Coward

11 3 0
                                        

Aku tidak ingat apa pun, apa yang sudah terjadi? Kesadaranku mendadak hilang. Hal terakhir yang kuingat adalah rumah kosong, lingkaran sihir dan senyuman Kinan sehabis makan coklat dengan berantakan.

"Benar juga, Nostalgic Game. Ahh, silau sekali."

Aku berada di suatu tempat dimana membuka mata adalah hal yang hampir mustahil untuk dilakukan. Saat mataku terbuka sedikit saja, langsung banyak cahaya yang masuk ke dalamnya.

"Tempat aneh macam apa ini?" ujarku bicara sendiri.

"Seka, kau kah itu? Akhirnya kau bangun juga."

"Teman-teman, sebenarnya di mana ini?"

Dari suara dan nafas mereka yang terengah-engah, jelas sekali bahwa teman-temanku sedang panik. Lalu terdengarlah suara yang memecah keributan itu. Suara yang menggema dan terdengar sangat keras. Sontak kami semua langsung tertuju pada suara tersebut.

"Selamat datang di White Room."

"Apa, siapa itu?" sahut Diro lantang.

"Saya akan membacakan peraturan dari Nostalgic Game."

"Hei, jangan abaikan aku!"

"Sudahlah, Diro. Kita dengarkan saja dulu dia," sahut Latri.

Kami pun mendengar penjelasan suara misterius ini masih dengan mata tertutup.

"Kalian harus bisa memenangkan setiap permainan agar bisa selamat dari sini dengan selamat. Apabila kalian kalah, salah satu dari kalian harus dikorbankan. Baiklah kalau begitu, mari kita mulai permainan yang pertama."

Di dalam kesilauan itu datang sesuatu yang gelap. Awalnya kukira ini adalah asap, namun begitu dekat benda ini lebih mirip keremunan serangga. Berwarna hitam pekat yang terbang bergerombol. Apapun itu, benda hitam ini mengurangi daya silau cahaya dan membuat mata kami dapat terbuka.

Aku masih belum mengerti ada apa ini, tiba-tiba ada permainan congklak di depan kami. Wisma sudah duduk di sana dan harus berhadapan dengan makhluk aneh yang belum pernah kulihat seumur hidup.

Kelima temanku yang lain berada di dekatku, kami hanya menjadi penonton dan Wisma yang harus berduel. Aku tidak tau bisa memberikan bantuan berupa apa. Akan tetapi, Wisma menoleh ke arah kami sambil tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya. Seolah dia sedang berkata...

"Serahkan saja padaku."

Aku hanya bisa mengangguk dan mempercayainya. Sampai aku sadar, kami terlalu naif. Apa yang bisa dilakukan anak SMP seperti kami melawan monster itu. Wisma kalah telak.

"Sebagai gantinya salah satu dari kalian harus dikorbankan."

Benda-benda kecil hitam yang mengapung di udara mengerubungi tubuh Wisma sedikit demi sedikit. Tangannya, perutnya, matanya, dan seluruh badannya terseret ke dalam kegelapan.

"Teman-teman, jangan pedulikan aku. Kalian harus menyelamatkan diri kalian sendiri."

Kelima temanku yang lain pun pergi begitu saja meninggalkan Wisma. Sudah jelas mereka ketakutan melihat kejadian mengerikan ini. Aku tidak akan menyalahkan mereka, sifat alami manusia memanglah demikian. Akan tetapi, kenapa Wisma sampai segitunya kepada kami. Dia tidak peduli dengan hal buruk yang menimpanya, asalkan dia bisa menolong orang lain.

"Larilah... Sekaaa...," itulah kalimat terakhir yang dia katakan, sebelum tubuhnya benar-benar menghilang.

Monster itu kemudian tertawa, lalu berkata padaku, "Kemarilah. Kau ingin menyelamatkan temanmu, bukan?"

Tubuhku kaku, tidak mau bergerak sesuai perintah otakku.
"Seandainya ini hanya mimpi, aku ingin segera bangun dari tidur siap-siap ke sekolah. Ini tidak baik, kalau begini terus...."

Tubuh ini memilih untuk melarikan diri dibanding bertarung demi temanku sendiri, Wisma. Kupikir juga pasti akan kalah jika harus melawan monster itu. Daripada mengambil resiko itu, lebih baik aku menyelamatkan diri. Jiwa egoisku mengambil alih.

Keesokan harinya, rumah besar yang semalam kami gunakan untuk memainkan Nostalgic Game tiba-tiba runtuh. Di duga bangunan itu terlalu tua dan runtuh dengan sendirinya. Namun, bukankah ini terlalu kebetulan? Tentu saja jauh di dalam lubuk hati aku tidak puas dengan alasan klasik seperti itu.

Waktu terus berjalan. Tidak pernah ada satu pun dari kami yang membahas kejadian hari itu ataupun menyinggung nama Wisma. Tetap menjalani hidup seolah tidak ada hal buruk yang tejadi. Karena kami sadar kami hanya anak remaja biasa yang tidak bisa melakukan apapun.

Keakraban kami perlahan memudar dan lama-lama menjadi terbiasa. Terus terjebak dalam kepura-puraan seakan anak bernama Wisma Mahardika tidak pernah ada di dunia ini dan kami tidak pernah mengenalnya.

Anehnya, tidak ada yang sadar dengan kepergian Wisma. Seolah-olah, dia benar-benar tidak pernah dilahirkan. Namanya menghilang dari buku absen, bahkan semua dokumen sekolah. Nomor ponselnya berada di luar jangkauan. Dan yang paling tidak wajar adalah... keluarganya sendiri tidak mengenalinya.

Ini bagaikan semua ingatan orang-orang tentang Wisma telah dihapus. Terkecuali kami berenam, yang tidak lain merupakan teman akrabnya. Mungkin saja penyebab hal ini juga karena hanya kami yang mengikuti permainan terkutuk itu.

Manusia tidak akan mampu berbuat hal semacam ini. Ini merupakan fenomena paling tidak masuk dinalar seumur hidupku.

“Apakah Nostalgic Game, benar-benar berhubungan dengan hal gaib?”

Nostalgic Game (on going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang