lara

49 16 1
                                    

Aku terduduk lemas dikamarku. Perasaanku kalut tak karuan, aku masih perlu waktu untuk dapat mencerna ini semua. Hujan malam hari ini seakan mengerti apa yang sedang kurasakan, kesedihan yang kualami tergambar jelas dalam suasana malam ini, airnya begitu deras seperti air mataku yang tak hentinya menetes sampai kering. Tak ku sangka, wanita yang begitu sangat menyayangiku kini telah meninggalkanku. Terbayang tubuh sang ibu yang telah dibalut oleh kain kafan.

Baru saja kemarin malam aku dan ibu merencanakan gaun pernikahanku.

"Buu, menurutmu baju mana yang cocok untukku?" tanyaku pada ibu sambil menempelkan bajunya ditubuhku.

"Hmmm.. semua gaun di ruangan ini sangat cocok di tubuhmu. Karna anakku ini memang sangat cantik." goda ibu yang langsung mengedipkan satu matanya.

"Aaahhh iyaa, aku memang cantik. Tetapi ibunya lebih cantik." jawabku sambil menyengir.

Saat sedang asik memilih baju, tiba-tiba tangan ibu mengelus pipiku. Raut wajahnya penuh kecemasan, bola matanya berkaca-kaca seakan-akan telah terjadi sesuatu.

"Ana, tolong jangan lupakan ibu. Ibu takut Naaa." ucapnya sambil terbata-bata.

"Tidak bu, Ana menikah bukan berarti melupakan ibu. Ibu sangat berarti bagiku, terima kasih bu telah rela mengurusku sampai saat ini." ucapku sambil memeluk ibu. "Sudah ya bu, jangan di pikirkan lagi."

Air mataku semakin deras mengingat itu semua. Acara pernikahanku padahal seminggu lagi, benar-benar membuatku tak ingin melakukannya jika tanpa ibu. Tapi aku harus ikhlas, kepergiannya sudah menjadi takdir Tuhan.

Keesokannya aku menjalani hari sangat tidak bersemangat. Seperti biasa, aku pergi ke pabrik pengrajin untuk melihat hasil-hasil kerajinan piring kertas pegawai-pegawai ibu. Biasanya aku juga mengerjakannya dengan ibu. Ibu yang mengajariku, sampai aku bisa.

Dan pada akhirnya, kami membuka lapangan kerja untuk para tetangga yang pengangguran. Karena karya ibu dan aku sangat laku, jadi banyak peminat dan pesanan yang harus kami terima. Kami tak sanggup jika dalam sehari pesanannya sebanyak itu hanya kami saja yang mengerjakannya. Alhamdulillah setelah ibu membuka lapangan kerja, jadi banyak ibu-ibu rumah tangga lainnya yang bisa membantu kebutuhan keluarganya.

Tak hanya itu, bapak-bapak dan para anak muda yang pengangguranpun sekarang mempunyai pekerjaan. "Coba liat dehhh, bagus ga?" tanya Mia yang sambil memamerkan hasil kerajinannya.

"Ga!" ujarku.

"Udah dong Na, kamu jangan sedih terus. Kasian noh ibu kamu disurga kalo harus ngeliat anaknya sedih terus." ujar Mia yang menyemangatiku.

"Terasa seakan-akan semua ini menampar hidupku."

"Sudah-sudah." ujarnya sambil mengelus-ngelus punggungku.

Mia orang ke dua yang sangat berarti dalam hidupku setelah ibu. Dia orang yang menemaniku sejak kecil sampai sekarang. Kita seperti anak kembar yang sulit dipisahkan.

Kami ini sangat lucu, pernah suatu ketika aku harus pindah ke luar kota karena mengikuti pekerjaan ayah yang dipindahkan kesana. Kemudian kami berdua menangis lalu saling memeluk satu sama lain. Sampai-sampai kami tertidur lelap dirumahku dengan keadaan saling memeluk.

Keesokannya aku tak sadar, jika aku sudah berada di dalam mobil. Memang sangat menyedihkan, dipisahkan dengan orang yang paling aku sayang.

"Kamu pasti belum sarapankan? Ini aku masakkan nasi goreng." ujar Mia sambil menjulurkan makannya.
"Tumben.." ujarku sambil mengerutkan alis. "Yehh, rese banget dah. Udah dibikinin bukannya bilang makasih kek." ucapnya yang langsung cemberut.

"Terimakasih Misabellaaaa yang baik hati dan juga tidak sombong." ucapku dengan terpaksa.

Mia langsung terlihat kegirangan sambil menyubit-nyubit pipiku. Saat sedang asik mengobrol tiba-tiba bibi Rum datang dengan membawakan gaun berwarna putih sangat menawan.

"Ini gaun siapa bi?" tanyaku dengan heran.

"Ibumu menitipkan ini kepada bibi, gaun ini yang telah dipilihnya." ucap bibi. Tak sadar aku sudah meneteskan air mata dengan cepat.

"Ibumu sangat menyangimu, teringat pada saat itu dia menangis mendatangiku. Dia bercerita bahwa dia tak sanggup lagi pada ayahmu yang terus-terusan menyakiti ibumu. Dia hanya memikirkan dirimu Na, dia tidak ingin kamu tidak memiliki ayah nantinya." ujar bibi dengan serius.

"Ibuuuuuu..." ucapku sambil menangis tersedu-sedu. Seketika bibi Rum memelukku yang dibarengi dengan Mia.

"Kami semua sayang kamu Ana." Ujar bibi Rum.

"Ada aku disini, kamu jangan merasa kesepian ya sayang." Ucap Mia sambil memeluk erar tubuhku.

"Assalamualaikum, permisi."

Tiba-tiba seorang pria memakai jas berwarna hitam masuk mendatangi mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang