Panas siang ini tidak seperti biasa. Teriknya terasa menusuk kulit, meski pakaian yang aku kenakan menutupi seluruh tubuh hingga pergelangan tangan. Tiupan angin membuat jilbab lebarku berkibar. Masker penutup wajah serasa tak berfungsi maksimal. Debu-debu bertebaran mengganggu pandangan. Hampir sepanjang tahun,musim panas terjadi dikota ini. Kota yang tercatat sebagai kota dengan curah hujan terendah di Indonesia. Meski demikian, bahkan hampir tidak pernah terdengar kota ini mengalami kekeringan.Sumber air seperti berlebih, tidak jarang tiap rumah memiliki sumur bor dan penampung air berwarna orange bertengger kokoh di samping atau didepan rumah.
Seperti biasa, tujuanku hari ini mengunjungi industri kecil binaan. Selepas kuliah,aku melanjutkan kontak kerja dengan kementerian perindustrian. Bekerja sebagai konsultan Industri, bertugas mendampingi industri kecil. Bekerja sesuai passion sangat menyenangkan, itu yang aku rasakan. Melihat semangat para pemilik industri, rasanya malu melihat diriku yang masih berpikir menjadi pegawai negeri sipil.
Sebagai pendamping industri, kegiatan rutinku adalah turun lapangan memastikan industri binaanku mengalami perubahan dari awal tidak mengerti cara pembukuan hingga paham mengenai market place. Tentu ini tidak mudah, memahamkan ilmu pada mereka yang bahkan tidak selesai mengeyam pendidikan sekolah dasar. Ilmu super ribet dipecah menjadi sesederhana mungkin dengan bahasa yang mudah dimengerti.
Aku sangat menikmati proses ini, berkenalan dengan berbagai karakter adalah hal yang aku paling sukai, mendengar berbagai macam cerita, suka duka dan jatuh bangun selama merintis usaha.
Tapi ada yang mengganjal dipikiranku sedari pagi. Membuat pikiran sedikit tidak fokus, beberapa kali aku ditegur oleh pengendara motor lain. Motor yang aku kenderai tidak berada di jalur,aku bahkan hampir menabrak pejalan kaki. Tanpa sadar aku melaju padahal lampu lalu lintas berwarna merah, alhasil aku dimarahi bapak-bapak pengendara motor dari jalur berbeda.
Pikiranku sedang melayang pada sebuah pesan. seseorang yang aku lupakan itu kembali. Kali ini ia datang dengan harapan yang berbeda. Bertahun-tahun aku belajar lupa, menghapus harap. "Bukan dia yang aku tunggu." Begitu selalu ku nasehati diri. Bahwa lelaki yang baik tentu untuk wanita yang baik pula.
Sepanjang jalan menuju lokasi industri binaan, pikiranku tidak karuan. Bahwa melupakan bukan pekerjaan mudah, bahkan ketika aku hampir sepenuhnya melupakan lelaki itu, ia datang dengan satu pertanyaan, "Maukah kau menikah denganku?"
Aku bahagia, betapa tidak ia yang aku delete namanya dalam baris ingatan datang dengan membawa harapan. Tapi bukan aku namanya, jika tidak memikirkan tawaran ini matang-matang. Bisa jadi laki-laki itu hanya bercanda, meski aku tahu ia tidak pernah bermain-main untuk sesuatu yang serius.
Berapa tahun lamanya, tak ada kabar darinya. Aku bahkan tidak peduli dengan kehidupannya, bagiku ia hanya masa lalu yang harus di enyahkan dari ingatan. Meski aku kadang tidak sanggup berdamai dengan hati.
Laki-laki itu telah mengajarkanku bagaimana jatuh cinta, sayangnya ia lupa mengajarkanku cara melupakan. Fatalnya ia hanya memberiku satu rumus, mencintainya seorang. Betapa sulit menurunkan satu rumus tersebut, aku bahkan tidak bisa menemukan rumus turunan untuk melupakannya. Jadilah hidupku, dibuat pusing hanya untuk menemukan satu rumus, melupakan.
Hanya sedikit orang bisa mencintai dalam jangka yang panjang ketika rasa benci itu hadir bersamaan. Aku adalah salah satu dari yang sedikit itu. Aku membencinya dan dari sudut yang berbeda aku menghadirkan ia dalam setiap tulisan-tulisan panjangku. Ia adalah inspirasi, tokoh yang jadi pelampiasan dari segala rasa yang aku punya.
Tentang patah hati, aku bahkan bisa menulis panjang hanya dengan mengingat namanya. Tentang kekecewaan, tentang kehormatan dan tentang penilaian ku terhadap laki-laki. Dia objek sekaligus subjek dalam semua tulisan-tulisanku. Bagaimana aku bisa menginspirasi banyak orang? Dialah yang menjadi sumber utama inspirasi ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lupaku adalah tentang kamu
General FictionSebuah kisah tentang melupakan dan mengikhlaskan nb takdir