Hari-hari terus berlalu, pasukan inti akhirnya ditentukan. 1 Danton atas nama Pebi Dwi Rahmawan, 17 pasukan dan 2 cadangan. Author akan berganti, yang biasa aku menjadi orang ketiga, biarkan aku jadi diriku sendiri yang menceritakan bagaimana aku melihat adik-adikku di tengah lapangan.
Pasukan biasa memanggilku dengan Mbak Tutut, alumni tahun 2015, mahasiswa semester 8, dan biasa jadi bahan candaan kapan nikah.
Selama beberapa hari yang aku dengar pasukan telah latihan dengan semestinya, di waktu yang semakin sempit menuju perlombaan di tingkat Kabupaten Karanganyar. Nama Patriakara terlanjur mentereng, jika tak benar-benar dalam hal ini, bisa jadi terjatuh ke dalam lubang yang dalam.
"Mbak, Pak Sri bilang kalau latihan itu kalau bisa porsinya ditambah," bisik salah satu senior ketika aku baru datang siang itu setelah bimbingan.
"Kenapa gitu? Paling tidak minimal seperti tahun kemarin enak. Tapi sih disesuaikan sama kekuatannya adikmu, lha emang semua manusia sama, bisa menjalankan apa yang menurut kamu mudah untuk dijalankan?"
"Ya kan kita dulu juara Provinsi, sekarang tinggal mempertahankan, kan mempertahankan lebih berat dari meraihnya. Jadi ya gitu, minimal sama seperti kemarin tapi kalau bisa ya nambah," katanya lagi.
Aku hanya mengangguk waktu itu, senior pasti lebih tahu adik-adik dibanding aku. Toh pasti aku juga tidak setiap hari bisa datang, jadi tidak setiap hari aku tahu.
"Tapi adik-adik itu lho Mbak, setiap latihan kesannya kayak menyepelekan, setiap dikasih tahu ada saja jawabannya. Aku lho Mbak sudah ngoreksi tapi ya mana kenyataannya nggak ada yang berubah," ketua angkatan itu bersuara.
Aku diam, setiap angkatan pasti ada keluhan seorang senior disepelekan juniornya tetapi dalam satu angkatan pun pasti ada yang bisa diterima oleh juniornya. Jadi kupikir ya ini biasalah, biar aku lihat dulu beberapa kali sambil memberikan motivasi.
"Kok jalan biasanya adik-adik aneh to, kaya nganan ngiri nganan ngiri, kaya ngentul," kataku merasa aneh.
"Lha gimana to, Mbak?"
"Emang peraturan yang baru jalannya kek gitu?" Dengan polosnya. Aku hanya merasa sudah hampir setahun tidak melihat PBB saja, ingin bilang ini itu, takutnya sudah ada perubahan.
"Ya masih sama itu, Mbak."
"Terus kok lambaiannya adik-adik itu masih bergelombang, tenaga hadapnya masih kurang, ngangkat kaki aja lho lihat dari samping, nggak sama. Ada yang tinggi ada yang pendek," lanjutku di bawah pohon rindang di tepi barat lapangan tenis sementara pasukan di tengah-tengah kepanasan.
Semua memperhatikan pasukan. "Ya itu udah dikoreksi terus, Mbak. Tapi ya gitu diulang lagi, diulang lagi, mereka kaya nggak mau mendengarkan dan melakukan koreksi kita," jawab senior lagi.
"Iya, nanti tak bicara dengan mereka."
Melihat mereka istirahat, melihat mereka minum, semua hal itu keputusan senior, orang bertamu harus punya adab dan tata kramanya.
Sampai sholat ashar telah usai, pasukan kembali ke tengah lapangan, kembali berlatih sebentar lalu duduk di bawah pohon rindang sambil meneguk segelas air untuk satu bersaf.
"Maaf ya kalian kok rasanya masih beda sama tahun kemarin. Tahun kemarin itu aku lihat hadap-hadapnya pun sudah merinding, yang ini kok enggak. Kekuatan kalian itu hilang, tangan nggak serempak, kaki juga, nggak tap tap," kataku.
Dari raut wajah mereka bisa jadi kurang suka dengan caraku bicara. Memang ada kesalahan ketika aku datang berani mengoreksi. Mungkin pengalamanku pun tidak sementereng mereka.
"Kan yang kelas 11 kemarin sudah ikut sampai ke provinsi, sudah ikut jadi juara umum, kok bisa sekarang kaya gini. Kan harusnya kalau dalam pasukan bisa mempengaruhi yang kelas X," kataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wiracarita [Telah Terbit]
Non-FictionKisah ini sedang dalam proses penerbitan di AE PUBLISHING. Pahlawan bagi kami ialah mereka yang terluka, menahan sakit, dan sesak tetapi masih tetap bangkit dan berjuang agar dapat memekik kata merdeka yang merupakan impiannya. Tumbang bangkit lagi...