Satu ; Perkenalan

37 2 0
                                    


Di dunia ini bukan hanya satu-dua hal yang dibenci Allura, nyaris segala hal yang berada di bumi. Allura dikatakan sakit jiwa namun ia masih merasa waras walaupun tingkahnya seringkali seperti pembunuh. Tanpa segan mengancam kehidupan seseorang baik tua atau muda. Allura bukan gadis biasa. Ia gila tapi juga waras.

***

"Hai Lura."

Gadis yang kerap disapa Lura itu menoleh. Iris pekat nya menangkap sosok tampan yang saat ini sedang berdiri satu meter dari tempat duduknya.

"Lura mau kue, donat, atau es krim? Saya punya banyak di rumah. Lura mau gak?"

Cengiran sinis menghiasi wajah pucat Allura. Tak ia sangka kedua orangtuanya akan membawa seseorang dengan kemampuan lemah seperti ini. Orangtua Allura itu kaya tapi masih saja menyewa pecundang tampan nan berengsek seperti ini.

"Ef wai ai aja ya, aku suka semua makanan bercoklat di dunia ini, tapi gak suka kalau makanan nya dari psikiater lemah kayak kamu."

Sosok tampan bernama Axelle itu merasa tertohok, nyaris ia terbawa emosi kalau tidak sadar pasiennya kali ini bukan orang biasa. Seperti yang di ceritakan orang tuanya, Allura itu bermulut kasar, ternyata benar.

"Nama saya Joan Axelle. Lura bisa panggil saya-

Tak disangka Allura terbahak-bahak saat mendengar Axelle memperkenalkan diri.

"Sinta dan Jojo suka makan sosis so nais HAHAHAHAHA."

Oh karena itu. Axelle tidak merasa tersinggung sedikit pun justru ia merasa ini adalah 'lampu hijau' baginya.

"HAHAHAHA."

"Ngapain kamu ikut ketawa juga?"

"Hm." Axelle nampak berpikir. "Mungkin karena nama saya lucu. HAHAHAHA."

Wajah jenaka Allura berubah sinis, "Sebelum jadi psikiater, kamu udah pensiun jadi orang gila gak? Aku males berurusan sama psikiater gila."

"Soalnya saya mau ikutin Lura."

Alura tak menggubris ucapan Axelle, ia malah bersin-bersin. Hidungnya terasa sangat gatal. Lendir yang mengalir di bawah hidung nya ia seka dengan kerah baju.

PARAH!!!

"Kenapa?" tanya Allura ketika melihat wajah tercengang Axelle.

Axelle hanya menggeleng.

Allura menatap wajah laki-laki itu selama lima detik kemudian berucap, "Hiks baru aja kamu mikir kalau aku jorok. Padahal aku udah mau terima kamu jadi dokter aku. Hiks sedih banget kamu."

Axelle mulai memahami sedikit karakter Alura. Sungguh jika orang berpikiran menjadi psikiater itu mudah maka lebih baik mulut mereka di plester saja seumur hidup. Axelle mengeluarkan selembar tisu dari kantung celana nya.

"GAK USAH! GAK HIGEINIS KAYAK MUKA KAMU. UDAH KENA PANTAT JUGA."

Axelle melongo, "Eh padahal saya mau nyeka keringat saya loh."

Perlahan tapi pasti. Wajah Allura memerah. Ia malu sekali saat ini namun kedua bola matanya tetap menatap tajam Axelle.

"Sialan!"

Panik, Axelle merasa salah.

"Allura."

"Kamu sama aja ya kayak orang-orang lain. Aku kira tanpa perlu aku jelaskan kamu bakalan ngerti karakter ku. Ini yang buat aku benci sama dokter ku yang sudah-sudah. Kemampuan otak mereka terlalu rendah untuk sembuhin aku ya walaupun aku gak gila HAHAHAHA."

Napas Allura terengah-engah. Baru kali ini dia berbicara panjang lebar tanpa jeda dengan dokter nya.

***

"Dok, maafkan kelakuan Allura ya. Saya tidak tahu dia bertindak sejauh ini. Biasanya kalau dia tidak suka sama seseorang pasti langsung dia jauhi."

Axelle tersenyum maklum. Namun sepertinya ucapan mama Allura tidak sepenuhnya benar.

"Pak, Bu, apa boleh saya bertanya tentang keseharian Alura?"

Papa Allura menjawab ramah, "Boleh, karena mungkin akan mempercepat penyembuhan Alura.

"Alura itu anaknya tertutup. Dia tidak pernah mau berkumpul dengan kami, tapi setau saya dia sangat menyayangi keluarga nya. Ah, maksud saya sepupu-sepupu nya. Allura dulu ramah dan ceria tapi seiring berjalan nya waktu sikapnya malah semakin kasar. Dia jadi lebih sensitif."

Axelle mendengarkan dengan seksama. Ia perlu mencatat beberapa hal penting atas penuturan orang tua Allura.

"Ah, sepertinya pertemuan kami segini dulu. Saya harus menemui pasien lain lagi. Untuk kasus Allura saya memutuskan dia akan menjadi pasien tetap saya selama beberapa bulan. Saya pamit dulu."

Selepas kepergian Axelle, si dokter jiwa, Allura menuruni tangga dengan gontai. Ia melihat papa dan mamanya yang sedang berdebat.

"Masih aja repot ngurusin aku. Pecat aja dia, gak guna. Udah aku bilang kalau aku tuh gak gila!"

"Sayang." usapan lembut sang mama di kepalanya segera ditepis. Allura tidak sudi terlena dalam kasih sayang palsu ini.

"Aku bukan anak kandung mama. Aku anak dari isteri pertama nya papa, jadi gak usah sok peduli, pelakor!"

"Lura." tegur Cavian, papa Allura.

"Pa, aku gak sudi kalau tangannya nyentuh tubuh aku. Tolong bawa dia pergi dalam beberapa hari. Kalau sampai nanti malam dia masih ada, bisa-bisa aku bunuh diri loh."

Allura melenggang menuju perpustakaan rumahnya. Sementara Cavian termenung, yang Allura katakan tadi bukan hanya sekedar ancaman ia bisa saja benar-benar melakukannya.

"Indah, ayo kita pergi!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALLURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang