Change
Gadis manis itu termenung di balik jendela menunggu hujan reda.
Pipi tembam nya menggembung seraya terus menghela nafas panjang. Andai ia bisa keluar dari tempat ini. Mungkin dirinya tidak akan terus merenung di balik jendela seperti sekarang.
Seharusnya ia sudah berada di rumah tetangga untuk menonton televisi. Maklum saja, di rumahnya tidak ada televisi hingga harus menumpang pada tetangga. Untungnya, ia dan tetangganya adalah teman baik.
Ia suka menatap gedung pencakar langit dari benda persegi itu. Seandainya ia bisa pergi ke sana. Jangankan pergi, mencari kayu bakar di hutan untuk keperluan memasak saja ia takut. Apalagi harus ke kota asing yang belum pernah ia datangi.
"Widya, kemarilah!"
Gadis itu segera bangkit, kakinya dengan cepat berlari ke arah sumber suara.
"Ada apa, Bibi?"
"Setelah hujan reda, pergilah ke tempat Pamanmu. Berikan ini padanya."
Widya mengangguk menerima sebuah tempat makan yang terbuat dari anyaman bambu. Kakinya kembali melangkah menuju teras rumah.
Setelah memakai sendal jepit nya, Widya bergegas untuk pergi. Lagipula hujan sudah tak sederas tadi, jadi ia memilih untuk segera berangkat. Pamannya pasti sudah menunggu di sana.
Widya baru saja ingin membuka pagar bambu itu sebelum Bibinya berteriak lagi, "Widya!"
Gadis itu berbalik. "Apa ada yang tertinggal, Bibi?"
"Kau lupa memakai ini," ucap Bibinya sambil mengulurkan sebuah kain kecil berbentuk persegi.
Widya berjalan mendekat, tangannya yang kosong meraih benda yang diberikan Bibinya. Gadis itu tersenyum. "Terima kasih."
"Ya, pergilah," ucap Bibinya kemudian berlalu masuk ke dalam rumah.
Widya meletakkan tempat makan itu di teras rumahnya. Kain tadi ia lipat menjadi segitiga dan memakainya untuk menutupi mulut dan hidung.
Hampir saja.
Untung ada Bibi yang selalu mengingatkan. Kalau tidak, orang-orang pasti telah mengejeknya lagi.
Ia malu.
Di wajah bagian pipi dekat hidungnya terdapat banyak bintik hitam yang terlihat aneh di kulit kuning langsat nya.
Hal itu membuat beberapa warga sering menatap Widya aneh. Bahkan ada yang pernah berkata bahwa ia terkena kutukan.
Widya tak percaya itu. Bibinya bilang, bintik-bintik ini memang sudah ada sejak ia lahir, padahal Ibunya tidak punya bintik-bintik seperti ini dulu. Ya dulu, sebelum Ibunya meninggal dunia karena sakit. Bibinya tak punya uang untuk biaya berobat, jarak puskesmas ke Desa pun cukup jauh. Mungkin ini memang takdir.
Tak jauh ia berjalan, Widya telah sampai di wilayah persawahan. Tempat Pamannya mencari nafkah sebagai petani.
"Paman."
Widya menghampiri Pamannya yang terlihat tengah beristirahat di bawah pondok kecil. Pamannya tidak sendirian, ia bersama dengan teman sesama petaninya.
"Maaf Paman, aku terlambat," jelas Widya.
Tangannya sibuk menyusun daun pisang yang akan digunakan sebagai alas makan. Widya meletakkan nasi beserta lauknya di atas sana dan mempersilahkan Sang Paman dan temannya itu untuk menyantap makanan.
"Sampai kapan kau akan memakai benda itu di wajahmu, Nak?" tanya pria tua yang duduk di seberang Pamannya.
Widya tak menjawab. Bukan karena merasa tersinggung, tapi ia sendiri memang tidak tahu jawabannya.