Pernah Ada

75 46 14
                                    

* Alif Alfarisi

Tergeletak di bawah tempat tidur dengan wajah usang dan penuh debu, cat yang mengelupas dan kotoran yang menempel membuat senyum yang dulunya menawan menjadi agak menakutkan. Tak ada yang memedulikan, tak ada yang memerhatikan, tersisihkan , dan hanya ditemani para serangga yang berkeliaran. Tak ada lagi tangan halus yang rutin membersihkan dan tak ada lagi wajah yang mau menggunakan. Dahulu dijaga, rutin dibersihkan, dan sering digunakan. Si cantik yang jadi pusat perhatian banyak orang, tapi kini sama sekali tidak ada yang melirik. Sungguh menyedihkan, ditinggalkan dan dilupakan setelah memberi begitu banyak kenangan. Di luar rumah, deras suara hujan menari membasahi bumi. Entah kenapa setiap kali hujan datang dan membuat genangan, terkadang juga membawa sebuah kenangan. Hujan membuatnya teringat pada Bambang, manusia yang menjadi tuhan baginya. Masih jelas diingatan bahwa Bambang mempunyai seorang gadis kecil yang lincah periang dan dulu selalu menari bersama diatas panggung.
" Cantik sekali Ayah!", teringat suara manis Santi kecil yang berseru takjub menyaksikan Bambang asyik menggosok membersikan topeng buatannya di belakang rumah.
" Topengnya untuk siapa Yah?", tanya Santi penasaran. Bambang tak menjawab dan hanya melebarkan senyuman pada anaknya, sehingga membuat Santi semakin penasaran. Bambang memang dikenal sebagai pengrajin topeng dan juga memiliki sanggar tari yang sudah besar namanya.
" Ayah...ayah ihh nanti boleh Santi pakai tidak topeng nya?", gadis kecil berumur 7 tahun itu kesal tapi matanya berbinar penuh dengan harapan.
" Topeng ini Ayah buat memang untukmu.", sembari memberikan topeng yang baru saja digosok bersih itu pada Santi. Santi senang bukan main lalu mencium pipi Bambang berkali-kali dan langsung mencoba memakainya.
" Cocok ga Yah?", tanya Santi sambil sedikit menarikan gerakkan tari topeng.
" Cocok...cantik!", senyum Bambang semakin melebar bersamaan dengan perasaan hatinya yang senang antara bangga dan haru.
" Makasih Ayah !", peluk erat Santi dan langsung berlari masuk ke dalam rumah.
Rintik hujan turun menyapa tanah perlahan, seperti biasa ia turun membawa kenangan. Senyum yang lebar menyusut perlahan, dalam kesendirian angannya mengingat seseorang. Andaikan Rani masih ada disampingnya saat ini mungkin mereka akan tersenyum dan tertawa bersama melihat tingkah laku anak mereka. Gadis kecilnya itu telah mewarisi bakat menari darinya. Sebagai ayah sekaligus pelatih, Bambang tidak setengah-setengah membimbing Santi. Diajarinya teknik-teknik menari yang baik dan benar. Bagaimana cara berdiri yang benar dan bagaimana cara menjaga kelenturan tubuh agar terlihat gemulai. Perlahan tapi pasti Bambang mengajari Santi menari sejak umur 5 tahun. Langkah demi langkah, gerakkan demi gerakkan, ia ajarkan pada Santi dengan penuh kesabaran dan ketekunan.
Hampir setiap hari, sepulang sekolah Santi melatih gerakkan tarinya. Banyak teman-temannya juga yang ikut belajar menari di sanggar milik ayahnya, hal itu juga yang menjadikan Santi semangat dan senang belajar menari. Bambang boleh berbangga hati. Usahanya membuakan hasil, kian hari Santi semakin piawai menarikan tarian yang diajarkannya. Piala-piala lomba pun menghiasi kamar Santi, pangilan demi panggilan satu persatu menghampiri Santi untuk tampil di berbagai acara. Menari dari panggung ke panggung sudah pernah dirasakannya, dan topeng buatan Bambang lah yang selalu setia menemani Santi menari di atas panggung. Bambang patut berbangga melihat anak semata wayangnya telah berhasil menjadi seorang penari. Lagi-lagi dalam hati kecilnya berharap andaikan Rani masih hidup, mungkin ia akan ikut senang melihat perkembangan Santi. Bambang menaruh banyak harapan pada gadis kecil kesayangannya itu. Ia ingin kelak Santilah yang akan meneruskan impiannya, melestarikan, dan mengangkat seni tari topeng yang semakin tersisihkan oleh kemajuan zaman.
