SUKMAPATI

51 3 22
                                    

Ney mengayuh sepedanya lebih cepat. Peluh-peluh bertimbulan di dahi, seperti berlian-berlian kecil yang terhampar di pasir. Ia berusaha menjamah senja. Bagaikan peluru melesat, angin yang menghalang arah lakunya telah banyak terbabat. Tak tahu sudah berapa jauh jalan sunyi itu ia gagahi. Seolah-olah, yang dicari ada di ujung jalan ini.

Sumringah wajahnya, ketika dari kejauhan memantul riak-riak emas melenggak-lenggok molek. Seperti telah disambut wajah kekasih. Laksana karpet merah sudah digelar. Harmoni rindu syahdu mendayu mengiringi, membuka gerbang selamat datang untuknya. Semangat mengayuh itu makin pesat, kakinya kian liat, tak peduli lagi angin bisa saja menerbangkan raga kurus melengkungnya seperti layangan putus disambit orang.

Sudah hampir tiba. Dermaga, adalah tempat di ujung jalan ini. Ia melompat dari sepeda dan membanting benda itu hingga terjungkal, lalu berlari semampunya mengejar kilau keemasan, refleksi mentari karam yang dipantulkan wajah lautan. Menapak anjungan kayu reyot yang penyangganya juga nyaris tenggelam.

Senja, dia tetap saja tak mampu teraih. Langkahnya berhenti tepat di bibir anjungan. Ney hanya bisa menatap baskara yang tergesa pergi sambil menghirup udara banyak-banyak. Mengenyangkan paru-paru rindu. Mengusap peluh yang meluncur deras membasahi wajah hingga tubuh. Senja, membayar lunas sebuah penantian dengan beberapa detik keindahan angkasa sebelum gelap menyelimuti.

Hasrat menikmati riak-riak air dengan sisa kemilau, tiba-tiba merasuki batinnya. Begitu kuat, hingga saat ia menutup mata, langkah kakinya maju perlahan-lahan.

"Mundur!" Perintah sebuah suara yang menggema.
"Aku mohon, jangan.." Lanjutnya.
Sesaat Ney tertahan. Seakan ada yang memerintah sehembus angin untuk mencengkeram geraknya.

Aneh, suasana jadi sunyi kala ia berdiam diri. Gema itu tak terdengar. Pelan, dia mencoba melangkah lagi.

"Tidak, Ney! Aku mohon jangan.." Suara itu menggema sekali lagi. Ney membuka mata. Mencari-cari asal bahana. Nihil. Tidak ada siapa-siapa. Hanya gelap merundung raganya. Angin juga senyap entah bagaimana. Bingung, ia berusaha mengingat-ingat.

'Mungkinkah..' Batinnya bergumam ragu.

Ney berusaha tak peduli, sebab pikirannya dipenjara halusinasi, ia kembali menutup netra dan melanjutkan langkah dengan lebih mantap.

"Ney! Mundur! Sudah kubilang, mundurlah! Laut tak akan mengembalikanmu pada daratan.. Percayalah! Ini aku.. Akupun sungguh ingin memelukmu, Ney.. Tapi kini, aku seperti lautan yang hanya akan menenggelamkanmu.."

Dalam keacuhannya, bentakan itu menyeret semua memori yang telah ia lewati. Ney menyibak semua tirai inderanya dan menemukan bayangan seseorang yang sangat ia rindukan, berdiri di hadapannya. Seperti hantu, transparan, tak menapak.

"Aku bukanlah aku yang dulu. Yang mungkin saja bisa meluruskan langkahmu. Tapi kini lain, kehadiranku hanya akan menjatuhkanmu pada tempat yang tak semestinya.." Lanjut bayangan itu lebih lembut. Suaranya larut dalam tiupan angin laut. Tidak seperti saat pertama kali terdengar. Ney ragu untuk mempercayai, sebab semuanya mengambang antara kenyataan dan angan-angan.

"Kembalilah Ney, jangan lagi kaugubris rasa rindumu.. Bukankah kita telah sepakat untuk saling menjaga? Aku sungguh ingin menjagamu, Ney.. Dengan menghormati apa yang telah kauputuskan. Meski di sisi lain hati ini, kau tahu siapa yang memiliki..."

"Aku.." Jawab Ney pelan, hampir berbisik.

Bayangan itu tersenyum pedih saat ingatannya mengembalikan kenyataan antara dia dan Ney. Namun takdir memenangkan segala ruang dan waktu, tentu tak satu makhluk manapun mampu mengubah keputusan Sang Pemilik Takdir. Mereka telah berusaha menerima kekalahan dengan ikhlas. Tapi rindu, terkadang butuh tempat untuk terbang bebas bagai kupu-kupu sebelum ia mati.

Ney menunduk, mendapati dirinya telah tenggelam dalam halusinogen frustasi. Dia merasa sangat tidak bersyukur atas apa yang ada sekarang.

Langit kian gulita, senjapun jauh meninggalkannya.

"Jadi, kembalilah pulang pada kenyataanmu. Aku baik-baik saja di sini.. Bebaskan aku dalam doa.. Aku juga akan selalu berdoa buatmu, Ney.. Aku mohon, pulanglah..."

**

Seiring bayangan itu memudar, Ney membuka matanya.

"Mimpi Suma lagi?" Sapa suara lembut di sampingnya. Ney hanya mengangguk. Anak penglihatannya menerawang langit-langit kamar. Beruntung dia punya Bagas yang cukup toleran terhadap segala masa lalu yang sering timbul tenggelam.

"Maaf.." Ucap Ney. Bagas yang tidur di sebelahnya mengecup kening dan memeluk Ney lebih dalam.

"Boleh, kalau kamu pengen nelpon dia, tapi jangan lama-lama ya.." Pinta Bagas. Ada raut cemburu yang coba ia netralisir.

"Nggak perlu, telepati aja kayaknya udah cukup, Sayang.." Jawab Ney tersenyum. Bagas memeluk istri tercintanya ini lebih dalam.

"Hmm.. Really love you, my lovely wife.." Suara serak dan mengantuk Bagas meramu ketenangan untuk batin Ney.

"Thank you sweet heart.. Love you too.." Ney membalas hangatnya pelukan Bagas, memulai lelap untuk melanjutkan perjalanan malam yang masih panjang.

Kemudian batin Ney berbisik,
'Suma, apa kabar? Semoga Dia selalu menjagamu dan keluarga kecilmu.. Semoga semuanya baik-baik saja di sana..'

***

Di bagian dunia yang lain. Seorang lelaki tiba-tiba membuka matanya ditengah lelap dan mesra dekapan seorang wanita yang melengkapi hidupnya saat ini. Ia tersenyum.

'Aku baik-baik saja, Ney. Jaga dirimu juga.. Baik-baik di sana, ya...' Seru isi batinnya.

******
~End~

SUKMAPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang