Sekali lagi Zilona menoleh, mengedarkan pandang. Menatap orang-orang berlalu-lalang atau duduk di deretan bangku ruang tunggu Stasiun Tugu. Tidak ada, batinnya.
Orang yang dinantinya tak tampak di antara wajah-wajah itu. Dari loudspeaker terdengar suara petugas, mengingatkan kereta api di depannya akan berangkat jam 20. 45. Zilona melirik arlojinya. Sebentar lagi, desahnya.
Perempuan itu pun menghela napas. Kakinya yang terasa berat akhirnya terayun. Melangkah menuju gerbong tiga. Tekadnya sudah bulat. Ia harus pergi dari sini. Hanya dengan cara inilah, ia merasa bisa mengobati kepedihan hati.
***
Laki-laki itu sudah ada di ruang kerjaku, ketika aku tiba di kantor suatu hari, di awal musim kemarau. Berdiri menghadap tembok, membelakangi pintu. Dari belakang aku hanya bisa melihat rambutnya yang berombak, panjang sepundak. Jelas ia bukan salah satu pegawai di kantor ini.
Hampir saja aku berteriak, menegurnya yang dengan lancang masuk ke ruanganku. Tetapi sebelum aku membuka mulut, laki-laki itu menoleh. Menatapku. Sebuah tatapan yang aneh. Bukan tatapan seorang tamu seperti yang biasa kutemui.
Tatapan itu membuatku terpaku. Lidahku mendadak kelu. Hawa di sekitarku tiba-tiba berubah dingin. Membeku.
"Ini ruang kerjamu?" laki-laki itu bertanya, seolah pada teman lamanya.
Aku menelan ludah. Mengangguk sambil merapatkan blazerku.
"Aku menggarap profil kantormu," lanjutnya. Tak ada senyum di bibirnya.
"Oh," hanya itu yang bisa terucap dari bibirku. Vina, temanku di bagian humas memang punya rencana membuat profil perusahaan dengan format audio visual. Tetapi ia tidak pernah bilang padaku, pagi ini akan mendatangkan laki-laki di depanku ini.
Sekilas aku melirik laki-laki yang kini berdiri menyandar sambil menumpukan kedua tangan pada pinggiran meja. Caranya berdiri, ehm, seksi. Dengan celana dan jaket jins biru pudar. Tinggi, kurus, sedikit bungkuk. Aku menelan ludah. Lalu cepat-cepat mengusir pikiran itu. Malu pada diriku sendiri. Seperti tak pernah melihat laki-laki berdiri dengan cara itu.
***
"Pekerjaanku sudah selesai."
Aku masuk ke ruang kerja perempuan itu tanpa mengucap salam. Tanpa mengetuk pintu. Lalu berdiri di sudut ruang. Lima hari setelah pertemuan pertamaku dengannya.
"Kutunggu di Kafe Mood. Nanti sore. Jam lima," kataku kemudian. Tanpa menunggu jawaban, kutinggalkan ruangan itu.
***
Sebelum aku sempat menjawab, laki-laki itu pergi. Meninggalkan aku yang hanya bisa menatap kegergiannya dengan kesadaran yang hilang sebagian. Beberapa langkah setelah ia meninggalkan pintu, baru aku bangkit dengan kesadaran yang sudah sepenuhnya pulih. Hendak kukejar ia, kutanyakan padanya apa maksud undangannya. Tetapi kuurungkan niat itu.
"Buat apa?" kataku dalam hati. "Aku kan, nggak harus menerima undangannya?"
Aku kembali duduk. Kembali mencermati layar komputer di depanku. Tetapi pikiranku tidak lagi bersamaku. Pikiran itu seolah terlepas dan terbang mengikuti laki-laki yang meninggalkan rasa berbeda di hatiku.
***
Kafe itu dekat saja dari kantornya. Bahkan plangnya pun sudah tampak begitu Zilona melangkahkan kaki ke tepi jalan. Tinggal menyeberang dan berjalan ke kiri sekitar dua ratus meter.
Zilona melangkah. Ragu-ragu. Perlahan ia menyeberang jalan dan tahu-tahu sudah berada di halaman kafe.
***
YOU ARE READING
Kereta 20.45 (Lengkap)
Short StoryKupikir apa yang kulakukan adalah tindakan mulia. Tak kusangka hal itu berubah menjadi penjara. Dan itu berawal pada suatu pagi ketika aku bertemu seseorang di tempat kerjanya. Enam bulan setelah aku menikah.