Gadis kecil periang dan pandai menari itu mulai mengenal dunia luar dan semakin disibukkan oleh tugas-tugas dan aktifitas sekolah. Awalnya Santi terus aktif mengikuti perlombaan-perlombaan menari di berbagai daerah dan tampil dari satu panggung ke panggung lainnya. Santi bahkan sudah bisa membuat topengnya sendiri, walaupun begitu topeng buatan ayahnya selalu ia pakai baik pada saat latihan ataupun mengikuti perlombaan. Rutin dibersihkan dan dijaganya baik-baik, baginya topeng tersebut adalah bagian dari dirinya.
Waktu terus berjalan, Santi kecil tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik. Ia semakin eksis di dunia tari yang telah membesarkan namanya. Bersama topeng kesayangannya Santi telah menghabiskan sebagian banyak waktunya di atas panggung. Sampai suatu hari Santi bertemu dengan Indra, seorang pemuda tampan dan mapan yang berhasil mencuri hati rapuh Santi. Pertemuan hari itu terus belanjut hingga kini, sering bertemu tak sengaja, saling menanyakan kabar setiap waktu, sampai berjanji untuk bertemu. Secara tak langsung menjalin ikatan yang menyatukan. Hal yang wajar ketika seorang gadis dewasa yang sudah melewati masa pubertas tertarik pada lawan jenisnya. Banyak orang menyebutnya dengan cinta, emosi dan perasaan kasih sayang yang kuat pada seseorang. Katanya cinta itu buta, sepertinya hal itu benar. Mata Santi tertutup rapat dibutakan oleh cinta dan membuatnya tidak menyadari seperti apa Indra sebenarnya.
Cinta memang hebat, mampu memperbudak tuannya. Karenanya gairah dan semangat Santi pada dunia tari kian hari kian meredup. Dunia tari yang sudah membesarkan namanya ia tinggalkan perlahan, topeng cantik yang setia bersamanya ia lepaskan perlahan. Bahkan ketika Indra memintanya untuk meninggalkan dunia tari, Santi dengan mudahnya menyanggupi. Seperti kata orang, cinta bukan hanya sekedar ucapan manis belaka. Namun, juga perlu pembuktian dan kejelasan melalui tindakkan. Bulat sudah tekad Indra setelah merasa cukup lama menjalin hubungan, ia ingin beranjak ke pelaminan.
Sementara di depan rumah, Bambang yang kian menua masih saja piawai membuat topeng-topeng cantik pesanan desa sebelah. Tiba- tiba dikejutkan oleh kedatangan Santi yang berlari menghampirinya.
" Ayah, Mas Indra baru saja melamarku!" Santi berseru dengan penuh gembira dan berbinar sembari menunjukkan cincin cantik yang tersemat di jari manisnya.
" Tidak boleh! Apa sudah kamu pikirkan baik-baik keputusanmu?", tanya Bambang yang langsung mengalihkan pandangan dari topeng yang sedang dibuatnya.
" Memangnya kenapa Yah?", tanya Santi sembari menatap Ayahnya dengan kecewa.
" Ayah menyayangimu, ayah tau apa yang kamu lakukan. Ia bukan pria baik-baik, apa kamu siap menanggung resikonya?", tanya Bambang sembari berdiri lalu berjalan mengambil topeng cantik milik Santi yang baru saja dicat kembali dan sudah kering dijemur di seberang jalan.
" Ayah tau darimana? Mas Indra pria baik ayah!", timpal Santi sesampai Bambang yang baru saja dari seberang jalan.
Bambang meletakkan topeng yang baru kering tersebut diatas meja, lalu menghampiri Santi dan mengelus kepalanya perlahan.
" Ayah tidak berbohong. Banyak informasi miring yang Ayah dengar tentang siapa dan bagaimana sebenanya Indra, orang-orang pun bilang demikian.", jelas Indra.
" Apa ada buktinya?! Kenapa ayah lebih percaya apa kata orang?!", Santi terlihat marah tidak terima pria pujaannya dijelek-jelekkan.
" Bukti? Coba kamu perhatikan baik-baik, dia mungkin baik di depan matamu. Tapi perilaku aslinya? Apa kamu tahu?", Bambang mencoba menjelaskan.
" Aku yang lebih tahu?!", balas santi yang semakin memuncak amarahnya.
" Ayah selama ini memperhatikanmu. Ayah tahu setelah kamu menikah nanti, kamu berencana pindah bersama Indra kan? Meninggalkan Ayah sendiri di sini, siapa yang nanti meneruskan sanggar tari ini? jangan sampai melupakan dunia tari yang sudah kamu rintis susah payah."
" Tapi itu kan nanti... Ahh! pokoknya Ayah lebih percaya orang lain daripada Santi?!!" Hatinya semakin memanas dan tanpa sadar tangannya meraih topeng yang tergeletak di atas meja. Lalu dengan sekuat tenaga ia lemparkan topeng itu ke tengah jalan.
" Santi! Apa yang telah kamu lakukan!!" Bambang spontan berlari ke tengah jalan. Tepat saat Bambang hendak mengambil topeng yang tergeletak di atas aspal jalan, tiba-tiba sebuah minibus berwarna putih melaju dengan kecepatan tinggi. Suara kencang klakson mobil memekakkan telinga, di rem pun tidak sempat, karena jarak antara Bambang dan minibus hanya tinggal sejengkal.
Brakkk!, terdengar suara keras benturan dari tengah jalan. Topeng cantik yang diambil Bambang terbang terlempar ke sisi jalan. Dari bawah bemper minibus yang rusak dan kaca depannya yang sedikit retak terlihat ada yang mengalir berwarna merah, darah rupanya. Mata Santi membelalak tak percaya dan kedua tangannya menutup mulut yang lebar berusaha berteriak namun tertahan di tenggorokkan. Ingin lari menghampiri tapi tak sanggup, seluruh tubuhnya bergemetar luar biasa. Terkejut jiwanya, terpukul mentalnya melihat sosok Bambang yang tergeletak di tengah jalan tak sadarkan diri.
" Ayah...", tangis serak Santi dalam hati. Tak percaya apa yang telah diperbuatnya, ia tak sengaja, sulit mempercayai bahwa ini adalah salahnya.
"Ayah! Ayah! Ayah!", teriak Santi sembari menguatkan hati berlari menghampiri Bambang yang entah masih bernyawa atau tidak. Tak butuh waktu lama, ramai orang berbondong-bondong berkumpul ingin tahun suara keras apa yang baru saja mereka dengar.
" Ayah! Ayah! Bangun! Ambulans! tolong ambulans siapapun... tolong..", teriak Santi histeris.
" Santi tak sengaja... Ayah! Maafkan Santi...", tangis Santi semakin menjadi-jadi. Orang-orang yang berkumpul ikut sedih mengasihani.
" Ayah... Ayah...", suara Santi semakin tertahan dengan air mata membanjiri pipi manis yang putih kemerahan, menangis tersedu-sedu sembari menggenggam erat kaus putih Bambang yang menjadi merah terkena darah.
Ngiung! Ngiung! Ngiung!, terdengar samar-samar suara ambulans yang menuju kemari dari kejauhan. Tapi apa daya nasi telah menjadi bubur, sungguh beruntung sopir minibus yang hanya tak sadarkan diri dan tak sedang membawa penumpang. Lain cerita dengan Bambang yang terbujur kaku bersimbah darah dan tak lagi bernyawa.
Seminggu setelah wafatnya Bambang, teringat sosok laki-laki yang telah mencuri hatinya. Kemanakah Indra? Tak terlihat sama sekali batang hidungnya. Menghilang begitu saja tanpa kabar, pesan tak dibalas, dan telepon tak diangkat. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, setelah ditinggal Ayahnya dan kini ditinggal pula oleh kekasihnya. Lengkap sudah penderitaan dan kesedihan Santi, sama sedihnya dengan topeng cantik yang meringkuk sendiri di bawah tempat tidur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pernah Ada Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang