Alamat

1.6K 156 12
                                    

Aku tercenung menatap goresan pada lembar kertas kusut, pada meja di hadapan. Garis-garis yang berada di sana terlihat tidak beraturan. Turun naik, panjang pendek.

Ck! Enggak becus! Tadinya mau kulempar ke tempat sampah, tapi malah kumasukan ke dalam saku.

Mendengkus, aku bangkit dari duduk. Berjalan menuju meja kasir dan membayar dua gelas minuman yang tadi di pesan. Satu untukku, dan satu ... untuknya.

Sesampainya di mobil, setelah duduk di balik kemudi, kuraih lagi kertas di saku. Mencoba menelisik kembali apa yang ditulis di sana. Tapi percuma!

Berengsek sekali! Apa susahnya menulis sebuah alamat dengan jelas? Sialan!

Kulempar kertas pada dashboard dengan kesal. Menghela napas dan mulai menggerutu dengan kesal.

Bergegas kuambil ponsel dari clutch yang sejak tadi kutenteng, secepat kilat menekan tombol dial untuk melakukan paggilan.

"E-Eric!" Suara di sana menyahut gemetar.

"Tumben diangkat," ujarku sambil memasang sabuk pengama, menyalakan radio pada dashboard yang sialnya, melantunkan lagu cinta menye-menye. Masa bodo.

"Aku akan ke tempatmu sekarang. Tunggu ya ...." Kulirik kertas pada dashboard lalu mengeluh. "Tapi alamatnya ga jelas. Dia enggak lulus sekolah apa?"

"E-Eric ...."

"Sebutkan saja alamatnya! Lekas! Aku mulai bosan!"

Namun suara di ujung sana malah menangis, memohon mengiba-iba. Kan sialan. Ditanya alamat malah nangis. Bodoh!

Kesal, kumatikan panggilan. Melempar ponsel asal, melepas seatbelt dan turun dari mobil tanpa mematikan mesin.

Aku kembali masuk ke dalam kafe tadi, tersenyum ketika melihat para pelayan juga tersenyum padaku.

"Ada yang tertinggal," kataku ketika sepertinya ada yang menyadari kalau aku baru keluar, dan kembali datang.

Mereka mengangguk, melebarkan senyum secara maksimal. Terlatih.

Santai aku masuk ke toilet, menuju kubikal terujung dan mendobrak paksa karena sepertinya tertahan dari dalam.

Begitu terbuka, si lelaki berengsek itu terlihat terjepit di antara pintu yang terdorong dan dinding belakangnya.

Ck! Aku benci mata yang mengiba, dan mulut yang terbuka hendak memohon. Sudahlah. Percuma. Aku hanya menginginkan apa yang jadi milikku.

"Kamu menulis alamat dengan tidak jelas, Berengsek!" ketusku lalu menempeleng wajahnya. "Kemarikan dompetmu!" Susah payah kubalik tubuhnya, menarik dompet dari saku celana belakang. Mencari-cari petunjuk, dan menemukan KTP di sana.

Aku tersenyum, alamat pada KTP terpampang jelas. Maunya segera mengembalikan dompet ke saku, tapi foto pada bagian transparan dompet membuat napasku memburu.

Itu foto Erica, tersenyum bersama si sialan yang bersamaku di toilet saat ini. Erica ... istriku.

Kesal, kulempar dompet ke closet, kemudian menekan tombol flush. Biar dompet dan fotonya hilang sekalian.

Kemudian kutatap lelaki laknat yang sepertinya tidak akan mampu berbalik lagi ke posisi awal. Meludahinya sambil berkata, "Lain kali lihat-lihat siapa lawanmu!" Kutendang dia sehingga tubuhnya tersungkur membentur closet. "Kalau masih ada ... lain kali."

Aku mengikik, menatap darah yang masih basah di dadanya. Buah akibat merebut yang aku punya.

Jangan menginginkan hak milik sesamamu. Apa susahnya diterapkan? Bodoh!

KTP kumasukan dalam saku, berjalan keluar dan menutup pintu kubikel serapat mungkin. Mencuci tangan di wastafel, lalu melenggang keluar. Tersenyum kembali pada pelayan-pelayan yang menyambut dengan senyum.

"Ditunggu kembali kedatangannya, Pak," sapa beberapa dari mereka.

Aku hanya mengangguk tanpa menghentikan langkah. Dalam hati bersumpah tidak akan lagi datang ke tempat ini. Untuk apa? Toh niatku setelah ini adalah berkunjung ke negeri orang.

Sesampainya di mobil, lagu romantis melow nan slow sedang melantunkan bait terakhir.

Kuraih ponsel menekan tombol dial untuk kembali menelepin Erica. Seatbelt sudah terpasang ketika telepon itu diangkat.

"Aku sudah menemukan alamatnya. Jangan ke mana-mana ya, Sayang," ujarku yang disambut dengan tangis pecah di seberang telepon. Berisik.

"Oiya. Btw ... kekasihmu, mulai bau amis. Jangan hubungi siapa pun, sampai kupastikan kalian selalu bersama sampai mati. Tapi kalau kamu merasa perlu, lakukan saja. Aku bukan orang yang gampang menyerah, kok. Kamu paling tau itu."

Kumatikan panggilan, bersamaan note terakhir yang melengking di radio.

Ah ... sudah kubilang untuk setia. Tapi Erica malah bermain api. Siapa suruh?

Kutekan pedal gas, sambil memikirkan hukuman terbaik, untuk seorang peselingkuh.

***
Depok, 15 Nov 2019

***Depok, 15 Nov 2019

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LURUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang