Pertemuan kita adalah kutukan dan kalimat sapamu adalah kesalahan.
***
Aku tahu kalau dunia tidak menyukaiku. Aku pun sama. Dunia ini terlalu besar untuk diriku yang kecil. Tetapi tidak seharusnya dunia memperlihatkan ketidakramahannya padaku setiap hari dengan cara yang berbeda-beda, terlebih lagi untuk hari ini. Ah, benar-benar kutukan.
Pertama, aku mendapati surat dengan amplop cokelat di atas meja kerja Ayah. Isi surat tersebut membuatku merasa menjadi anak yang paling tidak beruntung di atas muka bumi ini, terlebih lagi tanda tangan Ayah sudah tertanda di sana. Karena aku tidak pernah suka dengan perpisahan, tanganku langsung meraih surat tersebut dan membawanya ke kamar. Aku menaruhnya ke dalam laci lalu mengunci laci itu rapat-rapat. Nanti, pasti akan aku bakar hingga menjadi abu.
Belum cukup dengan surat tersebut, dunia kembali menyambut pagiku dengan ketidakramahannya yang kedua, aku telat sampai ke kampus lantaran metromini yang kutumpangi tidak melewati jalur seperti biasanya.
Pak Idrus, dosen matematika dasar II yang mengisi kuliahku pagi ini, tidak mau memberi toleransi kepada mahasiswanya yang telat. Beliau menyuruhku keluar tepat ketika aku menginjakkan kaki di pintu ruang kelas saat hendak masuk. Jadilah, setelah itu aku memutuskan ke kantin sebentar untuk membeli minuman dingin. Aku harap minuman dingin itu dapat mendinginkan kepalaku yang saat ini sedang tidak dingin-dinginnya lantaran dua ketidakramahan sambutan dunia pagi ini.
"Ah, sialan."
Umpatan-umpatan seperti itu selalu lolos dari bibirku sejak tadi sebagai bentuk aku mengutuk kutukan-kutukan yang menimpaku pagi ini. Terlepas dari baik atau buruk, rasanya dengan mengumpat seperti itu mood-ku sedikit membaik.
Dan sekarang, aku sudah menyamankan diri di tempat yang menjadi pelarian sepiku sejak beberapa waktu terakhir ini, Toko Aneka Es Krim. Sebenarnya sudah cukup lama aku menemukan toko es krim itu, kisaran beberapa bulan lalu tepat ketika aku resmi menjadi salah satu mahasiswa di kampus yang ada di depanku sana.
Di toko es krim itu, satu-satunya spot yang aku sukai adalah kursi yang terletak di pojokan bagian depan toko, sebelah kanan. Entah kenapa kursi itu tidak pernah ada yang tempati, kecuali aku. Jadi tidak masalah jika akhirnya aku mengklaim kursi tersebut sebagai tempatku, tempat kesukaanku. Aku selalu menghabiskan waktu dengan duduk sendirian di sana, diam dan mengamati berbagai aktivitas yang subjeknya adalah manusia-manusia super sibuk, ditemani es krim vanila juga sebuah earphone putih yang selalu terpasang manis di telingaku dengan play musik instrumen.
Seperti menemukan oase di padang pasir, nada dan melodi yang menelisik gendang telingaku selalu berhasil memberi rasa nyaman tersendiri. Aku merasa seperti tiba-tiba saja menghilang dari muka bumi dan hidup sendirian di dalam dunia bayanganku sendiri yang lebih aku sukai ketimbang dunia nyata. Tidak ada dunia yang membenciku, hanya ada diriku dan keping-keping kerapuhan yang memelukku erat. Rasanya, menenangkan. Damai. Aku menutup mata, menikmati setiap detik dan detak yang berlalu, tidak peduli dengan tatapan-tatapan orang sekitar.
Tetapi kenyamananku kali ini tidak bertahan lama, tiba-tiba saja aku merasa ada seseorang yang datang menghampiriku, sepertinya berdiri tepat di depanku. Aku membuka kelopak mata perlahan dan mendapati seseorang memang benar sedang berdiri di depanku, sedang menatapku. Ia menyunggingkan senyum tipis sebentar saat aku balik menatapnya dengan tatapan seolah bertanya, 'apa?'
Tunggu sebentar, biar aku deskripsikan bagaimana penampilan orang tersebut. Dia laki-laki, bersetelan kemeja merah dengan motif kotak-kotak dipadukan dengan celana jeans hitam pekat, panjang rambutnya kira-kira dua sentimeter. Postur tubuhnya tinggi, kulitnya sawo matang khas penduduk negara tropis, menggunakan topi merk adidas dan sepatu converse hitam lusuh, serta ransel merah yang tersampir di pundaknya bagian kanan. Ah, satu lagi yang hampir aku lupakan. Meskipun senyum yang ia tunjukkan tipis, tapi senyuman itu mampu membuat kedua matanya yang minimalis membentuk garis lurus dan membuat kedua lesung pipi yang malu-malu kucing menampakkan diri di pipinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hampir (On Going)
FanficHampir. Kurang sedikit. Hampir saja bersama. Hampir, kata yang paling tidak disetujui kehadirannya dalam kamus dua bahasa kita. Dan kita, adalah jarak di antara satu kata hampir.