"Dia tak punya HP. Aku tadi menelpon rumahnya, tapi tak ada yang mengangkat!" jelasku. Akhirnya aku terlalu gelisah untuk memendamnya.
Dengan kalut aku berpikir-pikir. Hingga akhirnya...
***
"Aku mau menyusul dia!" cetusku, memutuskan sebuah pilihan dan mencabut keragu-raguanku. Aku segera berdiri dan bergegas secepat mungkin menuju ruang ganti!
"Hei! Mau kemana?!" Devan berseru kaget padaku.
Devan mengikutiku. Aku tetap meneruskan langkahku tanpa mempedulikannya, secepat mungkin menuju ruang ganti yang ada di ujung koridor.
Di ruang ganti aku menatap wajahku di cermin. Ya ampun... Segera kulepasi Udeng, kain Wastra dan semua embel-embel kostumku. Lalu segera menuju wastafel dan mencuci mukaku, membersihkan make up.
"Sial!" dalam hati aku memaki. Kenapa tadi aku harus dirias di luar? Aku tak punya pakaian ganti di sini! Aku benar-benar kesal dengan kondisiku sekarang!
"Kamu kenapa, Awan?!" Devan menanyaiku dengan wajah agak kesal.
"Aku mau menyusul Dika!"
"Kamu mau menyusul kemana?"
"Dia bilang akan menyeberang dari Gilimanuk. Sekarang dia pasti sudah berangkat ke sana," jelasku agak bingung, berusaha mengatur emosi. Aku memandangi Devan lekat-lekat.
Devan membalas pandanganku dengan mimik seperti tak enak dengan gelagatku. Ragu-ragu dia tersenyum. "Kamu mau ke Gilimanuk?" kuliknya dengan muka masam.
"Tolong antar aku!" pintaku padanya.
"Ya ampun!" Devan langsung mendesah lunglai mendengar permintaanku. "Jadi benar kamu mau ke Gilimanuk sekarang? Terus acara ini bagaimana? Perjalanan ke Gilimanuk tak cukup satu jam!"
Aku tahu. Aku berpikir lagi.
Dan...
"Aku akan mengundurkan diri," sebuah keputusan kuambil lagi di tengah kebimbanganku.
Devan menggelengkan kepalanya disertai senyum kesal. "Bukannya ikut acara ini adalah keinginanmu?" lontarnya sinis.
"Aku tahu! Tapi... Kau juga tahu, Dika itu sahabatku! Dan aku tak akan bertemu dia lagi!" tandasku gundah. Semakin kusadari situasiku, semakin rumit rasanya.
"Kalau kau mengundurkan diri, bagaimana dengan pasangan parademu? Bagaimana kamu mempertanggungjawabkan masalah ini?" cecar Devan.
"Soal pasanganku, panitia pasti akan mengaturnya nanti. Mereka selalu menyiapkan Plan B, dan itu bisa dipakai sekarang!" jawabku gugup. Kedengarannya memang egois. Entahlah, sepertinya aku sudah tak bisa berpikir lebih jauh lagi.lagi.
"Panitia pasti akan tanya alasanmu! Bagaimana juga dengan orangtuamu? Mereka juga ingin melihatmu di acara ini kan?" Devan tak berhenti mencecar keputusanku.
Aku membanting punggungku ke dinding. Lututku kelu, aku terhenyak di lantai. Kuremas kepalaku. Rasanya ingin kubanting semua perkara yang membebani kepalaku ini!
"Aku tak butuh lagi acara ini!" seruku, tak dapat lagi menahan kegundahanku.
Devan terpana kecut memandangiku. Sesaat kami membisu. Dalam hati aku merasa buntu, dan aku marah dengan keadaanku!
Akhirnya Devan ikut menekuk lututnya, menjajarkan kepalanya di depan wajahku.
"Awan... Hei?" bisik Devan pelan dan lebih tenang. "Kamu yakin dengan keputusanmu?"
"Antar aku, cuma kamu yang bisa kuandalkan. Please!" aku memohon dengan putus asa.
Devan mendesah. Dia merengkuh bahuku, mengajakku berdiri lagi. Dia menepuk pundakku, berusaha menenangkan emosiku.
