Sepasang mata berkedip lucu menatapku. Jemarinya yang kecil seakan meminta untuk digenggam. Aku tersenyum, lagi. Kini ku arahkan pandanganku pada sebuah cermin di meja rias. Cermin itu, membawa ingatanku pada ketakutanku dulu. Ketakutan yang telah kutemukan jawabannya.
Flashback
“Dita, Sampai kapan aku harus menata wajahmu seperti ini? Kau bisa bercermin untuk menambah kepercayaan dirimu.” Gerutu seorang gadis yang tak lain adalah kakakku.
“Entahlah. Bukankah kau sudah tau bahwa aku tidak ingin bercermin?” ucapku lirih.
“Apa kau masih takut?” Tanyanya padaku.
“Ya, Aku takut. Aku merasa seakan ditarik kedalam cermin itu, Bahkan terkadang aku merasa terseret ke tempat yang aneh.” Jawabku sedikit bergidik.
“Benarkah? Apa kau sudah mencoba melihat ke arah cermin? Cobalah.” Sarannya padaku sambil menyodorkan sebuah cermin tangan padaku.
“Aku ragu.” Kupandangi cermin tersebut dan aku meraihnya. Aku rasa ini hanya ketakutan tak beralasan saja. Aku menatap wajahku dari pantulan cermin, Aku tersenyum melihat wajahku yang masih seperti dulu. Cantik. Aku rasa aku mulai narsis. Lama aku memandang hingga akhirnya aku merasa keanehan itu terjadi lagi.
Otak ini mulai tak berfungsi dengan selayaknya. Aku merasa ada barisan semut yang bersarang di dalamnya. Haruskah aku membedah kepalaku sendiri untuk mengetahui isinya atau haruskah aku memasukkan obat pembunuh serangga ke dalam otakku? Aku bingung, hingga rasanya aku tidak hidup seperti manusia sewajarnya. Mungkinkah hanya aku yang merasa dunia ini begitu menekanku dan merasa dunia ini seakan ingin menerkamku? Apakah itu disebut gila? Entahlah apapun itu tapi aku masih merasa semut-semut itu mulai berpesta di dalam kepalaku.
Saat ini aku hanya diam, merasa melupakan sesuatu. Sesekali aku melihat ke arah cermin dan selalu saja kudapati ekspresi wajahku yang membuatku terkikik sendiri. Entah apa yang terbersit dalam pikiranku saat aku melihat ekspresi dari wajah yang selama ini kusandang. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku bercermin. Yang aku tahu saat ini begitu banyak cermin berukuran kecil yang tertata rapi di atas meja dan dua buah cermin berukuran sedang yang tergantung di dinding. Aku mulai berpikir untuk apa semua cermin itu? Lalu, Dimana kakakku? Ini bukan kamarku. Dimana aku?
“Anda sudah bangun?” Tanya seorang wanita dengan seragam perawat yang melekat di tubuhnya. Dia membawa sebuah nampan berisi pecahan cermin. Cermin lagi? Situasi ini membuat kepalaku ingin retak, Rasanya seperti aku tak mampu mengenali siapa diriku sebenarnya.
“Mengapa begitu banyak cermin di sini? Ada apa pula dengan pecahan cermin itu?” Tak ada sahutan, Aku terpana dengan seluruh ruangan yang saat ini penuh berisi berbagai macam ukuran cermin. Sekilas tatapanku terpusat pada pakaian yang kini kukenakan, Ini seperti aku sedang memakai pakaian khusus untuk operasi. Tapi, Dengan cepat aku menolak pikiran aneh tersebut. Aku sehat. Kualihkan pandanganku pada perawat dihadapanku. Aku cukup terkejut dengan perubahan yang ada. Bagaimana tidak? Dia berubah menjadi sosok yang sangat aku kenal. Dia melebur kemudian menjelma menjadi diriku. Dia tersenyum. Diriku dihadapanku tersenyum.
Apa ini mimpi? Atau mungkinkah aku dalam masa dimana kejiwaan sedang terganggu? Aku ingin berteriak. Namun tak kudengar suaraku. Aku merasakan tubuhku bergerak dengan sendirinya menghampiri deretan-deretan cermin itu. Aku memecahkan semuanya. Ya. Disitulah aku merasa jiwaku bebas. Tapi, Siapa dia? Sosok yang masih berdiri terpaku melihatku. Benar. Itu diriku. Mungkinkah dia bagian dari khayalanku? Tak salah lagi. khayalan, ilusi atau entah apapun itu aku harus menghentikannya. Tanpa pikir panjang aku kini berlari menghantam bayangan itu. Berhasil, bayangan itu musnah. Namun apa ini yang tergeletak dibawah kakiku? Darah? Manusia? Perawat? Apalagi ini? Aku tak kuat melihat sekelilingku dan mulai kurasakan sepasang tangan tengah mencekik leherku. Aku terangkat dan sulit untuk bernafas hingga kurasakan gelap. Aku merasa hilang untuk sekejap.
Aku mencium bau anyir yang begitu kuat, Leherku masih terasa begitu sakit hingga ku lihat sekelilingku masih dipenuhi dengan cermin, Tapi kini suasananya berbeda, cermin-cermin itu memiliki wajah yang menyeramkan. Mereka menghampiriku, Aku bangkit dan berlari keluar ruangan. Di luar aku merasa semakin tertekan. Lihatlah lorong di gedung ini yang seperti labirin. Entah aku terlalu takut atau memang aku yang terlalu bodoh, Karena saat aku terus berlari seringkali aku menemukan jalan keluar namun begitulah aku masih saja terus berlari mengitari labirin itu.Lelah? Tentu saja. Aku memutuskan untuk duduk di sudut ruangan yang kurasa ini lebih bisa di bilang kebun daripada ruangan. Bagaimana bisa didalam ruangan ini tumbuh begitu banyak jenis tanaman liar. Apalagi ini? Aku rasa kini bukan tubuhku saja yang merasa lelah tapi batin dan pikiranku pun begitu lelah. Pikiranku semakin kacau , Aku tak ingin mempercayai ini namun ini terlalu nyata untuk sekedar ilusi bagiku. Aku melihatnya lagi. Cermin-cermin itu menampakkan wajahku yang begitu menjijikkan, Oh dan apakah itu benar lintah? Bolehkah aku mempercayai ini? Lintah itu menghisap kuat nadi di leherku. Tubuhku terlihat kering dan kini aku mulai mual dengan bau darah yang keluar dengan derasnya dari tubuhku. Lintah itu menghilang tergantikan bau busuk yang semakin menguar dari kedua jemariku. Dalam hitungan detik ribuan belatung seakan memasuki urat nadiku. Jemariku tinggal tulang dan kini kurasakan sesak dalam dadaku. Aku ingin berteriak namun lagi-lagi suaraku seakan tertahan. Kini telingaku yang mulai berdengung semakin keras, keringat dingin ini terus keluar membanjiri wajahku. Aku gemetar dan kurasakan gelap.
Buram, aku membuka mata untuk yang kesekian kalinya setelah kurasa beberapa kali aku tak sadarkan diri. Cahaya lampu membuat penglihatanku sedikit kabur.“Kau sadar?” sayup-sayup ku dengar suara yang cukup kukenal, Dia kakakku. Dua matanya terlihat sembab dan merah. Dia masih menangis tersedu. kurasa aku sudah kembali. Aku alihkan pandanganku ke seluruh keluarga yang berkumpul mengelilingiku. Masih tampak begitu jelas raut kekhawatiran di wajah mereka. Aku memeriksa kedua tanganku dan Aku bersyukur. Aku tersenyum hingga akhirnya menangis untuk kesekian kalinya.
Flasback End
“Sayang? Kau mengacuhkan baby chipo kita.” Suara lelaki yang sangat familiar ditelingaku membuyarkan segala lamunanku. Dia suamiku.
“Ah, Maaf aku hanya sedikit mengantuk.” Bohongku padanya.
“ Tidurlah, aku yang akan menjaganya. Ah ya. Maaf aku lupa menutup cerminnya, kau tak usah memandanginya atau berniat melihatnya. Mengerti?” Ucapnya sambil tersenyum lembut kearahku.
“Ya.” Jawabku singkat disusul dengan senyum yang terkembang dibibirku.
Cermin? Ya aku sedikit takut, Ah bukan. Maksudku, Aku masih takut karena aku masih menyandang Eisoptrophobia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Mirror
TerrorPernah masuk ke dalam cermin? Oh maksudku kedalam pikiranmu sendiri? Ah ayolah ini bukan sesuatu yang gila tapi cukup menggugah adrenalinmu. "aku ingin keluar dari ketakutan ini."