Setiap orang punya gagasan. Punya pikirannya sendiri-sendiri. Tetapi dalam praktiknya, mereka membutuhkan satu sama lain untuk dapat mengerjakan ide-idenya. Kalau dalam bahasa Al-Quran, setahu saya, itu naluriah yang dimiliki manusia: kita diciptakan dengan perbedaan; berbangsa-bangsa, ras, suku, warna kehidupan, dan seterusnya untuk saling mengenal.
Setelah mengenal, dekat, saling memahami, saling muncul perasaan untuk menggembirakan satu sama lain, lalu tiba akhirnya aktivitas saling bantu terjadi. Membantu satu sama lain pun berkembang secara geografis. Hingga pada skala tertentu, aktivitas saling membantu itu membentuk suatu tatanan yang kita sekarang sebut sebagai negara, serikat, atau sejenisnya.
Dalam titik yang paling esensial, aktivitas ini selalu berhubungan dengan motif. Adanya motif cukup memberi jumlah energi tertentu dalam kegiatan saling membantu itu. Misalnya, membantu teman tidak akan sama dengan membantu pacar. Membantu pacar tidak akan sama dengan membantu orang tua. Membantu orang tua tidak akan serupa dengan membantu saudara. Dan seterusnya sampai membantu sesama makhluk yang ikut di bumi tidak akan sama dengan membantu manusia saja.
Energi-energi tersebut bahkan bisa berlipat saat orang yang dibantu mengetahui motif masing-masing. Anggap saja dalam semesta orang-orang yang senasib, orang-orang kecil, orang-orang terpinggirkan, orang-orang yang dipandang sebelah mata, orang-orang yang dianggap sampah masyarakat oleh lingkungan sekitarnya, memiliki lipatan energi luar biasa yang mungkin di luar perkiraan kita. Katakanlah, ada seorang Punk yang sedang lapar, atau para pemakai Vespa yang sedang KEBANAN di tengah perjalanan, mereka nisbi akan mendapat pertolongan dari sesama Punk, atau sesama Vespa, meski baru kenal sekalipun. Bahkan tidak jarang yang mendapat tambahan ongkos, tambahan ilmu, tambahan kegembiraan dan lain-lain.
Begitu pentingnya motif sampai hari-hari ini kita sering menanyakan motif apa pada setiap peristiwa kejahatan yang kita baca di media. Banyak kasus korupsi yang saat kita putus asa memikirkan kenapa banyak sekali yang melakukan korupsi, kita akan rehat sejenak dan tiba pada permenungan: apa motif mereka?
Satu hal yang saya kira harus diperhatikan, Motif sebagai kata, harus dimaknai, disikapi, secara netral. Sebagai kata, ia terlepas dari baik atau buruk. Baik dan buruk sesungguhnya hanyalah pemaknaan kita. Motif menjadi buruk karena makna yang kita tangkap adalah buruk. Begitu sebaliknya.
Persoalannya kemudian adalah saat kita butuh untuk tahu motif (seseorang) tersebut, tetapi kita tidak mendapatkannya. Maka kemungkinan yang terjadi adalah prasangka-prasangka. Padahal kita tahu, prasangka seringkali menjadi fatamorgana dalam pikiran kita sehingga semakin bertambah prasangka kita, maka semakin kita anggap sebagai kejelasan, kebenaran, atau apapun itu yang menjadi pengobat dahaga akan kejelasan itu.
Ini yang menjadikan keretakan mulai terjadi. Keretakan ini tidak harus berupa pertengkaran. Keretakan ini bisa merupa sebagai ketidakjujuran, ketidakmampuan untuk mengungkapkan apa adanya, sampai ketimpangan antara sekadar emosi sesaat yang sebenarnya terseba boleh faktor lain tetapi pengungkapannya semacam menyembunyikan diri dari motifnya. Miskomunikasi-miskomunikasi semacam inilah yang seringkali menjadi akar dari berbagai keretakan yang ada.
Berbagai keretakan? Ya, sama halnya energi saling membantu, keretakan pun dapat berlipat. Dapat berkembang pada skala yang mungkin saja di luar perkiraan kita, di luar dugaan kita. Sedaihsyat itu, hingga kita akan geleng-geleng kepala sendiri --- memikirkan betapa besar potensi kita sebagai makhluk yang punya ide dan keunggulan kita untuk memproses segala ide dan gagasan itu dalam pikiran kita sendiri. []
November, 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Melihat Hal-hal Kecil
Non-FictionPada sebuah kemajuan zaman, kemunduran adalah hal yang pasti.