penjelajah waktu

55 4 1
                                    

Jakarta City, 2145

Derap langkah tergesa memenuhi lorong itu. Berkali-kali ia menabrak orang yang berlalu lalang, menimbulkan gerutuan serta sumpah serapah yang tertuju padanya. Berbekal telinganya yang disumpali earphone dan otak sekeras baja, ia mengabaikan lontaran kalimat tadi dan meneruskan jalannya. Otaknya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi ketika ia memasuki pintu di ujung lorong nanti. Apakah disambut dengan hujaman kalimat pedas, atau justru semangkuk pai apel yang akan mengotori wajahnya.

"Sepertinya tidak keduanya." gumamnya gusar.

Ketika hampir sampai, ia memelankan langkahnya. Kemudian menghela napas sambil mengacak rambutnya yang berantakan, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan.

Sensor cahaya memancar dari pintu, bergerak men-scan wajahnya. Setelah indikator berwarna hijau, hologram penghalang pintu seketika lenyap.

Lelaki itu berjalan santai tanpa rasa bersalah sedikitpun ketika seluruh orang di ruangan itu menatapnya tajam. Seorang gadis berambut sebahu memutuskan angkat bicara terlebih dahulu, memecah keheningan yang menyergap ketika lelaki itu masuk.

"Kau datang terlalu awal, Al."

Philip yang mendengar sindiran Nave, tertawa. Meski ia agak gusar dengan perilaku Altha yang tidak bisa tepat waktu, pria paruh baya itu harus bersikap bijaksana. Mendengar tawanya, suasana ruangan yang tadinya mencekam, mulai menghangat.

Sosok lelaki berambut ikal di ujung meja berdecak kesal. "Kau tahu, aku perlu menyelesaikan permainanku di rumah secepatnya agar bisa mendapatkan medali emas. Dan karena keterlambatanmu, aku kehilangan kesempatan itu."

"Gerald dan permainan tidak pentingnya itu." gerutu Alion seraya melempar gelombang menyengat dari jam tangan digitalnya ke jam tangan Gerald.

Merasakan tangannya yang disetrum listrik berdaya rendah, Gerald menggeram keras. "Tutup mulutmu, Alion! Permainanku jelas menghasilkan uang lebih besar daripada kegiatan membaca buku tuamu."

"Hei, buku tua itu menyimpan lebih banyak informasi dan sejarah daripada d-tallbook!"

d-tallbook adalah perpustakaan berisi seluruh buku berbasis online sejenis e-book, akan tetapi cara mengaksesnya lebih mudah dan canggih.

"Sudahlah kalian. Telingaku bisa mengalami gangguan dadakan jika kalian melanjutkan perdebatan tidak bermutu itu." Altha menengahi perselisihan diantara kedua sahabatnya. Ia mengambil posisi di sebelah Philip. Tangannya menopang dagu dengan santai di atas meja hologram, sembari melirik kedua sahabatnya yang kini balas menatapnya sengit. "Lagipula, Gerald. Kau bisa mendapatkan medali emas dariku nanti."

Raut wajah Gerald berubah masam. "Hentikan omong kosongmu, Al. Sekeping medali emas berisikan cokelat tidak bisa menggantikan medali emas dengan harga kisaran dua milyar itu."

"Setidaknya kau mendapatkan medali." timpal Altha datar.

Philip tersenyum melihat interaksi anak remaja di hadapannya. Rasanya seperti melihat cucu-cucunya yang berada jauh di ujung bumi sana. Ia merapatkan diri pada meja. Ketika pria itu memasang raut serius, seluruh pandangan secara otomatis tertuju padanya.

"Baiklah, anak-anak. Aku meminta kalian berkumpul disini bukan tanpa alasan. Dua ratus tahun yang lalu, seorang ilmuwan teknologi muda membuat suatu benda berteknologi mutakhir..."

"Apa itu? Lebih canggih dari milik kita?" Nave memotong penjelasan Philip. Ia mengeluarkan cengiran khasnya ketika teman-temannya menegurnya dengan tatapan mereka.

Philip menggeleng. "Sebuah kacamata yang cara kerjanya multifungsi. Lebih efisien dan berguna daripada jam tangan digital kalian. Dan, tidak. Teknologinya tidak semaju yang kalian bayangkan. Agak ketinggalan malahan. Hanya saja, itu satu-satunya penemuan yang tidak ditemukan oleh ilmuwan teknologi lain. Beberapa ilmuwan sempat mencobanya. Dan rata-rata gagal karena kesalahan komponen."

penjelajah waktu - oneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang