The Diagnosis, part 2

301 32 4
                                    

"Ibu, kenapa aku harus pindah rumah sakit?"

Irene sejenak menghentikan kegiatannya melipat baju-baju Jaemin. Ia mengatur ekspresinya terlebih dahulu sebelum mendongak menatap anak bungsunya yang saat ini sudah mengganti baju rumah sakit dengan sweater dan celana jeans. Ia menatap wajah tirus dan pucat anak bungsunya. Jaemin kehilangan berat badannya dengan sangat cepat, pikirnya.

"Hmm, ada dokter kenalan Ibu di rumah sakit lain, Ibu yakin kau akan segera membaik disana." Irene menjawab dengan alasan sekenanya. Apa yang bisa dikatakannya selain itu? Nak, kita pindah rumah sakit karena dokter disini salah mendiagnosismu, begitu?

Jaemin tidak menjawab, ia hanya mengedikkan bahunya dan meraih ponsel di sebelahnya. Ia harus memberitahu teman-temannya bahwa ia sudah boleh pulang--untuk sementara--sebelum masuk ke rumah sakit lain. Ia sudah menantikan saat-saat pulang ke rumah, karena jujur saya, beberapa hari di rumah sakit membuatnya bosan setengah mati, dan lagi ia ingin bisa segera mendatangi festival di kampus kakaknya. Hanya saja, dalam hatinya, ia juga menyadari bahwa keadaannya belum pulih benar. Ia masih sering sakit kepala dan rasanya ia tak punya tenaga untuk melakukan apa-apa. Tapi mungkin rumah sakit yang akan dituju selanjutnya akan bisa menyembuhkannya.

Tak lama, ayahnya, Siwon, datang sambil membawa sebuah amplop coklat. Ia melambaikan amplop tersebut seraya berkata, "Administrasinya sudah beres, saatnya kita pulang."

Irene menutup kopor yang berisi baju-baju Jaemin, sementara Jaemin sendiri segera turun dari ranjang yang didudukinya. Ia baru saja menapakkan kakinya ke lantai ketika rasanya penglihatannya menggelap dan lututnya melemas.

"Jaemin!" 

Sambil memekik pelan, Siwon refleks menangkap tubuh putranya sebelum menghantam lantai. 

"Kau baik-baik saja? Jaemin-ah..." Siwon bertanya dengan penuh kekhawatiran. Jaemin membuka matanya dan melihat raut kecemasan di wajah kedua orangtuanya. Ia nyengir dan mengangguk. 

"Hanya pusing sedikit," jawabnya lirih. 

Ia tak mengerti, tapi kedua orangtuanya saling pandang dengan ekspresi yang tak bisa ia kenali.

***

"Ia sudah tidur?" tanya Siwon ketika istrinya masuk ke kamarnya. Irene mengangguk dan menyusul suaminya berbaring di ranjang. 

"Aku telah mengatur janji dengan Dokter Lim, besok ia akan ke rumah sakit dan tes darah." Irene berkata seraya menarik selimutnya menutupi tubuhnya dan tubuh Siwon.

Siwon menatap istrinya. "Irene..."

"Tidak, jangan berkata apapun, aku tak mau membahas hal itu. Sudah kubilang kan aku tak mempercayai ucapan Dokter Lee kemarin, kau lihat sendiri Jaemin sangat sehat sebelumnya. Mendiagnosa anakku dengan penyakit mengerikan, ck, pasti dia salah."

Siwon hanya menghela nafas panjang, Irene mengucapkan selamat tidur kemudian mematikan lampu di nakas sebelahnya. Meskipun malam sudah larut dan lampu telah padam, Siwon tak dapat memejamkan matanya. Kata-kata Dokter Lee terngiang-ngiang di telinganya, meskipun ia tak ingin anak bungsunya sakit, tapi jauh di lubuk hatinya, entah bagaimana dia tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Dokter Lee tidak salah.

***

"Kau baik-baik saja?" Irene menoleh ke belakang, ke tempat dimana Jaemin duduk. Anak bungsunya itu menyandarkan kepalanya di jendela mobil sambil memejamkan mata. Beberapa jam yang lalu perawat baru selesai mengambil darahnya untuk pemeriksaan, yang hasilnya baru akan keluar 3 hari kemudian, dan sekarang mereka sedang dalam perjalanan pulang menuju ke rumah.

"Aku agak mual..." jawab Jaemin lirih tanpa membuka matanya. Irene bertukar pandangan khawatir dengan Siwon yang menyetir di sebelahnya.

"Ayah bisa mampir ke apotek untuk membeli obat untukmu," tawar Siwon.

Jaemin menggeleng lemah. "Tidak perlu, Yah, lebih baik segera sampai rumah jadi aku bisa tidur."

"Pasti karena kau harus puasa beberapa jam sebelum cek darah tadi makanya kau mual, ya Ibu yakin pasti karena itu." Irene bergumam seolah meyakinkan dirinya sendiri. 

