Part 1

185 6 3
                                    

Seseorang Yang Tertinggal...


Pulang kuliah. Kumasuki gerbang rumahku. Melewati balai kecil di depan rumah di mana ibuku tengah membuat takir sesaji seperti biasa. Sekilas ibuku melihatku, cuma dengan senyum tipis sebagai sambutan untuk hal yang sudah keseharian. Ya, sudah keseharianku, sibuk kuliah dan selalu pulang menjelang sore.

Kuletakkan diriku, bersandar di teras depan kamarku. Melepas penat sambil memandang ke barat. Jauh ke seberang teras. Pandanganku mengembara ke pesawahan yang hijau kekuningan di sana, yang berbatas dengan tepian bukit dan hutan yang teduh.

Kuhela nafasku. Kupejamkan mata, mendengarkan sayup-sayup suara yang rancak di kejauhan. Jegog, musik bambu kebanggaan tanah Jembrana sedang menyapa telingaku. Iramanya tegas, tapi mengalir dengan lembut di antara udara sore yang hangat. Aku terbuai. Hingga kemudian irama bambu itu berhenti, digantikan suara lain yang mencuat seperti seruling. Itu suara Sunari, peluit bambu yang dipasang para petani di sawah mereka. Lubangnya diselami oleh angin, menghasilkan suara yang terdengar pilu di antara sahutan burung-burung sawah yang riang.

Inilah suara sore di depan kamarku. Di tanah Jembrana yang aku cintai...

Aku tak bosan. Karena membayangkan lembar-lembar hidupku di Jembrana, tak hanya mengarungi nuansa keindahannya yang sahaja. Tapi juga menyusuri kembali kenangan-kenangan berharga dari masa remaja yang sudah lalu. Mengingat kembali betapa indah masa SMA dulu, saat aku bersama dengan seseorang yang sangat membekaskan banyak harapan dalam diriku hingga saat ini.

Sosok yang tak pernah lekang. Dia, suatu ketika masuk dalam hidupku. Itu bermula di awal masa SMA. Di sebuah camping dalam rangka masa orientasi sekolah, saat-saat yang dipenuhi dengan bentakan para senior, gojlokan mental, dan juga hukuman-hukuman. Ahhh... Aku sangat mengingatnya, tak mungkin lupa.

Di malam terakhir kegiatan perkemahan itu, aku merasa tak sehat, dan memilih untuk beristirahat di dalam tenda di saat siswa-siswa lainnya harus mengikuti acara api unggun. Saat itulah, dia menghampiriku...

"Kamu sakit?" dia bertanya.

Saat itu aku belum mengenalnya, dan hanya tahu bahwa dia sekelas denganku dan satu tenda denganku. Aku cuma mengangguk pelan saat menjawab sapaannya.

Tanpa kuduga, tiba-tiba dia menjamahkan tangannya ke leherku.

"Ahhh!" desahku kaget, tangannya terasa dingin di kulitku.

"Sepertinya kamu demam. Sudah minum obat?" tanyanya, dengan sangat santai memberiku perhatian.

"Sudah," jawabku singkat, seraya merapatkan sweater dan mendekap tubuhku yang kedinginan.

Tiba-tiba ada yang menyibak kain pintu tenda. Seorang siswa senior. "Kenapa tak ikut kegiatan?!" bentak senior kami itu, membuat kami terkesiap.

Aku belum sempat menjawab, temanku tadi sudah menjawab lebih dulu.

"Dia sakit, Kak," jawab temanku.

"Kalau sakit kenapa tidak ke UKS? Kenapa malah di sini?!" senior itu membalas dengan bentakan lagi.

Di saat kami berdua tengah gugup menghadapi bentakan senior, ada senior lainnya yang menyusul menghampiri kami.

"Ada apa?" tanya senior yang baru datang itu, lebih halus.

"Temanku sakit," lagi-lagi temanku yang menjawab. Aku belum sempat menjawab apa-apa. Membuatku benar-benar heran.

"Kalau sakit ke UKS saja. Ayo!" ajak senior kami yang baru datang itu. "Kamu sekalian temani dia," imbuhnya pada temanku tadi.

Senior kami yang ketus kembali ke kerumunan api unggun. Sedangkan kami, bersama senior yang 'baik hati' tadi mulai beranjak dari tenda. Melintasi lapangan sekolah yang remang oleh pendaran api unggun, kami bertiga melangkah dengan panduan lampu senter yang dipegang senior kami, menuju ke ruang UKS.

Di Bawah Langit BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang