prolog

52 7 0
                                    


Apakah salah bila kita berharap? Apakah takdir rela mengubah semuanya? Seberapa jauh seseorang berlari, pada akhirnya kenyataan pahit pasti datang menghampiri. Bukan dunia yang kejam, tapi logika saja yang menolak. Dunia kejam bukan tanpa alasan. Setiap kejadian memiliki alasan dan alasan itu menjadi pemicu banyak hal.

Di sebuah taman tubuh gadis itu kedinginan, dengan jaket putih berlumuran tanah ia memeluk tubuhnya sendiri. Melihat keadaannya siapa pun akan merasa iba, tetapi tidak dengan sang Ayah. Berdiri dihadapannya dengan raut wajah menahan amarah, kejadian satu jam yang lalu menjadi penyebabnya.

Tanpa rasa bersalah, Ayah Fania pergi memasuki rumah. Meninggalkannya sendirian di taman berumput itu. Setelah dimarahi dan didorong oleh sang Ayah ke dalam kolam ikan yang sudah tidak terpakai, Fania melangkahkan kaki menuju keran air terdekat. Memutar keran, lalu membasuh wajahnya berulangkali seolah ingin menyadarkan diri bahwa kejadian yang baru saja terjadi bukanlah mimpi. Fania juga membersihkan lengannya yang kotor. Mengecek apakah ada luka di tubuhnya, beruntungnya tidak ada bagian tubuh Fania yang terluka.

Kejadian tadi sungguh tak terduga olehnya. Tega sekali ayah memarahinya sampai diluar kendali hingga membuatnya terdorong ke kolam. Sebesar apa masalah yang ditimbulkan jika ia hanya menguping pembicaraan ayahnya dengan seorang perempuan. Fania adalah anaknya, dia berhak mengetahui segala hal tentang ayahnya.

Fania mengelap wajahnya menggunakan lengan baju yang ia pakai. Membenarkan kunciran rambutnya yang sedikit mengendur. Pikirannya kini melayang pada kejadian yang terjadi sebelumnya.

"Fania kamu tahu sopan santun? Ini urusan penting Fania!" Nada kesal tersulut disana.

"Apa ada yang lebih penting dari Fania pah? Apa Fania bukan anak papah?" Fania menatap nanar ayahnya. Bukannya takut, Fania malah dengan berani menentang.

"Jaga ucapan kamu Fania!" Sebuah dorongan secara tiba-tiba Fania dapatkan. Tubuhnya terperosok ke dalam kolam ikan.

Fania terduduk, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan. Menatap dengan tepat manik mata ayahnya. Tak ada tatapan belas kasihan yang ada pada wajah ayahnya, yang Fania dapatkan adalah tatapan ketidaksukaan.

"A--yah?" Dengan gagap Fania mengucapkannya.

Tanpa sepatah kata pun ayahnya pergi memasuki rumah. Menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Fania.

Fania menggelengkan kepala berulangkali, berusaha mengenyahkan berbagai pikiran yang mengganggunya. Mencoba berfikir positif, tetapi rasa kecewa tak dapat ia hentikan. Kenapa semuanya sangat sulit Fania terima. Ini adalah jalan hidupnya, seharusnya Fania bisa menjalani setiap cobaan yang tuhan berikan. Walaupun memang sulit untuk menerima kenyataan.

***

Fania berdiri berhadapan dengan cermin besar yang berada di ruang kamarnya. Memandang wajahnya sendiri membuat gadis itu teringat dengan mendiang mamanya. Kejadian setahun yang lalu memberikan perubahan yang besar bagi hidup Fania. Bahkan rasa kehilangan itu masih ada sampai sekarang. Sulit melupakan kenangan yang ada. Bagaimana dapat dilupakan jika di setiap sudut rumahnya menjadi saksi kehidupan keluarga Fania dan turut serta menyimpan kenangan yang ada.

Fania tahu kapan saatnya dia akan bertemu lagi dengan mamanya, yaitu saat tuhan mengambil nyawanya. Tapi bukankah rasa rindu itu sulit untuk dibendung? Setiap hari Fania selalu mengingat orang yang telah mempertaruhkan nyawa demi anaknya saat melahirkan. Wanita hebat itu adalah mamanya yang terkadang hadir di mimpi-mimpi malam Fania. Sosok Mama sangat hebat bukan?

Fania mengambil handphone di meja rias, lalu duduk di pinggiran kasur. Ingin menelpon seorang lelaki yang sejak lama menjadi tempat ia mencurahkan keluh kesah. Dengan sabar Fania menunggu telponnya diangkat dari orang tersebut.

"Halo dengan siapa ini?" Suara berat itu membuat Fania tersenyum tipis.

"Ini Fania, apa kabar yang disana?" Fania menampakkan senyum bahagia. Ingin sekali Fania membicarakan banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini.

"Tentu saja baik, kan sudah ditelpon oleh putri cantik." Pujian itu semakin menambah raut bahagia di wajah Fania. Walaupun hanya suara yang dapat Fania dengar, tetapi Fania tahu bahwa lelaki itu merasakan kebahagiaan yang dirinya rasakan.

Fania tertawa kecil. "Bisa aja, Fania baper nih!"

Fania mendengar suara kekehan lelaki itu. “Baper? Kok bisa?" Nada jail seperti inilah yang Fania rindukan. Setiap bersamanya, Fania merasa nyaman dan terlindungi.

"Iyalah kan....." kalimat itu menggantung di tenggorokan. Sengaja Fania lakukan, sebab ingin menjaili lelaki itu.

"Kan apa Fania?" Tanyanya ingin mengetahui lanjutan ucapan Fania.

"Telponnya Fania tutup dulu ya, oke bye!" dengan cepat Fania memutus sambungan telepon. Fania yakin lelaki itu tengah kesal dan bingung. Biarkan saja, biasanya lelaki itu yang melakukannya. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk balas dendam.

Namun tak Fania sadari, ada yang ia lupakan. Bahwa yang ditinggalkan belum tentu menerima yang telah pergi. Tidak seperti dirinya yang tengah menunggu kepergian seseorang dan akan dengan senang hati menerimanya. Berbeda dengan seseorang diluar sana, dia tak bisa menerima kembali orang yang telah pergi dan menolaknya sesuka hati.

Fania menarik gorden kamarnya, menghalangi semua cahaya yang masuk. Walaupun masih ada sedikit cahaya yang masuk melalui celah-celah jendela. Malam ini Fania ingin merehatkan tubuh. Fania butuh ketenangan sekarang, menyendiri adalah hal yang baik untuknya.

Maaf jika kepergian adalah hal yang menyakitkan, lalu mengapa disetiap kepulangan harus dilalui dengan kepergian?" Fania menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Mulai memejamkan mata, ingin merasakan kedamaian.

    _________________

Maaf,kemarin ada kesalahan teknis yang lumayan fatal, jadi kami revisi ulang bagian prolog, mohon maaf yang sebesar besarnya.

Selamat membaca

Salam hangat kami berdua_

Bogor, 06 november 2019






AluraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang