Ruang Luka

922 314 178
                                    

Kamu dan Aku adalah dua tulisan yang asing, berjarak dan belum sempat diberi nama.

***

Aku mengangkat wajah dengan alis bertaut saat menyadari Genta yang duduk di depanku itu tengah menatap lurus ke arahku. Tatapan kami saling bertubrukkan, sedetik kemudian dia tersenyum.

"Jadi, gimana kabar lo?"

"Gak kelihatan gue sehat wal afiat gini?"

"Gue tahu gue cuma temen, tapi masalahnya gue temen lo satu-satunya. Gue-"

"Lo gak perlu ngerasa punya tanggung jawab buat jagain gue."

Hanya Genta, satu-satunya orang yang mengetahui bagaimana kondisiku, karena di depan banyak orang, aku lebih memilih menjadi sosok yang tidak bisa diajak komunikasi dengan baik. Yang aku tahu, alasan mengapa Genta sanggup berteman denganku adalah karena dia mampu memahami kehidupanku dan tidak pernah sekalipun memintaku untuk berubah seperti orang-orang pada umumnya.

"Ada apa?"

"Apanya?"

Genta terkekeh. "Tipikal Nindy banget. Selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan."

Aku hanya menatap Genta sekilas, lalu memasukkan ponsel dan gitarku ke dalam tas yang berbeda. Tanpa merespon perkataan Genta, aku menyesap minumanku yang telah kudiamkan belasan menit yang lalu.

"Nind, ada apa?" tanya Genta dengan suara yang lembut. Tangan kanannya terangkat menyentuh dahiku. "Lo sakit?"

Aku menepis kasar tangan Genta, kemudian menunjukkan raut wajah datar, pertanda jika aku tidak suka kontak fisik bahkan untuk hal sepele seperti yang dilakukan Genta.

"Sorry, Nind. Gue cuma mau mastiin-"

"Pulang yuk!"

Genta menghela nafas panjang. "Untung kafe nggak lagi rame, terus ada Airin yang gantiin lo nyanyi. Why? There is something wrong?"

"Gue lapar, bisa pulang sekarang, 'kan?" tanyaku dengan tidak sabaran, pasalnya Genta terus saja bertanya. Mungkin lain kali aku harus kembali mengingatkan Genta kalau aku tidak menyukai pertanyaan dan tidak suka memberi jawaban.

"Siap, Boss!" sahut Genta. Ia mengalah lagi, membiarkan pertanyaan-pertanyaannya menguar ke udara begitu saja tanpa jawaban. "Makan di tempat biasa?"

"Iya."

Selang lima belas menit kemudian, aku dan Genta sudah duduk di dalam warung makan yang menjadi andalan kami. Sudah menjadi kebiasaan, aku dan Genta hampir tiap hari ke tempat tersebut. Sarapan nasi uduk, makan malam, atau sekedar mampir. Si Ibu pemilik warung pun sudah sangat hafal dengan kami berdua, tak jarang kami ikut membantunya mengurusi warung makannya yang katanya sudah dikelola sejak tiga tahun yang lalu.

"Oh ya, Nind. Gue mau ngomong nih," ucap Genta. Ia terlihat ragu-ragu. "Tapi lo janji nggak boleh marah ya," lanjutnya.

Aku menatap Genta sekilas, menerka maksud ucapannya di kedua bola matanya. Namun, aku tidak menemukan apapun di sana. Alasan inilah yang akhirnya membuatku mengangguk setuju.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hampir (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang