Prolog

148 4 0
                                    

SAZIA AYODYA POV

Aku tidak habis pikir sama sekali. Diantara banyaknya laki-laki yang ada di Jakarta, kenapa harus Pak Ammar?

Argh! Sial.

Pria jakung bertubuh atletis itu menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Sedangkan aku, sedari tadi hanya memutar bola mata malas, dan sesekali menghela napas malas panjang karena bosan.

"Udah satu jam, Pak. Bapak gak mau pindah kamar sebelah? Saya capek, mau tidur," kataku membuka suara setelah diam mendominasi di antara kami.

"Kamu menyuruh saya pindah? Lho, ini kan kamar saya?" Ah, lupa. Sadarlah, Zia. Kamu di sini menumpang.

Iya, menumpang sebagai istri lebih tepatnya.

Malam ini, adalah malam pertamaku bersama pria jakung ini. Kok aku merasa geli sendiri, ya?

Pernikahan ini terjadi sangat mendadak, dan diawali dengan permasalahan yang serius. Perkara soal kehamilanku.

Jika kembali mengingatnya, hatiku kembali teriris rasanya-saat mengetahui aku hamil saat tidak memiliki suami. Hal itu tentu membuat tanda tanya besar di kepalaku. Ini anak siapa, njirr..

Sebab, mantan pacarku, Rifal-pria idamanku, tidak pernah menyentuhku secara intim. Bahkan, membicarakan hal yang intim saja rasanya tidak pernah ada di topik kami berdua. Walaupun, kami sudah menjalin hubungan selama 7 tahun lebih, Rifal sangat tulus mencintaiku.

Kenapa tidak Rifal saja menikahiku? Toh, berpacaran selama 7 tahun pasti ada tujuan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, bukan? Ditambah lagi kami sama-sama sudah bekerja. Tinggal menentukan tanggal saja.

Sejujurnya, aku merasa kasihan jika mengadu perkara kehamilanku yang tidak jelas ini padanya. Aku takut, ada laki-laki lain yang sempat meniduriku-karena beberapa bulan lalu, aku sering pergi ke kelab malam bersama Eka, sahabatku di kantor.

Dan sampai hari ini, jangankan jujur soal kehamilanku, pernikahanku dengan Pak Ammar saja dilangsungkan secara diam-diam-yang dihadiri yang beberapa kerabat keluargaku, juga keluarga Pak Ammar tentunya.

Pak Ammar ini adalah CEO sekaligus pemilik saham terbesar di perusahaan yang juga menjadi tempatku bekerja. Dari yang aku dengar, selain itu perusahaan yang dibangunnya sendiri oleh jerih payahnya, Pak Ammar juga memiliki beberapa restoran yang tersebar di kota-kota besar. Waw!

Dia jufa tidak begitu buruk untuk dijadikan seorang suami. Matanya tajam namun jika tertawa selalu menyipit, giginya tersusun rapi dan tampak putih, rambutnya selalu rapi, tingginya ideal, badannya atletis, kulitnya juga cerah, oh iya, jangan lupa bagian favoritku. Bibirnya yang merah dan menggoda. Argh.. Kal-.. Sadar, Sazia Ayodya!!

"Kok malah bengong? Mau coba untuk memenuhi kebutuhan suami?" pertanyaan menggoda itu menyadarkan aku kembali.

Aku berdecih, "Jangan harap. Bapak tahu sendiri kan, hubungan intim suami-istri harus dilakukan dengan perasaan yang sama juga. Gak hanya untuk memuaskan nafsu semata, seperti yang Bapak pikirkan sekarang." kataku tegas lalu beranjak berdiri untuk berpindah kamar. Kali ini aku mengalah saja dari bos narsis ini, aku terlalu lelah untuk berdebat.

"Lho, kamu pikir, saya menikahimu karena apa?" tanyanya menghentikan langkahku yang baru saja ingin menarik pintu.

Aku berbalik, "Karena kasihan sama anak aku, kan? Kenapa? Bapak menyesal? Bukankah sebelumnya saya sudah menegaskan? Bahwa, saya tidak suka dikasihani!" kataku tegas.

Suddenly married?!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang