar dan tanpa ekspresi. Dia sadar, keputusannya saat ini akan membuat ibunya menjadi sebatang kara. Tapi mau bagaimana lagi? Dohyon benar-benar ingin semuanya berakhir.
"Ibu, maaf.." Gumamnya lirih.
Dengan perlahan, Dohyon mulai menyeret sepatunya kedepan. Dia jadi agak oleng saat angin menerjang tubuhnya yang berdiri diujung rooftop. Memejamkan matanya, Dohyon mulai mencoba untuk melupakan segala hal.