Satu • Koma

29 1 0
                                    

Kirana terlihat tak ada kerjaan. Hanya mondar-mandir tanpa alasan didepan ruang rawat-inapnya yang kebetulan sedang kosong pembesuk. Ini sudah tiga hari berlalu sejak kecelakaan itu terjadi, dan sampai sekarang, Kirana belum bisa memastikan dengan benar, apakah ia masih hidup? atau telah tiada?

Satu hal yang ia ketahui. Ada seorang gadis yang begitu mirip dengannya, terbaring tak berdaya diatas ranjang bersprei putih dengan alat-alat medis yang tertancap dibeberapa bagian tertentu tubuhnya. Kirana sangat yakin jika, gadis itu adalah dirinya.

Monitor pendeteksi detak jantungnya masih berjalan normal, menandakan bahwa ia masih hidup. Tapi nyatanya, saat ini, Kirana bisa merasakan jika rohnya terlepas dari raganya.

Seorang pemuda dengan rambut acak-acakan berjalan lesu melewati Kirana, masuk kedalam ruang rawat-inap. Dengan agak tergesa Kirana membuntutinya.

Sejak awal kedatangannya, pemuda itu terlihat sangat murung. Namun, begitu netra cokelat gelapnya bertumpu pada wajah seorang gadis yang terbaring diatas ranjang, wajahnya berubah menjadi cerah dan ceria.

" Selamat pagi. Gimana keadaan lo hari ini? "

Tak ada jawaban.

Pemuda itu duduk dikursi samping tempat tidur, mengelus perlahan surai hitam gadis dihadapannya

" Gue harap hari ini lo lebih baik dari kemarin, karena itu artinya, gue juga bakal ngerasain hal yang sama. " ucap pemuda itu lirih.

Kirana tenggelam pada sebuah ketidakberdayaan. Jemarinya sudah gemas ingin menyentuh bahu pemuda itu dan mengatakan bahwa, dirinya baik-baik saja. Tapi Kirana sadar, kini mereka tengah berada didalam dua dimensi yang berbeda.

Lengan kekar pemuda itu mengenggam jemari kurus gadis dihadapannya, yang tidak lain adalah Kirana. " Rana, saat ini gue butuh lo. Saat ini yang gue mau, lo buka mata lo Rana. Gue sadar, selama ini, satu-satunya cewek yang gue cinta itu cuma lo. "

Kirana tersenyum miris. Tak pernah menyangka jika kenyataan akan benar-benar mengkhianatinya. Dulu, saat Kirana terlalu berharap, saat Kirana giat memperjuangakan cintanya, pemuda itu enggan menerimanya dan cenderung mengacuhkannya. Tapi kini, saat ia tengah berada diantara hidup atau mati pemuda itu mengatakan perasaan cinta terhadapnya.

Sekarang, apa yang harus Kirana benci?

Keadaan? Waktu? atau Takdir?

" Rana, lo inget kan? dulu lo pernah bilang sama gue, kalo lo akan selalu ada buat gue. Lo yang akan selalu menjamin kebahagiaan gue. Lo inget kan? " pemuda itu histeris. " Saat ini, kebahagiaan gue adalah liat lo bangun dan tersenyum. Bangun Rana, please! "

Dada Kirana mendadak sesak, tak tega melihat pemuda itu bersedih. Apalagi karena dirinya. Jika boleh memilih, Kirana juga tak ingin berada diposisi ini, tapi apa dayanya, Tuhan telah berkata lain.

" Rana, gue cuma minta lo untuk gak bosen mencintai gue. Karena cinta lo merupakan kekuatan terbesar dalam hidup gue. "

Denting jarum jam bergerak lambat, mengantarkan pemuda itu pada sebuah angan yang mulai surut. Kepalanya ia letakan diatas tempat tidur, memandangi lekat-lekat wajah damai Kirana sambil sesekali mencium punggung tangan gadis itu lembut.

Kirana sendiri yang memperhatikan gerak-geriknya di ambang pintu menghela nafas gusar. " Lo brengsek Dewa! seenggaknya itu yang gue tahu sebelum gue sadar bahwa lo pantes gue perjuangin. "

_____WYS_____

Bagi Sadewa Hadinata, menunggu itu membosankan. Tapi kini, ia sendiri tengah menunggu seseorang untuk membuka mata dan terbangun dari tidur panjangnya.

