Waktu dan Tempat yang Sama

17 1 0
                                    

Hari ini, rasanya Aku tak ingin membuka mata. Ya... Hari pertama masuk kuliah memang mebosankan, apalagi hari mengikuti serangkaian perkenalan yang membuat waktuku terasa percuma. Bukannya lebih baik langsung saja menjalani perkuliahan. Padahal masih banyak hal yang bermanfaat seperti kunjungan atau apalah. Meskipun sebenarnya Aku malu untuk berinteraksi dengan yang lain.

Baru saja Ku tarik kembali selimut ini untuk menutupi wajahku dari silaunya mentari pagi tiba-tiba Kakak datang membawa sarapan pagi. Mau tak mau aku harus mengumpulkan semangat dan energiku untuk membuat kakak tersenyum. Yahh... Dia Kakak tercantik dalam hidupku. Dia yang menjagaku dan menemaniku dikehidupan ini. Selepas kedua orang tuaku meninggal Dia lah yang selalu merawatku meski terkadang Aku dibuat jengkel oleh anaknya yang mengganggu jam tidur siangku hanya karena mereka ingin aku ceritakan kisah Pahlawan Kodok.
Aku sangat bersyukur bisa mempunyai Kakak sepertinya. Tapi, aku sebenarnya tidak mau terus-terusan merepotkannya meskipun seluruh kebutuhannku sudah terpenuhi.
###

Gedung-gedung tinggi ini sangat menyeramkan bagiku. Iya, di sini banyak karakter baru yang harus aku hindari. Sebenarnya aku hanya takut untuk memulai sesuatu entah dengan siapa pun dan di mana pun. Entah lah rasanya teman terbaiku hanyalah diriku sendiri. Bahkan, tak jarang kerjaanku hanya berdiam dipojokan yang jauh dari ramainya keramaian.

Pintu itu terbuka seperti dunia ghaib yang enggan untukku masuk. Sorotan mata dari orang yang katanya kakak tingkatan begitu tajam menatapku. Aku palingkan muka ini.
"Hei kamu" terdengar suara lantang yang menghentikan langkahku, "iya".
"Kamu tau jam berapa ini? Datang langsung nyelonong masuk seenaknya." Teguran itu membuatku malas untuk berkata. Aku hanya diam dan menunggu untuk diperkenankan masuk dan duduk. Namun, akhirnya aku disuruh untuk membersihkan halaman di belakang kampus. Senang rasanya jauh dari orang-orang. Pikirku "akan ku ulangi lagi hari esoknya Hahah"

###

Sial, mentari terasa memanggangku. Perlahan kerongkonganku kering, dan tubuhku rasanya berat untuk bergerak. Aku sandarkan saja tubuh ini. Kutarik nafas dalam sambil melihat genangan air yang begitu kotor karena sampah berserakan. Aku pikir kolam luas ini danau sampah yang ditimbun oleh Pihak kampus. Aku berandai jika saja kolam ini bersih mungkin akan menjadi indah. Sontak semangatku terpicu lagi untuk membereskan semuanya meskipun dari tadi tak ada perubahan yang jauh dari pertama aku membersihkan halaman ini. Saat aku hanya berfokus pada sampah yang berserakan ternyata di depanku ada orang yang berdiri. Sepertinya Dia Kakak tingkatku yang tadi bersama orang yang menyuruhku untuk bersih-bersih. "Nih ambil, kamu pasti capek kan?" Langsung saja air kemasa itu aku buka dan ku minum, memang benar tenggorokan ini sangat kering dan membutuhkan asupan mineral agar rasa hausku hilang. Tangan itu menghampiriku " Reni" langsung saja aku menjawabnya " Iqbal" . Hal ini yang sebenarnya aku takutkan. Aku takut perkenalan. Menurutku perkenalan hanya akan mengisahkan suatu kisa yang berakhir dengan perpisahan. Yah... Aku sangat membenci perpisahan, karena bagiku berpisah hanya akan menanamkan rasa rindu yang membuat ingatanku membeku hanya pada satu nama. Iya seperti namanya yang masih saja membeku dalam hati dan pikiran ku.
"Besok bawa perbekalan ini" sambil memberikan daftar bawaan ospek yang sedikitpun aku tak melihatnya dan langsung ku masukan ke dalam tasku.
Aku harus berlari dan bergegas pulang jam menunjukan waktu senja sebentar lagi. Tanpa pikir panjang aku meninggalkan Dia tanpa berterimakasih. Pikirku mungkin dia akan marah hari esok tapi tak apa. Ada sesuatu yang lebih penting dari orang marah.
Yahh... Senja itu yang selalu kutunggu kehadiranya.

###

Sampaiku di tepi sungai ini sungai yang begitu menyejukan hati, apalagi saat senja tiba. Senja yang membuat hatiku tenggelam dalam imaji yang fana dan fatamorgana. Senja yang menutup semua luka di hati dari lubang yang sama.

"Ngapain kamu ngelamun di sanah? Dasar orang aneh bukannya bilang terima kasih malah lari" Aku terkejut mendengar suara itu ternyata dia orang yang tadi. Aku hanya membiarkan dia terus mengoceh dan hanya melihat senja yang begituh indah.
"Senja itu indah seperti keadaan di mana kita tak pernah berada di masa yang perih, menghilangkan duka dan lara serta menjadikan nafas ini perlahan menemukan ketenangan hidup".
"Kamu sehat?"
"Senja itu hanya memainkanku sepertinya dia hanya datang dan pergi namun kembali lagi. Tapi, senja tetaplah menjadi cerita yang tak pernah aku lupakan. Bagaimana pun senja adalah temanku dalam keadaan yang pilu hingga rindu. Sama seperti kamu yang kutunggu kedatangannya. Kamu yang pergi meninggalkan rasa yang tak terhingga karena cinta yang sedemikian". Tanpa sadar Aku sudah memegang tangannya dan langsung aku berlali meninggalkannya begitu saja. Terbesit dalam pikiranku mengapa dia ada di sana. Padahal setiap hari aku tak pernah melihatnya. Yah... Sudahlah aku hanya ingin melihat indahnya senja.

###

Sialnya hari ini memang aku sengaja datang telat lagi tapi tidak dengan ketinggalan dompet. Untung saja uang sisa masih lumayan cukup untuk membeli makan dan minum. Tapi lebih parahnya aku sama sekali tidak membawa satu pun daftar bawaan yang dia berikan kemarin. Sepertinya aku harus membersihkan halaman belakang lagi. Tapi justru itu mauku.

"Hari kedua masih terlambat dan sama seperti kemarin main nyelonong aja". Lagi-lagi aku harus membersihkan halaman belakang tapi kali ini dia mengantarkanku. Entah apa maunya.
"Hei.... Kemarin kamu kenapa? Lari begitu saja?".
" Lah... Emang kenapa?"
" Buset.... Nanya malah balik nanya".

Tanpa kata Aku pergi meninggalkannya dan menepi untuk mencari tempat duduk dan keteduhan. Selama 3 tahu ini aku tak pernah lagi berteman dengan siapa pun. Bahkan teman-teman lamaku. Aku hanya ingin menutupi luka ini dengan hanya melihat senja. Yah mungkin aku hanyalah lelaki naif yang tak pernah bisa menerima perpisahan. Sampai saat ini masih tebayang di hari itu di saat Dia meninggalkanku tepat di usiaku yang ke-17 tahun. Di suatu senja yang begitu indah itu Dia meninggalkanku dengan alasan yang tak pernah bisa aku mengerti. Luka ini semakin dalam ketika Aku tahu bahwa setiap cerita yang terlewati selama 2 tahun hanyalah hal yang tak pernah berarti di dalam hidupnya.
"Jika kamu mencintaiku, tunggulah Aku di tempat ini. Di waktu senja yang sama. Di saat Camar mulai kembali kepada sarangnnya". Hanya itu ucapa terakhir yang Dia ucapkan.
Sampai saat ini Aku hanya menunggu di waktu dan tempat yang sama. Berharap Dia akan hadir dan memeluk tubuhku hingga senja perlahan mulai menua. Sampai rembulan membentangkan kesunyia, dan saat bintang mulai berkerdip menjadi saksi dalam cinta yang sedemikian.
Iya..... Aku hanya menunggu Senja di tempat yang sama dan waktu yang sama pula.

To be Continue.......

SAMA SEPERTI SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang