Festival Lampion

51 2 2
                                    

Alanine

Malam itu adalah waktu dalam setahun di mana ribuan lampion warna-warni dapat bersinar cerah di sepanjang jalanan batu di kota kami. Entah kenapa tiba-tiba sekumpulan masyarakat serentak beralih profesi menjadi pedagang di trotoar jalan. Mereka menjual apa saja yang menurut mereka pantas. Aku juga tidak tahu kenapa ada saja yang menganggap batu yang tidak berguna, setelah diwarnai dan diberi manik-manik dapat memiliki nilai jual. Kudengar dari Kakek Ankaraksia, perputaran ekonomi di malam ini begitu cepat sebab orang-orang dengan sukarela mengeluarkan uang untuk membeli bermacam-macam barang.

Dari segala macam hal di Festival Lampion, sesuatu yang paling kusukai adalah, setahun sekali, Paman Barton akan mengeluarkan sebuah benda berukuran besar yang ia sebut sebagai "Mobil Van".

"Dulu kendaraan ini begitu populer. Sebelum Pertempuran Agung meletus, semua orang mengetahui ini apa. Benda ini bisa lebih cepat mengantarmu ke Ibu Kota Utama hanya dengan waktu satu jam. Sedangkan perlu seharian jika kau menggunakan kuda," begitu kira-kira yang ia ceritakan pada anak-anak di kota kecil kami setiap tahunnya.

Aku selalu penasaran dengan dunia yang sering diceritakan oleh Paman Barton dan beberapa orang dewasa lain. Sebenarnya, kudengar Paman Barton sendiri tidak pernah mengalami apa yang sering ia ceritakan. Ia mendapat benda itu dan cerita-ceritanya dari kakek buyutnya yang sudah meninggal. Kudengar benda dan cerita itu pun telah diwariskan dari leluhur kakek buyutnya Paman Barton. Sudah lama sekali. Tak heran jika benda kotak itu juga terlihat begitu tua dan rapuh, meskipun Paman Barton berusaha menutupi karat dengan warna-warna baru setiap tahunnya.

"Bagaimana cara benda kubus itu berlari, Paman?" tanyaku waktu itu dengan malu-malu pada Paman Barton.

"Nah, dulu ia memiliki kaki bundar seperti tart berukuran besar yang bisa berputar. Mereka menyebutnya 'roda' dan dengan itulah benda ini berlari," begitu ucap Paman Barton pada kami yang tidak habis pikir tentang dunia ajaib yang diceritakannya.

"Aku tahu apa itu roda," sela Tom, anak laki-laki yang sering pergi ke Ibu Kota Utama, "tetapi menurutku tidak mungkin roda kayu bisa mengangkat beban benda itu yang terbuat dari besi."

"Ah, yang kau tahu itu roda kereta kuda! Itu memang terbuat dari kayu. Sedangkan roda untuk mobil terbuat dari besi dan karet."

Anak-anak tertawa serentak.

"Paman Barton lucu! Karet 'kan hanya untuk pakaian dan ikat rambut, mana bisa mengangkat benda sebesar itu!" celetuk salah satu teman Tom.

Aku selalu tidak suka jika Tom dan teman-temannya datang dan meremehkan cerita Paman Barton tentang dunia di masa lampau. Menurutku Tom terlalu sombong hanya karena ia anak dari Wali Kota kami dan sering pergi ke Ibu Kota Utama. Karena menurutku, meskipun kisah Paman Barton terdengar aneh dan susah dipercaya, setidaknya ia harus menghormati perkataan orang dewasa.

"Kalian jika memang mau melihat apa itu roda, datanglah ke Balai Kota hari minggu pagi. Aku dan Ayah akan pergi ke Ibu Kota Utama menggunakan kereta kuda. Daripada kalian terus mengkhayal tentang kotak besi yang bisa jalan sendiri!" ucap Tom waktu itu diiringi tawa oleh teman-temannya.

"Jangan lupa datang ya, Alanine!" tambah Tom sambil menunjukku. Waktu itu aku hanya berbalik pergi. Aku mengambek pada Tom karena kata-katanya yang menyinggung Paman Barton. Tentu saja aku memilih untuk tidak ke balai kota seperti ajakan Tom waktu itu.

Setelah waktu telah berlalu tiga tahun dari kejadian itu, aku masih sering pergi ke tempat Paman Barton dan melihat 'Mobil Van' miliknya. Semakin lama benda yang memiliki beberapa jendela di sisi kanan-kirinya itu terlihat semakin ringkih. Namun, entah kenapa sesuatu yang disebut kendaraan dari masa lalu itu tetap terlihat memiliki pesona tertentu.

Alanine & Balun: Tentang Cinta dan Dunia Setelah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang