Qila pulang dengan sangat berantakan, ia memasuki rumah mewahnya, berjalan cepat menuju ruang meja makan. Terlihat keluarga Gyros sedang melaksanakan makan malam bersama. Philip Fredik Gyros-kakek Qila yang sedang menatapnya saat ini, dan berhenti memakan makanannya seketika.
"Kenapa kamu pulangnya sangat kotor?" Philip berusaha merendam amarahnya saat ini, karena melihat keadaan Qila yang terbilang tidak baik-baik saja.
"Apakah kamu abis main lumpur?" celetuk Thanya Indah Gyros-tante Qila dari adik ayahnya. Qila menatap tajam Thanya dan menduga bahwa kejadian tadi adalah ulah Thanya. Karena Thanya sangat membenci Qila, jadi sudah dipastikan perkiraannya tak akan melesat. Philip yang mendengar perkataan Thanya menegurnya.
"Cukup Thanya, jangan mulai pertikaian saat di meja makan dan Qila segera bereskan dirimu lalu datang ke kantor kakek. Makanku sudah selesai." Philip segera bangkit dan meninggalkan keadaan tegang yang dihadapi keluarga Gyros saat ini.
"Well adik yang paling disayangi kakek, jangan sekali-kali kamu menatap mamaku seperti tadi." Arnold Rendi Gyros-cucu tertua dari keluarga Gyros anak dari Thanya menatap tak suka Qila.
"Mataku memangnya seperti apa?"
"Menatapnya dengan tajam seakan-akan kamu ingin membunuh mamaku."
"Oh ya? Aku tidak merasa demikian."
"Sudahlah kalian berdua, lebih baik Qila kamu mandi terus makan dan kak Rendi sebaiknya kamu melanjutkan makanmu." Katherine Aura Gyros-adik dari Rendi memisahkan perdebatan mereka. Aura melihat sekujur tubuh Qila memar dan saat melihat telapak tangan Qila yang dikepal telah bertetesan darah, dengan segera Aura berdiri dan bersigap menolongnya. "Qila tanganmu terluka. Cepat ke kamar, nanti aku akan bawakan obat dan makan malam mu selagi kamu ganti baju."
"Aura jangan suka membantunya, dia sudah besar tidak perlu dimanja."
"Kak Rendi bisa diam gak? Menolongnya adalah keinginanku, mau dia masih kecil atau sudah besar sekalipun, bagiku ia masih Qila kecil yang dulu selalu main sama kita dan juga Qila adik kita."
"Beda ibu dan ayah, ingat itu. Jangan terlalu mendalami peran seorang kakak. Begitu pula denganmu Qila."
"Pertama, aku tidak pernah meminta bantuan kak Aura, kedua kita ini keluarga kak, seharusnya kita bisa saling merangkul seperti dulu."
"Keluarga tidak menusuk dari belakang Qila."
"Kalau kak Rendi berbicara soal warisan, kakek sendiri yang telah menunjukku untuk menggantikannya."
"Aku tahu, karena kamu anak kesayangan kakek. Makanku sudah selesai." Rendi segera berdiri dan pergi meninggalkan ruang makan.
"Apakah kamu tidak lelah Qila?"
"Tidak tan, terima kasih sudah perhatian." Qila memberi senyum tipisnya mendengar penuturan Thanya.
"Bukan itu bodoh, maksudku kamu tidak lelah selalu menjadi benalu dalam keluarga ini? Melihat wajahmu makan ku sudah tidak berselera." Seketika senyum Qila luntur, harusnya ia sudah terbiasa mendengar kata-kata yang kasar dari Thanya atau Rendi.
"Sudah jangan dengarkan mama, kamu adalah bagian penting dari keluarga ini. Sebaiknya kamu ke kamar sekarang juga." Aura menyuruh Qila bergegas supaya luka ditubuhnya tidak bertambah parah.
"Iya kak."
----
Qila mendesah kasar, ia menuju le kamar mandi, membersihkan dirinya lalu berpakaian untuk tidur, setelah itu ia mengeringkan rambutnya memakai hair dryer dan tak lama Aura mengetuk membawa nampan makanan serta kotak P3K. Aura menaruh nampan di meja rias Qila.
"Sini biar kakak bantu." Aura mengambil ahli hair dryer dari tangan kiri Qila yang kesusahan sejak awal untuk memakainya.
"Makasih kak." Suara hair dryer memenuhi ruang yang sunyi, tidak ada pembahasan tercipta. Setelah sudah setengah kering rambutnya Qila, kemudian Aura menarik tangan Qila menuju kasur untuk membersihkan lukanya.
"Bagaimana kamu bisa terluka?" tanya Aura mengambil kapas lalu dituangkan alkohol dan betadine kemudian dengan perlahan mengobati bagian memar di wajah, mengoleskan di bagian tangan dan kaki yang terluka dan lecet. Qila hanya diam saja, tidak mau menjawabnya. "Mengapa gak jawab? Sini telapak tanganmu."
"Aku terjatuh."
"Aku tidak bodoh Qila bagaimana bisa luka ditanganmu bergaris seperti terkena goresan pisau kalau hanya jatuh?"
"Aku tidak apa-apa kak, jangan khawatir." Aura mendengus kasar dan memperbani telapak tangan Qila. "Pokoknya kalau kamu sudah siap untuk cerita dan butuh bantuan, bilang sama kakak ya." Aura tersenyum, lalu membelai rambut Qila dan membereskan kotak p3knya.
"Iya kak, sekali lagi makasih." Qila memberikan senyuk tulusnya.
"Yaudah kamu istirahat ya." Aura pergi keluar dari kamar Qila. Kemudian Qila pergi ke ruang kerja Philip untuk membicaralan hal yang sudah terjadi padanya. Qila mengetuk pelan pintu, setelah mendengar kata masuk, ia membuka dan memasuki ruangannya.
"Jadi kamu bisa jelaskan apa yang terjadi?" Philip bersedekap dudu di sofa dan didepannya sudah ada Qila yang gugup untuk menjelaskan.
"Aku diserang saat pergi ke hutan."
"Hanya sendiri? pak Dimin kemana?"
"Kakek jangan marah padanya, aku yang menyuruhnya untuk tetap tunggu di mobil." Philip mendesah gusar, ia tak sangat suka jika ada salah satu keluarganya terluka.
"Kamu mengenali orang yang menyerangmu?"
"Tidak, pakaian mereka serba hitam dan masker putih."
"Apa ada bagian tubuh seperti tato yang sama pada mereka?" Qila berusaha mengingat, dan ia yakin bahwa saat ini tidak ada gambar atau tanda tato pada tubuh mereka.
"Tidak ada, hanya masker putih yang menjadi ciri khas mereka."
"Rasanya akhir-akhir ini keberadaanmu semakin berbahaya."
"Kakek tenang saja, aku kan bisa bela diri."
"Tapi kemampuanmu belum cukup untuk menjamin keselamatanmu."
"Dari semua penyerangan yang ada, aku telah berhasil untuk selamat."
"Mungkin keberuntungan selalu berpihak lagi padamu, tapi bagaimana kalau sebaliknya?"
"Kakek tenang saja aku bisa jaga diri."
"Keputusanku sudah bulat, nanti saat kamu kembali bersekolah, akan aku sediakan bodyguard untuk menjagamu."
"Well, seperti biasanya akan aku biar gak betah dia berada disampingku."
"Aku baru ingat, besok malam akan ada acara amal dan ada banyak teman kakek yang akan datang. Kamu wajib ikut."
"Tapi kek-"
"Itu perintah bukan permintaan. Sudah kembali ke kamarmu dan tidur yang nyenyak."
"Baiklah, selamat malam kek."
Qila kembali ke kamarnya, kemudian menunu tempat tidur untuk mengistirahatkan pikirannya dan tubuhnya. Qila memajamkan matanya sementara lalu teringat oleh lelaki yang telah menolongnya. 'Raya, aku akan mengingatmu.' monolog hati dari Qila. Setelahnya Qila terlelap menuju alam bahwa sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTUISI
Teen FictionRangkaian delusi sudah tercipta, setiap malam aku menulisnya dimimpiku. Iya, hanya mimpi, karena kamu adalah kenyataan yang diciptakan oleh bayangan yang sebenarnya hanyalah ilusi bagiku. - Raya Putra Setinggi itukah aku dimatamu? Hingga kamu tak b...