Dua hari terlewati sejak Kirana dinyatakan koma. Sampai saat ini, tak ada pertanda apapun yang dapat menunjukan kapan gadis itu akan membuka matanya.

Dewa menyesal telah terlambat menyadari perasaannya terhadap Kirana.

" Lo disini? "

Suara bariton itu membuyarkan lamunan Dewa. Sekaligus, memecah keheningan yang semula melingkupi ruangan tempat ia berada. Dewa menoleh, mendapati Kaisar berdiri di ambang pintu dengan raut datar khasnya.

" Pulang! Lo udah terlalu lama disini. " titah Kaisar dingin.

Dewa hanya tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. " Gak kok, gue baru dateng. "

Bohong. Kaisar tahu jika Dewa berbohong.

" Gak usah nipu gue. Lo pikir gue gak tau, lo dari pagi kan disini? "

Lagi-lagi Dewa menggeleng. " Enggak Kai, gue baru aja nyampe. "

" Terserah. " Kaisar menutup pintu perlahan, lantas menghampiri ranjang tempat Kirana terbaring. " Lebih baik lo pulang sekarang, udah ada gue yang bakalan jagain Rana. "

" Tapi_ "

" Pulang! " tegas Kaisar.

Pemuda itu mendadak murung. Untuk saat ini ia tak mau meninggalkan Kirana, ia masih ingin bersama Kirana, dan seharusnya Kaisar mengerti akan hal tersebut.

" Pulang Dewa! buat apa sih lo lama-lama disini? mau buktiin cinta lo sama Kirana? basi tau gak? sekarang lo ngemis-ngemis depan dia, dan mohon supaya dia bangun juga percuma, dia gak akan pernah dengerin lo. Biarin aja dia istirahat untuk saat ini, dia tuh capek sama semua kebohongan lo, asal lo tahu itu. " ucap Kaisar menggebu-gebu.

Dewa sedikit tersentak. Untuk pertama kalinya seorang Kaisar Alexander Bimantara berbicara sepanjang itu dengannya, dan yang paling membuat Dewa terkejut adalah, perkataan Kaisar yang begitu menohoknya.

" Gue minta sekarang lo pulang. " pinta Kaisar untuk terakhir kalinya. Kini, dengan wajah yang lebih bersahabat.

Dengan enggan Dewa bangkit dari kursinya, mengalihkan pandangannya pada Kirana lantas mengacak rambut gadis itu penuh kasih sayang dan berbisik. " Sekarang gue pergi, tapi gue janji nanti bakal balik lagi. Cepet sembuh ya Rana, gue sayang lo. "

Tatapan mata Kaisar begitu dingin ketika Dewa melewatinya. Seakan ada aura permusuhan yang begitu kental diantara mereka.

" Gue pulang, titip Rana. Jagain dia! jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk sama dia. Kalo gak, lo abis sama gue " ucap Dewa disertai ancaman.

" Hmm... "

Dewa menghentikan langkahnya di ambang pintu, lalu menyerukan sesuatu. " Kai, mungkin lo bener. Rana emang capek sama semua kebohongan dan sikap gue. Gue juga tau kalo sekarang dia butuh istirahat. Oleh karena itu, ini adalah saatnya untuk gue memperjuangkan cintanya. "

Setelah itu Dewa langsung melenggang pergi. Menghilang dibalik pintu.

Tatapan Kaisar ditujukan pada Kirana. Pemuda itu mengambil alih kursi yang ditinggalkan oleh Dewa. Duduk diatasnya, lantas menghela nafas gusar.

" Cowok kayak gitu yang susah payah lo perjuangin? " Kaisar menggeleng prihatin. " Gue lebih baik daripada dia. "

Kirana yang sejak tadi mengintip dari balkon mencibir. Di dunia ini, tak ada manusia paling sombong selain seorang Kaisar Alexander Bimantara, meskipun pemuda itu tidak sering menunjukannya. Tapi tetap saja, Kirana tak suka dengan satu sikap buruk Kaisar itu.

Hanya saja untuk saat ini, Kirana tak bisa menendang kakinya seperti biasa. Tunggu saja kalau ia sudah bangun nanti! Kirana pasti akan membalas dendam karena Kaisar sudah memperlakukan orang yang ia sayangi dengan tidak sopan.

°°°

Tbc.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 05, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Waktu Yang Salah; Ketika Rasa Berada Dalam Waktu Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang