Badai berjalan gontai menaiki tangga kemudian memasuki sebuah kelas yang sudah ramai oleh penghuninya. Ada beberapa anak perempuan yang sedang membicarakan acara pensi sekolah, dan ada juga yang sibuk mengerjakan tugas yang belum diselesaikan. Badai langsung menuju tempat dimana biasanya ia duduki. Bangku paling pojok, dekat jendela yang mengarah ke lapangan.
Baru beberapa detik Badai duduk, tiba-tiba ada suara yang sangat ia kenali.
"Hai Badai, pagi-pagi tuh harus ceria!" Pelangi menghampiri Badai dengan senyum yang merekah.
"Diluar langitnya cerah, mataharinya juga lagi senyum tuh, masa Badai gamau senyum juga, HEHEHE." Suara tawa Pelangi terdengar renyah di telinga. Gadis itu kembali tersenyum manis ke arah Badai, tetapi Badai tetap diam, tidak ada respon sedikitpun.
"Ah Badai gak asik nih, dibercandain malah diam aja kaya papan pintu!" Pelangi mengerucutkan bibirnya. Pipinya mengembung dan metanya menyipit, tanda kekesalannya karena diabaikan oleh Badai."Teng! Teng! Teng!" suara bel berbunyi. Badai langsung meninggalkan Pelangi yang masih memasang ekspresi kesalnya yang bukan terlihat menyeramkan tetapi malah terbilang lucu.
"Huh Badai emang gak pernah berubah dari awal kenal sampai sekarang." Seru Pelangi kesal.
***
Siswa dan Siswi SMA Harapan sudah memenuhi lapangan upacara. Semua berbaris rapih. Pelangi sengaja berdiri bersebelahan dengan Badai agar bisa mencuri-curi pandang melihat wajahnya ketika upacara yang menjemukan berlangsung.
Badai memang bisa dikatakan rupawan. Perawakan yang tinggi, garis wajah yang tegas, hidungnya yang mancung ditambah kacamata minus yang semakin menambah kharismanya. Alis yang tebal, serta Senyumnya yang manis. Tapi sayang, Badai mempunyai sikap yang dingin, kasar, dan sulit membuka diri kepada orang lain.
Berbeda dengan Badai, Pelangi sangat periang. Seperti namanya, ia ingin memberikan warna dikehidupan dan hari-hari orang lain. Khususnya Badai."Ngapain lo liatin gua?" tanya Badai penuh takanan pada Pelangi yang tertangkap basah sedang memperhatikannya sambil senyum-senyum sendiri.
Kaget aksinya disadari oleh Badai, Pelangi kebingung harus berkata apa. Ia menggit bibir bawahnya mencari alasan yang pas untuk mengelak bahwa dirinya tidak memperhatikan Badai.
"Idih Badai si papan pintu bisa ge'er juga tenyata. Liat tuh kacamata kamu lensanya kotor."
Badai langsung melepas kacamata dan memerhatikan lensanya. Aneh, lensany tidak kotor sama sekali. Kemudian dia memasang kacamatanya kembali dan tidak mengelurkan sepatah katapun.
"Huft, Selamat aku." Batin Pelangi.
***
Upacara telah selesai. Semua murid kembali ke kelasnya masing-masing. Hari ini kelas Badai dan Pelangi diawali oleh pelajaran Matematika. Bu Ana meminta agar anak-anak membentuk kelompok yang terdiri dari dua orang tiap kelompoknya. Dengan semangat pelangi sudah menentukan siapa yang akan menjadi teman sekelompoknya. Ya, siapa lagi kalau bukan Badai.
"Badai, kita sekelompok yuk!" ajak pelangi.
"Gak." Tolak Badai dengan ketus.
"Yah..Badai kok gitu sih! Badai kan Pinter Matematika. Pelangi bakal kebantu banget deh kalo sekelompok sama Badai. Badai kan tahu sendiri Pelangi gak bisa Matematika." Pinta Pelangi memelas.
"Tapi ada satu syarat. Lo gak boleh berisik, ngoceh gak jelas, dan yang paling penting jangan ganggu ketenangan gue!"
"Oke pelangi janji gak bakal berisik, ngoceh gak jelas, dan yang paling penting gak ganggu Badai." Ucap pelangi mengikuti gaya bicara Badai.Saat pembagain kelompok usai, pelajaran pun dimulai. Bu Ana menjelaskan tugas yang ia berikan, kemudian beliau kembali ke ruang guru dan mempersilahkan anak-anak untuk berdiskusi. Tak butuh banyak waktu, Pelangi sudah melanggar janjinya. Ia mulai membicarakan keadaan kelas yang panas, matematika yang tidak pernah ia sukai, dan bertanya mengapa Badai sangat pendiam dan dingin ketika diajak bicara. Sampai suatu ketika Badai sudah tidak tahan lagi dengan keberadaan Pelangi yang sangat mengganggu konsentrasi nya.
"Badai tau gak persamaan Badai sama es?"
"Pasti gak tau kan? Yaudah deh Pelangi kasih tahu."
"Persamaan Badai sama es itu..."
Belum sempat Pelangi melanjutkan kalimatnya, Badai dengan tatapan tajam melirik ke arah Pelangi dengan raut wajah menahan amarah.
"Mau lo apa si? Udah gue peringatin jangan ganggu gue, emang tadi lo gak denger? Dasar cewek aneh!" Kalimat bentakan yang begitu saja terucap membuat Pelangi kaget dan tercengang. Ia tidak mengira respon Badai akan seperti itu. Sedih, itu yang Pelangi rasakan saat ini.
"Maaf." Nadanya lirih, hanya itu yang mampu terucap dari mulut Pelangi.
Setelah mendengar kalimat Pelangi yang begitu lirih, Badai merasa tidak enak hati telah berkata ketus dan merasa bersalah dengan sikapnya tadi.
Badai membuang nafas dengan kasar, mengacak rambutnya frustasi dan kemudian memejamkan mata. Ingin sekali rasanya meminta maaf pada Pelangi, tapi ego terlalu kuat untuk dilawan.
"Dengar ya Pelangi, mulai sekarang gue udah gamau denger lelucon atau apapun itu yang sengaja lo buat biar gua ketawa, gak akan mempan."Badai kembali melanjutkan membaca materi matematika yang ada di depannya seolah tidak terjadi apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Pasti Berlalu
Historia CortaMaaf, atas segala hal kecil yang membuatmu marah. Atas niat baikku yang selalu kau pandang salah.