Benang Merah

44 3 1
                                    

"Bangun, Ji!"

Aku terbangun dan langsung terduduk. Ternyata aku hanya mimpi. Apa yang aku lakukan dengan Bang Haji hanya bunga tidur semata.

Bukan sebagian, tapi nyaris keseluruhan dari cerita bagian satu itu hanya mimpi. Aku tidak dekat dengan Bang Haji. Aku memang mengenalnya, tapi Bang Haji sama sekali tidak mengenalku. Kalau pun kami berpapasan mungkin dia tidak akan melihat keberadaanku. Aku nyengir miris.

Sebagian fakta yang ada di cerita bagian satu itu adalah betul kalau Bang Haji adalah seorang duda dengan empat orang anak, dan fakta juga kalau dia pengusaha tersukses di desaku. Makanya aku merasa rendah diri kalau bisa dinotice sama Bang Haji.

Ngomong-ngomong, itu yang bangunin aku bukan Bang Haji, tapi ibuku. Iya, aku sudah ditunggu bapak untuk berangkat ke sawah untuk nandur.

Itulah kehidupanku selepas lulus SMA. Bukan tidak mau kerja di tempat lain, tapi untuk mendapat kesempatan pekerjaan yang lebih baik di daerahku memang kecil. Kebanyakan mata pencaharian di sini bertani, otomatis banyak tenaga terserap di sektor ini. Ada sih beberapa pemuda yang mencoba menjajal nasib di kota, ada yang lumayan sukses, tapi kebanyakan kembali ke kampung dan bertani.

Lalu, apa dong benang merah dalam cerita ini yang bisa membuat aku dan Bang Haji bisa berkenalan? Rupanya Author masih mau bikin aku menunggu. Huffttt..

***

Mengenai statusku, sebetulnya aku juga belum paham dengan orientasiku meskipun aku sudah berusia 21 tahun. Kehidupan seperti ini di kampung memang sangat tidak mendapat tempat. Aku pun belum pernah berani unjuk gigi dengan orientasiku, ya minimal ke seseoarang yang aku deteksi sama sepertiku, seperti si Asep, dia kelemer-klemer ngondek, berbeda denganku yang straight-act. Yang aku rasakan jika melihat pria tampan, tidak serta merta aku menyukainya. Aku mungkin bisa menyukainya jika sudah dua atau tiga kali melihatnya dan mengetahui sifatnya. Termasuk dengan Bang Haji ini.

Lalu apa yang menyebabkan aku bisa belok? Sulit kupahami juga. Mungkin karena dulu aku sering mandi di sungai barengan dan terbiasa melihat bapak-bapak mandi telanjang? Entahlah, toh anak-anak yang lain seusiaku tidak ada yang mengarah kesana. Atau mungkin juga karena waktu kecil teman sepermainanku kebanyakan wanita? Gak tau juga.

Memasuki tengah hari Ibu datang membawa makan siang, kalau istialah di kampungku itu nganteuran namanya. Jadi ibu mengantarkan makan siang untuk aku dan bapak. Menunya seadanya, nasi, sambal terasi, ikan asin peda, sama tempe goreng. Tak ada ayam apalagi daging, tapi nikmatnya luar biasa.

Sebetulnya lahan yang sedang kami garap juga bukan lahan milik sendiri. Lahan ini milik tetangga kami Pak Bambang. Dia termasuk orang kaya juga sih, ketiga anaknya bahkan semuanya kuliah di kota.

Tiba-tiba pandanganku terhenti ketika mataku menatap seseorang yang muncul dalam mimpiku tadi malam. Bang Haji ada di sawah dan sepertinya berjalan ke arah saung yang sedang kami tempati untuk makan siang.

"Siang Pak Otang."

"Siang Kang Haji, ada apa ke sini?"

Aku cengo, jadi selama ini Bapak sudah kenal Bang Haji.

Bang Riza, Sesempurna Itu Dirimu?Where stories live. Discover now