***

Dua hari dilewati Irene dengan harap-harap cemas. Keadaan Jaemin naik turun, kadang ia mengeluh pusing dan hanya tertidur selama beberapa jam. Di lain waktu, ia terlihat segar bugar dan sehat seperti biasanya, bercanda dengan kakak dan ayahnya atau sekadar menemani Irene menonton TV.

Irene tak melihat ada hal yang aneh dari Jaemin. Anak bungsunya itu sejak kecil memang sering sakit, akibat dari lahir prematur, namun tak pernah serius atau berlangsung lama. Satu waktu ia akan demam tapi esoknya pasti akan baikan dan kembali ceria seperti biasanya.

"Ibu," panggil Jaemin pagi itu. Irene sedang menyiapkan sarapan pagi untuk mereka ketika Jaemin keluar dari kamarnya dan turun dengan wajah berseri. "Jeno dan yang lain akan pergi menonton festival kampus Hyung, hari ini adalah hari terakhir, Ibu, aku harus ikut ke sana!"

Irene tahu festival kampus Jaehyun, yang diadakan empat tahun sekali itu, memang sudah dinanti-nantikan oleh Jaemin. Tahun ini adalah tahun pertama Jaehyun berkuliah di tempat itu, pertama kalinya pula ia ikut terlibat di acara festival seni, dan tak henti-hentinya ia memamerkan pada adiknya betapa seru dan menarik festival kampusnya. Empat tahun yang lalu Jaemin masih terlalu kecil untuk datang di acara tersebut, jadi kali ini ia sudah sangat menantikannya. Tambah lagi festival ini diadakan saat mereka sedang libur musim panas, makin menjadilah hasrat Jaemin untuk datang di acara festival tersebut.

"Tapi kau belum sehat betul, Jaemin, kau masih harus banyak beristirahat," kata Irene dengan nada khawatir. 

"Aku sudah baik-baik saja, Ibu, aku sudah tidur cukup. Lihat, aku sudah sehat." Irene memperhatikan wajah anaknya yang sudah tak lagi pucat, mungkin kekhawatirannya lah yang berlebihan.

"Lagi pula aku ada di sana, Bu, kalau dia macam-macam akan kuseret pulang." Jaehyun yang duduk di sebelah adiknya menambahkan. Ia mengacak pelan rambut Jaemin, membuat adiknya memprotes kecil.

"Minta izin pada ayahmu," putus Irene akhirnya, memandang suaminya yang sedari tadi hanya menyaksikan percakapan itu.

"Ayah..." rajuk Jaemin. Semua orang di rumah ini tahu bahwa Siwon tak pernah tega berkata tidak pada anak bungsunya.

"Baiklah, baiklah, kau boleh pergi, asal kau harus pulang sebelum jam 8 malam."

Irene tak mengira pekikan senang Jaemin pagi itu akan sangat ia rindukan di kemudian hari.

*** 

Sore itu Irene sedang menghabiskan waktu di ruang kerjanya di rumah. Sebagai seorang interior designer, ia memang lebih banyak mengerjakan pekerjaannya di rumah dibandingkan di ruangannya di firma arsitek, lagi pula datang ke kantor bukan suatu keharusan baginya yang merupakan co-founder firma tersebut. Ada banyak bawahannya yang sangat cakap dalam melakukan tugas-tugas mereka.

Ia sedang memeriksa salah satu desain anak buahnya ketika teleponnya berdering. Dari nomor yang tak ia kenal. 

"Selamat sore, apakah betul ini dengan Nyonya Choi Irene, penanggung jawab Choi Jaemin?" sapa suara di seberang.

"Benar, dengan saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ini dengan Rumah Sakit Ansan, kami ingin memberitahukan bahwa hasil tes darah Choi Jaemin sudah dapat diambil."

"Begitu kah? Bagaimana hasilnya?" Irene bertanya tak sabar.

"Untuk hal itu..." suara tersebut terdengar ragu-ragu. "...Nyonya bisa datang menemui Dokter Lim, beliau akan menjelaskan hasilnya."

Sebuah perasaan aneh menyerang Irene saat itu, sebuah rasa takut yang tak bisa ia bendung. Setelah mengucapkan terima kasih, Irene menutup teleponnya dan berjanji akan segera menemui Dokter Lim. Belum sampai ia meletakkan ponselnya, benda itu kembali berdering. Kali ini dari Jaehyun.

"Ibu!" Suara Jaehyun terdengar tergesa-gesa dan panik. "Jaemin pingsan, kami membawanya ke rumah sakit sekarang..."

Irene hanya sempat mengambil kunci mobil dan dompetnya sebelum akhirnya melesat pergi menyusul ke rumah sakit yang disebutkan oleh anaknya.

Tidak, Tuhan, tolong jangan Jaemin. Jangan Jaemin...

doanya sepanjang jalan.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 13, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Silver LiningWhere stories live. Discover now