Bag 1

4 0 0
                                    

Satu persatu anggota keluarga keluar dari dalam mobil hitam itu,  sepasang suami istri paruh baya,  bergantian mengeluarkan barang-barang mereka. Seorang pria dewasa keluar dari mobil mengangkat koper- koper yang lebih besar,  Reza. Dengan muka kesal ia geleng-geleng kepala melihat adiknya yang masih tertidur di kursi belakang.
“Hoi!” bentak Reza lalu ia mencoba menenangkan diri dengan kegeraman yang amat sangat “Monmaap bapak,  ini udah sampe,  bantuin kek. Guna dikit dong,”
Pria itu lalu menurunkan kakinya,  menggosok-gosok matanya yang masih mengantuk dan melihat sekeliling,  rumah model lama yang masih teramat dan pemandangan sekeliling rumah yang masih ditutup hutan pilus. Jarang-jarang cahaya menembus masuk dari celah batang. Membuat suasana sore itu makin jelas bahwa maghrib akan segera tiba.  “Sorry kak,” katanya santai. “Kebebasan.”
“Indah lagi sholat Ashar,  tunggu sebentar ya bude.” Lulu mempersilahkan wanita itu masuk ke dalam ruang tamu.  Wanita yang itu keliatan rapi dengan pakaian kutu baru, rambutnya disanggul rendah dan sederhana,  usianya yang sudah 50 tahun membuatnya merasa tidak butuh berdandan berlebihan seperti saat ia masih muda,  Mari orang-orang memanggilnya,  makcomblang desa,  tidak ada kelebihan khusus dari dirinya. Tapi banyak orang yang mempercayakan anaknya untuk dijadikan oleh wanita ini. Ia melihat gerak gerak Lulu yang menghilangkan teh dan jajan pasar. Lulu tidak ada bedanya dengan wanita usia 24an di desa ini. Sederhana dengan kaus rendah dan rok panjang,  sangat feminim, dengan tata krama yang pekat Yang justru membuat Marni ngeri.
“Bagaimana kabarmu nduk? “
“Alhamdulillah sehat bude.” Lulu melihat ke arah wanita itu hanya sekejap.
“Alhamdulillah,  apa kamu masih belum ada niat untuk menikah lagi?” wajah Marni yang tadinya tegang menjadi lebih santai.
“Suami saya belum menceraikan saya secara langsung bagaimana bisa nikah lagi bude.” Dengan agak kesal Lulu pamit kembali kelaparan bersamaan dengan orang tuanya dan Indah yang muncul dari dalam rumah.
“Gimana Indah?  Sudah siap besok? “
“Insya Allah bude.” Kata Indah yang sedari tadi hanya menurut saat orang tuanya dan Marni sibuk berdiskusi mengenai keluarga yang sedang mencari jodoh untuk anak bungsunya.
“ Untuk Lulu tidak sekalian mau saya carikan,  Jaya?”
Pak Jaya menghela nafas.  “Nanti saja Mar,  orangnya belum mau. Heran aku,  anak ini di pelet atau bagaimana.  Segitu cintanya dia sama laki-laki yang tidak jelas itu.”
“Iya kan kalian juga yang mengizinkan.”
“Beda toh Mar,  aku menikahkan dia juga supaya dia belajar kalau apa- apa itu selalu ada konsekuensinya,  eh malah kebablasan cinta. Padahal dia dulu susah banget diatur tapi setelah nikah jadi anut-anut (patuh) orangnya, pasti bagus itu peletnya, “
“Gak yakin aku kalau anakmu itu dipelet ya,  wong sadar gitu kok. Aku ngerti kalau orang dipelet gimana.”
“Orang tuanya aja dukun ya pasti anaknya minta dibuatin pelet mudah to mbak. Punya besan dukun,  ya gini lah.”
“iya sudahlah Mar,  urus saja perjodohan Indah,  sudah 22 tahun belum juga nikah,  mau jadi apa. Biar nanti saja urusan Lulu.”

Denis baru saja sampai di depan pintu rumah Ibu Marni untuk bertemu,  saat ia berhenti karena terdengar suara dua orang wanita bersaut-sautan sepertinya mereka sedang bicara serius.
“Kamu pikir menikah bisa begitu saja?  Asalkan prianya kaya? Ini bukan soal materi saja.”
“Iya tapi mbak,  ini sudah lama. Mbak tidak mau membuka hati,  terus mbak nyuruh aku kesini untuk membuka hati aku gitu?  Kok lucu.”
“kamu masih kecil,  mana tahu apa-apa.”
“oh aku bisa ngeyakinin kalau aku sudah cukup dewasa, setidaknya aku melakukan ini dengan kesadaran gak kayak mbak.”
Wanita yang satunya ini menghela napas panjang. Sepertinya ia menyimpan banyak stok kesabaran dihati ya. “Iya kamu benar.  Bagaimana pun juga mbak bersyukur kamu tidak jadian seperti mbak. Mbak harap kamu bahagia. Dan mbak akan sangat senang kalau kamu tidak ikut-ikutan mencampuri urusan mbak.”
Hening sejenak. Saat mbak itu meninggalkan adiknya di ruang tamu. “mbak pergi duluan. Salam untuk bude,  sepertinya aku gak bisa nganter kamu sampai selesai.”
Denis terkejut saat wanita itu menemukan dia ada di balik pintu depan. Membatu. Wanita itu terlihat biasa saja,  hanya rambut panjang nya yang setengah dikuncir langsung terkena angin,  membuatnya hanya bisa mengingat sorot mata yang sayu. Tidak berapa lama wanita satunya lagi keluar. Wajah mereka mirip entah apa mereka saudari,  hanya saja yang satunya lebih muda.
“Loh,  nak Denis sudah disini,  mari masuk.” Kata Marni.  Saat itu Marni langsung mencatat data-data.  “Ini udah dibenerin ya tanggal lahir kamu. Kemarin salah tahun aja saya. Lalu untuk keluarga yang akan dikenalkan ke kamu itu namanya keluarga pak Jaya. Inget aja ya. Kamu lihat tadi gadis yang baru keluar?  Itu anaknya.
Denis terbangun dari lamunannya,  lalu sadar. “Oh jadi yang itu ya Bu? “
“Iya,  apa ada masalah?”
Denis menganggur pelan. “Tidak ada Bu.”
Lalu Marni baru sadar. “Saya pikir kamu mau protes seperti kata kakak kamu. Baiklah kalau tidak ada,  besok tinggal kalian temui aja ya.”

“Dor!” Reza mencoba mengagumkan adiknya tapi sepertinya tidak berhasil.
“Ngapain kak?”
“Gak...  Cuma menyambut kamu. Mastiin kamu pulang gak bawa macem-macem dari sana.”
“Jangan suka fitnah orang. Ibunya baik dan normal-normal aja. Pikirkanmu itu mistis semua.”
“Gimana gak mistis semua. Semenjak ramalan kutukan itu ada dan terbukti,  aku jadi gak bisa bedain mana yang yang logis dan mana yang yang tahayul.”
“Apa Cuma itu kak alasanmu gak menikah?”
“Iyalah,  ngapain aku ngajak anak orang susah. Pokoknya setelah semester ini aku langsung pergi ke Luar negeri untuk lanjut kuliah kedokteran. Jadi kalo bisa gak usah ditunda-tunda nikah nya nanti aku gak bisa hadir. Gimana pun juga aku ingin hadir di pernikahan orang yang akan jadi satu-satunya penerus keluarga ini.”
“Setidaknya,  coba berobat dulu kak.”
“Denis,  percayalah kakakmu ini bukan orang yang patah semangat. Tapi kakak belum menemukan titik terang dari terapi kakak. Sementara ayah dan ibu menua setiap harinya. Kakak sudah 15 tahun ikut terapi,  dan gak akan membiarkan ayah dan ibu menunggu lebih lama. Kamu harus buktikan ramalan itu salah.”
Ramalan kutukan aneh pada keturunan ketujuh dari keluarga ini.
Keluarga Prasetya sangat terkenal di zaman dulu sebagai keluarga terkaya,  hampir setengah tanah desa milik mereka. Namun dengan seiring jalan harta keluarga ini semakin terkikis. Konon ada dukun yang dendam dengan keluarga ini dan memberi kutukan “Keluarga ini tidak akan selamat sampai tujuh turunan...,” jika dipikir hal itu seperti dengan keadaan mereka. Anggota keluarga mereka yang tadinya banyak dan memiliki harta masing-masing perlahan entah hilang kemana ada saja tanah yang dijual,  dibuat ruko bentuk modern,  untuk mini market desa,  puskesmas,  dan terakhir kantor desa. Dan sekarang keluarga Prasetya yang tersisa hanya Pak Bagus yang punya 2 anak ini. Dan menurut silsilah keluarga pak Bagus adalah keturunan ketujuh dari keluarga Prasetya. Menurunnya jumlah keluarga Prasetya bukan sebuah hal mistis. Di urutan keturunan tertentu mereka banyak yang melahirkan anak perempuan dan pindah ikut suami masing-masing,  hingga akhirnya dipohon keluarga tinggal ayahnya Pak Bagus yang berasal dari anak laki-laki terakhir keluarga ini.
Menurut istri pak Bagus mungkin kutukan itu ada benarnya,  tapi pak Bagus yang lahir di abad 21 tidak percaya hal-hal seperti itu.  Satu-satunya alasan menikahkan anaknya saat ini hanyalah agar anak nya belajar menjadi pria yang lebih baik dan tidak hidup lurus-lurus saja.
Tapi jika ramalan itu memang benar ada, sekarang ia hanya akan mendoakan agar anak-anak nya selalu dilindungi.


Suami Ghaib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang