Shadow [1]

3.4K 206 18
                                    


"Jiang Cheng, kau tunggu di sini dulu. Aku akan berkeliling sebentar"

Jiang Cheng dapat mendengar suara Wei Wuxian sebelum pemuda tersebut pergi meninggalkannya sendirian dalam sebuah gang. Ia tidak menyahuti perkataan Wei Wuxian, yang ia lakukan hanya memandangi jari telunjuknya yang kini telah melingkar Zidian yang seblumnya merupakan milik sang Ibu.

Jiang Cheng melepas kemudian memutar-mutar Zidian, memandanginya tanpa tujuan. Hari ini, ia kehilangan semuanya, sektenya, keluarganya, semuanya karena para anjing Wen.

Setelah semua yang ia punya kini menghilang dalam waktu sehari, jujur saja, saat ini ia tidak merasakan apapun. Setelah kesedihan, kehancuran, keputusasaan datang padanya kini yang tersisa hanyalah mati rasa.

Balas dendam? Tentu saja Jiang Cheng sangat ingin melakukannya, jika perlu ia sekarang kembali ke Dermaga Teratai untuk menuntut balas. Tapi ia merasa bahwa bukan itu yang diinginkan orangtuanya. Ibunya...... Apa arti perkataan terakhir ibunya sebelum mengirimnya pergi. Juga kata-kata terakhir Ayahnya. Jiang Cheng menatap kosong Zidian.

Samar-samar ia mendengar orang yang berbicara dekat gang tempatnya berada. Mereka sedang membicarakan dirinya, Wei Wuxian, juga sang kakak yang kini tengah berada di Meishan Yu.

Jiang Cheng langsung menolehkan kepalanya ke arah ujung gang begitu suara tersebut semakin mendekat. Mereka melewati gang, bukan hanya satu orang dan mereka menuju tempat dimana Wei Wuxian sebelumnya berjalan.

Jiang Cheng berdiri, ia berjalan keluar gang sambil memakai kembali Zidian di jari telunjuk tangan kanannya. Ketika ia keluar gang, memang anjing-anjing Wen ini berjalan ke arah Wei Wuxian yang tengah berbicara dengan seorang penjual tanpa menyadari bahaya yang mungkin mendekatinya.

Jiang Cheng melihat sekitarnya, berusaha menemukan sesuatu yang mungkin bisa ia gunakan sebagai sebuah senjata. Ia hanya menemukan sebuah batu, dengan ini Jiang Cheng tanpa pikir panjang melempar batu tersebut pada salah satu anjing Wen. Tentu saja si korban pelemparan marah, mencari asal datangnya batu yang mengenai kepalanya. Jiang Cheng tidak sempat sembunyi, ia langsung lari, tahu betul bahwa dengan seragam sekte Yunmengnya ia pasti sangat mudah dikenali.

Jiang Cheng tidak salah tebak karena saat ia berlari ia samar-samar mendengar mereka memanggil namanya. Sekuat tenaga Jiang Cheng berlari, tapi kekuatan tubuhnya sangat terbatas. Sebelumnya ia telah mengalami kelelahan baik jiwa maupun raga dan sekarang ia hanya memiliki sedikit tenaga untuk menggerakkan tubuhnya. Jiang Cheng berlari ke arah hutan, berpikir mungkin ia bisa bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan.

Tapi siapa yang bisa membohongi kultivator yang telah terlatih? Para pengejarnya dengan kekuatan prima mampu mengejarnya dan semakin mengikis jarak. Jiang Cheng hampir terkena tebasan pedang jika ia tidak berbelok. Ia berdiri waspada, dengan napas yang masih terengah-engah. Ia tidak mempedulikan ocehan mereka yang melecehkannya, otaknya tetap berputar untuk mencari celah untuknya lari.

Tanpa alat kultivasi, ia bisa apa? Seperti ada sebuah pukulan pada kepalanya, Jiang Cheng ingat senjata terakhir yang diberikan Ibunya. Pelan, ia mengelus cincin di tangannya yang kemudian merespon dengan kilatan kecil berwaran ungu. Musuhnya langsung waspada, Jiang Cheng berusaha berkomunikasi dengan Roh Senjata Spiritual Zidian. Ia sama sekali belum pernah mengayunkan Zidian, Jiang Cheng berharap Zidian akan membantunya.

Jiang Cheng mengubah Zidian menjadi cambuk dan seketika itu ia kibaskan pada para anjing Wen, kemudian ia membuat kerusakan di sekitarnya. Membuat tanah kacau dan berdebu hingga menyamarkan penglihatan, menumbangkan pohon di sekitarnya kemudian ia kembali lari.

AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang