Bab Sepuluh : Sadar Diri

1.7K 231 71
                                    

Pilu Membiru -Kunto Aji

Sehari setelah kejadian di restoran kemarin, Cakrawala tidak melihat sosok Fidella muncul di sekolahnya. Mungkin dia marah, chat dari Cakrawala sedikit pun tidak pernah dibalas atau dibaca.

Cakrawala kembali mengingat saat Fidella marah karena sudah berbohong. Mereka pulang tanpa sepatah kata yang keluar dari mulut mereka masing-masing.

Bagi Cakrawala bertemu dengan Fidella setelah dua tahun itu adalah keajaiban. Kalau diilustrasikan, Fidella itu seperti kryptonite dan ecstasy, 'pembunuh' sekaligus 'pembangkit' yang berada di tubuhnya. Biarlah orang-orang berkata Cakrawala itu alay atau bucin tingkat akut, Cakrawala tidak peduli karena itulah yang dia rasakan saat bersama Fidella.

Cakrawala berjalan menuju ruang pepeling dan hanya ada Langit di dalam ruang itu.

"Fidella ikut OSN. Tiga hari ini dia enggak akan datang," jawab Langit saat Cakrawala bertanya. Dia sedang menyusun beberapa buku yang ada di atas meja. "Lo suka sama dia atau enggak sih, Bang? Masa berita begitu aja enggak tau."

Cakrawala diam, soal itu dia tidak tau. Fidella tidak pernah menceritakannya. Atau mungkin Cakrawala tidak penting bagi Fidella. Cakrawala juga tidak update dengan berita sekolah. "Gue lupa," kata Cakrawala berbohong. Lalu meninggalkan ruang itu.

Dia beranjak menuju kantin belakang. Bergabung bersama anak Tohpati lainnya. Anggota geng mereka sangat ribut dimana pun mereka berada.

"Abang ...." Ucup berlari kencang, tangannya direntangkan lebar-lebar menyambut kedatangan Cakrawala. Dia bersiap-siap meraih tubuh Cakrawala untuk dipeluk.

"Lo nyentuh gue sedikit aja, gue buat lo balik lagi ke rumah sakit."

Ucup langsung berhenti berlari dan mengeluarkan cengiran handalannya. "Ya elah, Bang. Luka yang di perut aja masih basah. Masa mau di tambah lagi."

Cakrawala tidak menjawab,
dia memilih duduk di kursi bersama dengan gengnya itu. Kemudian Cakrawala menyenderkan kepala ke dinding dan mengeluarkan ponselnya.

"Memang benar anggur lebih mahal daripada apel. Tapi kenyataannya cewek itu lebih suka diapelin ketimbang dianggurin. Benar enggak?" tanya Abigail.

Ucup menunduk lesu. "Tapi Neng Nia enggak suka gue apelin."

"Kalau gue jadi Nia, malas juga gue diapelin sama lo, Cup." Ali menyolekkan tahu isinya ke saos yang berada di piring.

"Lo enggak sendirian, Cup," jawab Vito sambil menepuk bahu Cakrawala.

"Maksud lo apa nepuk bahu gue?" tanya Cakrawala merasa terusik.

"Hehehe ... Adek bercanda, Bang. Abang enggak bisa diajak bercanda sedikit aja, ih! Nanti Jastina marah sama Abang," jawab Vito melambai, dia sedang meniru gaya Justin Aldoyogi. Cowok lentur paling terkenal satu sekolahan.

Cakrawala malah mengerutkan keningnya tidak suka.

"Waktu pembagian jatah bercanda, si Cakra enggak datang kali ya ..." Alex tiba-tiba muncul lalu duduk di tengah-tengah Cakrawala dan Vito.

"Lagi sentimen, dia. Biasa di tinggal si Della. Diakan lagi ikut olimpiade," kata Abigail.

"Ooo ..." Vito mengangguk mengerti dan Cakrawala masih tidak bergeming, stok bicaranya sangat terbatas. Dan dia sudah kehabisan kata-kata.

"Jadi, gimana masalah Victory, kita harus balas mereka, Bang!" teriak Ucup menggebu-gebu.

"Pikirin dulu kesembuhan lo, Cup." Cakrawala melirik sekilas ke arah Ucup. "Dias, tangan lo aman, kan?

"Aman, Bang. Tenang aja, luka segini mah bukan apa-apa."

"Nanti gue atur masalah ini." Cakrawala menyimpan ponselnya ke saku. "Ada yang mau ikut main bola bowling pulang sekolah?"

"Ikutlah, gue main pasti strike," ucap Felix sombong.

"Taruhan kita!" kata Ucup menimpali.

****

Sudah menjadi kebiasaan setiap hari Kamis akan ada apel pagi. Guru akan memberikan pengarahan yang tidak penting bagi para murid yang memilih berbaris di barisan paling belakang. Belum lagi pidato yang dilakukan secara giliran antar guru, entah itu bagian dari kesiswaan, sarana prasarana, dan kurikulum. Bosan, para guru selalu saja mengulang nasehat yang kemarin.

"Maju ke depan!" seorang guru menatap Cakrawala tajam.

"Kenapa lagi?" tanya Cakrawala heran.

"Baju seragammu kenapa kau keluarkan? Terus sepatu macam apa yang kau pakai sekarang? Warna-warni kayak enggak ada aturan." Bu Siregar meninggikan suaranya. "Nah itu lagi, kenapa kau pakai kaos kaki warna hitam?! Pakai kaos kaki warna hitam kalau baju pramuka! Alamak! Entah macam apanya kau ini, masih bisa lagi kau tanyak kenapa!"

"Ibu pintar nyari kesalahan orang." Cakrawala mendesis kesal, akhirnya dia memilih mengalah dan maju ke depan. Meninggal gurunya yang melotot tajam.

Cakrawala sama sekali tidak malu dia sudah terbiasa maju ke depan, jadi tontonan. Lalu guru akan menyampaikan di depan podium bahwa dia adalah contoh murid yang buruk. Membandingkan dia dengan murid pintar lainnya, itu sering terjadi dan menjadi tradisi.

Sampai di depan dekat tiang bendera, dia tidak sendirian. Semua anak tohpati lainnya juga maju, ternyata tidak ada seorang pun dari anggota gengnya yang memenuhi standar murid budiman.

"Kita itu emang kompak, dihukum pun enggak bisa sendiri-sendiri," bisik Abigail membuat seluruh anak tohpati tertawa.

Tapi tawa mereka terhenti saat suara dari podium membentak mereka. Pak Ferdi orangnya, dia guru kesiswaan.

"Kalian benar-benar tidak tau malu! Sudah dihukum bukannya malu malah ketawa enggak jelas!!" teriaknya kencang. Entah untuk apa, padahal jelas-jelas dia sudah memakai microphone.

Pak Ferdi menoleh ke barisan siswa, siap-siap untuk memberikan beberapa informasi.

"Sekolah kita hari ini sangat bangga, karena ada siswa yang memperoleh kemenangan dari Olimpiade Sains Nasional hari yang lalu. Semoga hal ini dapat dipertahankan dan tingkatkan kembali."

"Bagi murid yang meraih juara di OSN kemarin diharapkan maju ke depan. Untuk melakukan serah terima piala yang mereka dapatkan di olimpiade kemarin."

Cakrawala mengangkat kepalanya, ada tiga orang murid yang maju dan diantaranya dia melihat Fidella muncul sambil memegang sebuah piala di tangannya. Gadis itu menarik senyum lebar walaupun sangat jelas bahwa dia terlihat gugup.

"Inilah contoh murid-murid membanggakan sekolah. Murid-murid yang memikirkan masa depan, tidak hanya tau bersenang-senang seperti mereka," tunjuk Pak Ferdi ke arah Cakrawala dan kawan-kawannya.

"Ish, songong amat Pak Ferdi. Enggak tau apa gue calon direktur di masa depan," bisik Felix tidak suka.

Vito menyenggol lengan Cakrawala. "Dia pintar, Cak."

"Enggak kayak gue," kata Cakrawala menyadarkan diri. Dia memang berbeda jauh dari Fidella. Cakrawala menatap Fidella yang saat itu tengah bersalaman dengan kepala sekolah.

Untuk pertama kalinya, Cakrawala merasa dia tidak pantas untuk bersanding dengan Fidella. Gadis itu terlalu sempurna untuk dia yang cuma mengandalkan kekayaan orangtuanya.

Tak di sangka Fidella melihat ke Cakrawala. Mereka saling bertatapan, tapi Cakrawala langsung memutus kontak mata mereka.

***
Tbc//:

Salam manis,
selvia20977

CAKRAWALA √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang