Lulus dari SMP kami memutuskan untuk berpisah, memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Wisma. Dan sekarang, tiga tahun telah berlalu. Kami sudah duduk di bangku SMA. Kami berpisah dan pergi ke sekolah pilihan kami masing-masing. Meski sudah tiga tahun, pertistiwa itu tidak pernah bisa terlupakan. Terutama teriakkan Wisma saat memanggil namaku. Ini yang tidak pernah mau hilang dari ingatan.
Diro dan Kinan berada dalam satu sekolah, selain karena rumah mereka yang berdekatan, orang tua mereka juga cukup akrab. Nala masuk ke sekolah khusus perempuan. Boma secara mengejutkan malah masuk ke STM, sekolah yang mana isinya hampir laki-laki semua. Aku sendiri masuk ke SMA yang cukup favorit. Begini-begini aku tidak sebodoh itu tau. Siapa sangka aku kembali satu kelas dengan Latri.
Komitmen kami untuk kembali hidup normal berjalan lancar. Namun terkadang aku bertanya-tanya, apa hanya aku yang masih kepikiran tentang Wisma dan Nostalgic Game? Akhir-akhir ini aku merasa ada sesuatu yang kosong pada diriku. Bangun di pagi hari, berangkat sekolah, pulang lalu tidur dan mengulanginya. Rasanya, gairah hidupku sudah menghilang terkubur dalam bersama dengan nama Wisma.
“Seka, pulang sekolah ke warnet yuk! Mabar kita.”
“Nggak deh, aku gak ikutan dulu.”
“Ahh, gak asik nih.”
Teman-teman baruku sangat berbeda dengan Wisma dan yang lainn. Orang-orang baru justru membuat ingatan masa laluku terkenang kembali. Memang benar pepatah yang mengatakan bahwa sesuatu akan terasa sangat berharga ketika sudah tiada.
Ini hanya tebakan asalku saja, namun sepertinya Latri juga merasakan hal yang sama. Sejak kelas sepuluh, aku jarang melihat gadis berambut panjang terurai itu akrab dengan orang lain. Dia selalu menutup diri dan terlalu fokus belajar, sampai-sampai tak sadar jika ia seperti tidak punya teman. Sesekali di hati ini muncul perasaan ingin menyapanya, tapi apa daya harga diri laki-laki yang kujunjung tinggi ini tidak mengizinkan.
“Apa aku sapa aja, ya?”
Siang itu aku menunggunya dan bermaksud mengajak makan siang bersama. Aku berniat menghapuskan rasa canggung ini bersama dengan kekosongan dalam hidupku. Begitu bel istirahat berbunyi aku langsung menghampiri meja Latri.
Sesampainya di sana, aku menaruh kedua telapakku di mejanya lalu berkata, “oi, ayo makan bersama.”
“Maaf.” Latri hanya membalasku dengan satu kata dan pergi begitu saja dengan terburu-buru. Wajahnya terus menghadap ke bawah selama perjalanan.
Harga diriku sebagai laki-laki yang amat tinggi, rasanya baru saja dijatuhkan dari atap gedung pencakar langit. Aku masih terdiam dan tidak percaya dengan apa yang baru terjadi barusan. Kesadaranku, berusaha menolak kenyataan. Tiba-tiba ada orang yang menepuk pundakku.
“Sabar ya, bro. Tetep semangat ya. Cewek itu banyak kok, iya aku tau Latri itu emang cakep. Tapi kau tau sendiri kan sifatnya itu.”
“Ehh, nggak. Ini gak seperti yang kau pikir-“
“Udah-udah. Gimana kalau nanti kita ke warnet? Pasti nanti juga langsung lupa?” setelah mengatakannya, tokoh numpang lewat itu kemudian pergi.
“Kenapa jadi salah paham beginiii anjiir...?”
Besoknya aku tidak berangkat sekolah selama tiga hari setidaknya sampai rasa malunya memudar.
***
Aku mulai paham bahwa tidak bisa mengubah keadaan ini. Semua sudah sangat terlambat. Awalnya itu yang kuyakini, sebelum ada satu perkara yang memutar balikkan segalanya.
Kala itu adalah hari biasa, seisi kelas gaduh sebab guru yang mengajar belum juga hadir. Kebetulan sekarang adalah jadwal wali kelasku, tidak biasanya belum hadir pada jam segini. Kalau sudah begini, ini merupakan tanda-tanda...“Yeeeyy, jam kosong!” teriak salah satu teman sekelasku.
“Yaaahooo...!” puluhan murid lain menimpali dengan sorak sorai penuh kebahagiaan.
Setidaknya selama beberapa detik, sebelum datang monster yang menghancurkannya. Musnahlah kegembiraan tersebut ketika terdengar suara langkah sepatu menuju kelas, yang tidak lain adalah wali kelas. Namun ada yang aneh, suara langkah kakinya terdengar bersautan. Seperti lebih dari satu orang.
Benar saja, beliau datang bersama dengan seorang anak laki-laki yang berjalan di belakangnya. Beliau mengucapkan salam dan langsung menyuruh murid baru itu untuk memperkenalkan diri.
“Ehh, siapa itu? Murid baru?”
“Kyaa..., gantengnya.”
"Ihh, keren banget...."
“Cih, dasar cewek-cewek. Memangnya secakep apa sih..?” dengan malas-malasan kutolehkan pandanganku ke arah murid baru itu.
Aku sampai tidak bisa berkata-kata, hanya menatapnya dan terus terpana. Baru kali ini aku melihat orang seperti dia. Mata yang tajam, rambut gelombang yang elegan bak tokoh utama komik. Serta wajah yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup.
“Perkenalkan. Nama saya Wisma Mahardika, kalian bisa memanggilku Wisma. Salam kenal semuanya.”
Seperti pleton inti yang diberi aba-aba, aku dan Latri langsung saling menatap. Rasanya kami seperti bisa berkomunikasi lewat telepati kala itu. Aku berusaha menyangkalnya, namun tidak salah lagi. Wajah orang ini mirip sekali dengan teman lama kami. Seandainya Wisma masih hidup, mungkin akan terlihat seperti orang didepanku ini.
“Yak, Wisma. Silakan duduk di tempat yang masih kosong. Yak, di situ saja.”
Saat aku masih melongo memandangi orang yang mengaku Wisma ini. Ada meteor kertas yang meluncur tepat di keningku. “Aduh. Siapa sih dasar.”
Mataku mengamati sekeliling mencari pelaku penembak meriam ilegal ini. Ternyata cuma ulah si kacamata datar. Dari mata Latri aku tau kami punya pemikiran yang sama.
“Psst... psst... Seka, isitirahat nanti kita harus bicara.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nostalgic Game (on going)
ParanormalTujuh orang sahabat terperangkap di dimensi lain karena memainkan sebuah permainan bernama "nostalgic game". Untuk bisa kembali ke dunia manusia, mereka harus memainkan beberapa permainan tradisional. Seperti mejikuhibinu, sepak sekong dan lain-lai...