"It's OK," ucapnya pelan. "Tapi bajumu?"
"Aku tak punya pakaian ganti di sini. Antar saja aku sekarang!" desakku sekaligus pasrah.
Aku tahu, dalam hatinya Devan pasti sangat kesal padaku. Tapi setelah kupikirkan, memang inilah tindakan terbaik yang seharusnya kulakukan. Festival Jegeg Dan Bagus Jembrana ini memang penting dan aku mengikutinya dengan penuh harapan, pada awalnya. Tapi kemudian aku sadar, bahwa persahabatanku dengan Dika lebih penting. Dan di hari keberangkatannya ke Jakarta ini, untuk melanjutkan sekolah dan aku tak akan bertemu dengannya lagi entah sampai kapan, aku ingin melepasnya... meski mungkin hanya dengan satu kalimat perpisahan yang kuucap untuknya. Itulah sikap seorang sahabat!
Dan cuma Devan yang bisa kuandalkan untuk membantuku. Setelah 'memaksa' panitia acara untuk menerima pengunduran diriku dengan alasan yang memang terdengar sangat egois bagi mereka, dengan keras kepala aku meninggalkan acara itu. Dengan motornya Devan segera membawaku meluncur ke Gilimanuk, aku sendiri tak peduli dengan jas dan celana kostum festival yang masih melekat di tubuhku. Festival Jegeg Dan Bagus Jembrana, aku benar-benar tak memikirkannya lagi!
Melalui perjalanan sekitar satu jam dari Negara, dengan motor yang melaju kencang, akhirnya kami tiba di Gilimanuk. Aku terkesiap saat melihat waktu di jam tanganku, jam enam lewat!
"Semoga belum terlambat!" gumamku dalam hati penuh harap.
Devan memberiku isyarat supaya jalan lebih dulu, dia mencari tempat parkir untuk sepeda motornya. Aku segera bergegas.
Tapi... aku tertegun dan mataku tersita oleh pemandangan yang tanpa sengaja kudapati di tempat parkir. "Kenapa ayah dan ibu Dika sudah keluar dari pelabuhan?" aku bertanya-tanya dengan cemas dalam hati.
Setengah berlari aku segera menghampiri orang tua Dika yang baru mau masuk ke mobil.
"Maaf, Pak!" cegahku di depan mobil. Ayah Dika yang sudah duduk di kursi setir tercengang melihatku, seperti berusaha mengingatku. Aku terengah-engah bercampur cemas. "Dika? Apa Dika sudah...?"
"Ooo... Dika sudah berangkat, kapalnya baru saja menyeberang," dengan wajah masih heran ayah Dika menjawabku.
Aku terpana. Tubuhku lemas. Langkahku gontai. Orang tua Dika masih tercengang di dalam mobil, tapi aku sudah tak sempat mempedulikan mereka lagi. Kutinggalkan mereka, aku segera mengejar ke dalam pelabuhan! Aku berlari menuju dermaga. Dalam hati aku meracau sepanjang derap lariku, berharap aku belum terlambat.
Bisa saja orang tua Dika bohong! Ya, mereka pasti bohong! Dika pasti belum berangkat! Aku harus mengejarnya!
Tapi...
Kulihat kapal itu sudah berada di tengah laut. Kapal telah berangkat, berlabuh menyeberangi selat...
Lututku lunglai. Aku terhenyak di lantai dermaga. Aku terdiam nanar menatap kapal yang semakin menjauh. Hatiku sekali lagi masih berusaha berontak. Aku masih mencoba menengok ke sekelilingku dengan penuh harap, berharap bisa saja Dika naik kapal berikutnya. Dia mungkin masih menunggu di dermaga ini! Dia belum berangkat! Dia masih...
Dia masih...
Hhhhh... Ya Tuhan...
Aku tertunduk menatap lantai dermaga yang dingin dan bisu. Semangatku pupus. Kapal itu sudah berangkat. Dika sudah pergi.
Aku memang terlambat.
Tetes-tetes rinyai gerimis kurasakan memercik ke wajahku. Kurasakan, juga ada yang menetes dari mataku.
Ya Tuhan, aku menangis...
TBC~