Aku terdiam
Pada kalimat yang diucapkannya siang ini
"Harusnya kamu kuliah, jadi sarjana lalu bekerja dan menghasilkan banyak uang"
Begitu katanya
Aku tak berkutik
Hanya mampu menarik nafas dalam, rasanya ingin kutahan agar aku pingsan sekalian
Sesak rasanya
Lalu kugeser sedikit posisi dudukku
Berharap tak lagi dia ungkit perihal aku
"Kalau udah trus nikah, kan enak bisa ngasih orangtua"
Jleb.
Tepat lagi
Terhujam dua kali
Aku ingin teriak, tapi tertahan
Makin sesak rasanya
Kali ini kursi terasa berlapis pisau, sedikit perih berada diatasnya
Tapi tak cukup kuat untuk beranjak.
Aku tersenyum kecut.
"Kalau gini mau jadi apa kamu, sekolah enggak, kerja enggak, nikah juga belum punya calon, nyusahin orang tua aja"
Prang!
Batas kesabaranku pecah juga.
Aku bangun dari duduk.
Bukan apa apa
Hanya mengambil sebotol aqua yang sejak tadi kuhayalkan untuk disiramkan padanya.
Seteguk dua teguk
Hah, terlalu panas
Aku menghabiskannya sekaligus.
Lumayan, batinku menghibur.
Aku kembali duduk
Berharap topiknya kali ini berubah
"Kalau aku sih malu ya, makan tidur makan tidur doang dirumah"
CUKUP!
Aku tak ingin dengar lebih jauh
Kucondongkan tubuhku ketubuhnya
Dia menatap tajam padaku
Aku tak peduli lagi
Tentang sopan santun dan apalah itu namanya.
Aku terlalu marah.
Dan ya, aku lelah.
Tentu saja.
Kudekatkan bibirku ditelinganya.
"Kalau punya waktu buat bikin narasi hidupku, tulis sekalian jadi buku, biar berfaedah, jangan lupa, sebaik baik rencana itu milik Allah bukan di congornya tetangga!"
Aku mengibaskan kursi plastik itu hingga berguling.
Hampir semua tamu menatap kearahku.
Bodo amat.
Aku melenggang saja keluar tenda.

KAMU SEDANG MEMBACA
WAYANG
PoetryJika pencipta berkehendak. Segala tentang waktu adalah cerita. Segala tentang jarak adalah kisah. Segala tentang rasa adalah warna.