1 tahun 6 bulan sebelumnya

8 0 0
                                    


"Nes ayok cepet keburu abang siomaynya pergi,". Aku harus cukup sabar menunggu Vanessa mencari dompet di kasurnya. Vanessa orang yang sangat berantakan. Dia selalu seperti ini ketika buru-buru. Aku melihatnya kebingungan dari bingkai pintu. Aku mulai kesal. Ah masa bodo! Aku sudah lapar dan tidak mau menunggu lagi. Aku segera menyambar sandal jepit dan berlari mengejar suara dering sepeda di sekitar gang. Sepertinya tadi ke arah kanan, batinku. Aku berlari lagi, kali ini lebih pelan. Aku mulai tidak yakin dari mana asal dering sepedanya tadi. Sial!

"Kriiing! Kriiing!". Itu dia! Suaranya semakin dekat, harusnya tukang siomay tidak jauh dari sini. Aku belok ke kiri di tikungan terakhir gang kos Vanessa. Dari jauh aku melihat tukang siomay berjalan santuy sambil menuntun sepeda siomaynya. 

"Bang!" teriakku. Abang tukang siomay tolah-toleh seperti tidak pasti dengan suara yang memanggilnya barusan. Ketika ia menoleh ke belakang, aku langsung lari menghampirinya. Dia menyambutku dengan senyum.

"Mau beli berapa dek?"

"Dua bang," kataku sambil mengelap butiran keringat kecil di keningku. 

"Mau pake plastik atau pake piring?" tanya tukang siomay. Pertanyaan tukang siomay datang bersamaan dengan  suara sandal jepit yang pemiliknya juga ikut berlari sepertiku. Aku agak gugup menjawab pertanyaannya karena tidak membawa persiapan apapun selain dompet.

"Di piring bang, dua," kata perempuan si pemilik suara sandal jepit tadi. Vanessa rupanya. Aku terkejut Vanessa bisa secepat ini menyusulku. Abang siomay terlihat bingung dengan kehadiran Vanessa yang tiba-tiba menyambar pertanyaannya. "Iya dua bang, sama dia, " lanjut Vanessa menjawab kebingungan abang siomay sambil mengayunkan telunjuknya ke arahku dan ke arahnya bergantian. 

"Oohh," jawab abang siomay tanda ia mengerti sambil mengambil piring yang dibawa Vanessa. Aku dan Vanessa saling tatap dan mengangkat alis kemudian pandanganku tertuju pada burung peliharaan di rumah sebelah kananku. Warnanya hijau dibagian tubuh mulai dari leher hingga ekornya, dan kuning dibagian kepala. Aku menebak-nebak jenis burung itu sambil mengalihkan pandangan ke siomay yang sedang disiapkan si tukang. Kemudian aku melihat Vanessa komat-kamit pada diriku seperti mengatakan 'pake duit lu dulu ya' sambil menunjuk-nunjuk aku. Aku diam saja tidak menanggapi isyaratnya, tapi ya mau bagaimana lagi.

"Dua puluh ribu," kata si tukang siomay dengan semangat. Aku merogoh kantong dan mengambil dua lembar uang sepuluh ribu dan memberikannya. Untung uang pas, batinku. Aku tidak ingin membebani si tukang dengan mencari kembalian di dalam tas pingganggnya yang sudah pasti isinya berantakan karena banyak uang kertas yang tercampur. Si tukang siomay segera bergegas sesudah memasukkan uang ke tasnya dan kembali menuntun sepedanya dengan santuy. 

"Untung aku cepet. Coba kalo aku telat, pasti kamu pake plastik beli siomaynya. Makin banyak penyu dan hewan laut lainnya yang kesiksa deh nanti," kata Vanessa seperti pahlawan di jalan menuju kosnya. Aku tidak menanggapi omongan Vanessa. Kemudian ia melanjutkan, "kamu tau nggak sih Ri kalo penyu itu punya banyak gigi di dalam mulutnya?". Aku memalingkan wajah ke arahnya sambil menggeleng. "Giginya itu yang ngebantu supaya ubur-ubur yang dia makan ngga keluar pas dia buang air yang ketelen Ri. Kebayang ngga sih pas dia kira plastik siomay kita itu ubur-ubur? Pasti susah keluarnya Ri," lanjutnya. Kadang aku kagum padanya karena suka membaca pengetahuan umum seperti ini. Vanessa menyenggol lenganku. "Dengar ga sih Ri?", tanyanya kesal.

"Iya Nes aku denger, tapi aku ngga tau mau nanggepin apa," jawabku. Vanessa kelihatan sedikit cemberut. Dia mempercepat langkahnya dari langkah kakiku. Aku harap Vanessa mengerti rasanya jadi orang pasif. 

Aku bisa melihatnya mencapai pagar lebih dulu kemudian membukanya dan berdiri seperti menunggu seseorang disitu. Aku mempercepat langkah kakiku karena sudah pasti aku yang ditunggu Vanessa di pagar. Aku memberikan senyum untuknya karena mau menungguku masuk. Vanessa tersenyum balik. Aku merasa benar-benar tidak bisa menebak apa yang akan dipikirkan dan dilakukan olehnya. Aku segera melepas sandal dan masuk ke dalam kos Vanessa. Aku langsung menuju dapur kosnya, kemudian mengambil 2 garpu untuk aku dan dirinya. "Makasih," gumamnya. Aku mengangkat alis sebagai isyarat 'santuy'. 

Tidak butuh waktu 15 menit, siomayku sudah habis. Siomay Vanessa masih tersisa enam potong. Aku meraih ponselku yang aku letakkan di meja belajar Vanessa. 'Aku masih sayang kamu Ri,' begitu pesan yang ada di ponselku. Aku enggan membalasnya. Aku sudah muak dengan Intan -mantanku- yang bisa-bisanya selingkuh dibelakangku selama dua bulan kemarin. Selama ini aku selalu memberikan apa yang Intan butuhkan mulai dari perhatian, waktu, dan uang. Bodohnya aku diperdaya kancil laknat satu ini! Ku matikan ponselku dan mengalihkan pandangan ke siomay Vanessa. Saat dia mengunyah sambil membaca novel, aku mengambil satu potong siomay miliknya. Aku mengamati wajahnya sambil mengunyah siomay curianku. Manisnya, batinku. Bukan siomaynya, tapi wajah Vanessa. Astaga dia cuma teman, jangan goblok kamu Ri! Aku menggelengkan kepala sambil mencuri siomay gadis ini sekali lagi. Setelah menelan siomaynya, Vanessa langsung memasukkan dua potong siomay terakhir ke dalam mulutnya yang membuat pipinya terlihat besar.

Selesai cuci piring, aku pamit pulang pada Vanessa. Ia membukakan pintu pagar untukku dan motorku. Aku bisa melihatnya melambaikan tangan di kaca spion motor Supra butut yang aku kendarai. Rasanya aku ingin punya kemampuan teleportasi karena jalan pulang menuju kosku lumayan jauh. Aku masih harus melewati beberapa jalan besar dan ramai untuk sampai. Asap kendaraan terasa begitu pekat sehingga membuatku menutup kaca helm. Sepertinya besok aku harus membeli masker untuk berkendara. 

Di lampu merah, sempat terlintas bayang-bayang wajah Intan dalam kepalaku. Aku teringat kulit halus tangannya yang membuatku merindukannya lagi. Dia tidak putih dan tidak tidak terlalu cantik, tapi tubuh seksinya dan kelemah lembutannya membuat aku menyerah. Kemudian bayang-bayang tentang dirinya terus berputar dalam lamunanku seperti sebuah film. 

"Tiiiin!". Suara klakson mobil segera menyadarkanku dari lamunan perih tapi indah di sore hari ini. Dengan gagap aku memasukkan gigi motor sambil melihat ke arah lampu lalu lintas yang tidak lagi merah. Hari ini aku sudah cukup terhibur karena bisa menyibukkan diri bersama teman. Diam-diam aku mengucap syukur pada Tuhan karena hari ini Ia sangat baik telah memberiku penghibur disaat aku sedih. 

10 menit setelahnya aku sudah sampai di depan kosku. Membuka pintu dan langsung menyambar bungkusan pelet ikan. Ipang -ikan cupangku- terlihat diam saja di dalam akuarium. Kalau kutebak dia sedang menunggu jodohnya atau mungkin depresi karena hidup di kotak kaca kecil 10cm x 10cm x 15cm. Sabar ya Pang aku sedang menabung untuk memberimu tempat yang lebih luas, batinku. Setelahnya aku berbaring di kasur dan  membuka ponsel, kemudian mencari artikel bagaimana cara beternak ikan cupang di internet. Aku membacanya sampai mataku terasa berat. Ini baru jam 17:36, batinku. Beberapa detik kemudian, aku memilih tidur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dimana Vanessa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang