Hampir seminggu Seb kembali menghilang. Tanpa kabar. Nekat, Zilona mencari laki-laki itu ke apartemen tempat Seb pernah membawanya ke sana. Zilona memencet bel. Seorang laki-laki muncul. Tetapi bukan Seb.
Zilona kaget, tetapi segera ditutupinya kekagetan itu dengan sebuah kalimat, "Saya mencari Seb."
"Oh, sudah nggak di sini. Saya pulang dia sudah pergi," jawab laki-laki itu.
Sejenak Zilona terpaku. "Ke mana?" tanyanya kemudian.
Laki-laki itu menggeleng. "Mungkin...," laki-laki itu berhenti sejenak. Membiarkan kalimat yang baru saja diucapkannya menggantung. "Coba saja ditelepon."
Zilona menahan napas. "HP-nya nggak aktif."
Laki-laki itu menatap Zilona sesaat. "Anda, pacarnya?" tanyanya hati-hati.
Zilona hanya tersenyum. Senyum malu sekaligus sedih.
***
Mungkin perempuan itu sudah kehabisan harapan ketika akhirnya aku muncul kembali. Seperti biasa. Aku menyeberang jalan, menyambutnya keluar dari tempat kerja. Aku tahu ia ingin menghindariku. Ingin menunjukkan padaku bahwa ia kesal dan marah padaku. Tetapi begitu tatapan kami beradu dan kupeluk tubuhnya yang mungil itu, ia tak bisa mengelak. Tak bisa mengingkari perasaannya yang membutuhkan diriku. Lalu tangannya pun terulur membalas pelukanku.
***
Dua tahun sudah hubungan ini berjalan. Berkali-kali ia meninggalkanku. Tanpa pamit. Tanpa kabar. Berkali-kali pula aku bertanya, apa yang ia inginkan dari hubungan kami. Tetapi laki-laki itu tetap tak memberi jawaban.
Sampai suatu hari di sebuah warung kopi, aku nekat mendesaknya, "Seb, tahun ini umurku genap tiga puluh empat! Kalau memang kamu mencintaiku, tolong selesaikan urusanmu dengan isterimu."
Mendengar perkataanku, ia letakkan cangkir kopinya dengan kasar. Lalu tanpa berkata sepatah kata pun, ia bangkit. Beranjak ke kasir, membayar, dan berlalu tanpa menoleh padaku.
***
Zilona duduk dengan gelisah. Masih saja ia berharap laki-laki itu akan tiba-tiba muncul. Menahannya pergi atau setidaknya mengucap sampai jumpa sambil mengecup keningnya. Laki-laki itu, yang sinar matanya gelap dan suram, yang mencintainya dengan cara berbeda yang belum pernah dirasakannya, penuh cinta, perhatian, tetapi juga kekhawatiran dan curiga.
Semboyan 35 telah dibunyikan. Perlahan-lahan kereta berangkat. Zilona menghela napas panjang. Dari jendela tampak tangan-tangan melambai. Tetapi bukan padanya.
Di peron, sesosok lelaki bertubuh ceking dengan rambut sebahu, tampak beradu mulut dengan petugas sebelum akhirnya diijinkan masuk. Ketika pintu akhirnya dibukakan, laki-laki itu seperti anak panah terlepas dari busurnya. Mencoba mengejar kereta didepannya. Tetapi sia-sia.
Laki-laki itu hanya bisa mengepalkan tangan. Menahan kesal dan kecewa.
***
Tak mungkin kuceritakan padanya tentang perempuan yang baru empat hari lalu menghembuskan napas terakhirnya. Zilona tentu akan mencemoohku, jika kukatakan padanya bahwa aku menikahi Sally karena rasa iba.
Perempuan itu pernah menyatakan perasaannya padaku. Aku tak menanggapinya. Tetapi ketika ibuku mengatakan bahwa Sally butuh penopang untuk menghadapi kanker yang menggerogoti tubuhnya, aku menyediakan diri menjadi suaminya.
Kupikir apa yang kulakukan adalah tindakan mulia. Tak kusangka hal itu berubah menjadi penjara. Dan itu berawal pada suatu pagi ketika aku bertemu seorang perempuan di tempat kerjanya. Hanya enam bulan setelah pernikahanku dengan Sally.
Stasiun Tugu masih juga riuh tanpa mau peduli pada kekosongan perasaanku. Kupandangi kereta api yang membawa Zilona pergi. Hingga akhirnya tinggal berupa titik lalu tak tampak lagi.#
-Tamat-

YOU ARE READING
Kereta 20.45 (Lengkap)
Cerita PendekKupikir apa yang kulakukan adalah tindakan mulia. Tak kusangka hal itu berubah menjadi penjara. Dan itu berawal pada suatu pagi ketika aku bertemu seseorang di tempat kerjanya. Enam bulan setelah aku menikah.