"Jungkook!"Jimin berteriak, tidak terlalu nyaring dan tidak terlalu pelan, cukup untuk didengar Jungkook yang kini berusaha keras menahan gelak tawanya. Jimin tidak tahu apa yang terjadi sehingga Jungkook harus menginjak rem mobilnya secara mendadak, membuatnya yang sedang berusaha keras berkonsentrasi memakai eye liner di kelopak matanya menjadi percuma. Kini goresannya menjadi berantakan.
"Tuh kan jadi berantakan! Gimana sih—" Jimin menggerutu pelan. Ia membuka tasnya, mengambil tissue basah yang untungnya selalu dibawa kemana pun ia pergi. "—kan susah kalo ngulang lagi."
"Lagian ngapain sih dandan dalam mobil? Kenapa gak dandan dari apartemen?"
Berangkat bareng Jimin adalah rutinitas yang dilakukan Jungkook sejak mereka berdua masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Teman sejak kecil. Begitu sebutan orang-orang kepada Jungkook dan Jimin atau jawaban Jimin ke setiap orang yang bertanya tentang hubungan mereka berdua.
Jungkook melewati setiap masa dalam hidupnya dengan melibatkan Jimin di setiap hal yang ia lakukan. Setiap pengalaman yang membuatnya tertawa, setiap pengalaman yang membuatnya marah, setiap pengalaman yang membuatnya merasa lelah dan setiap pengalaman yang membuatnya menangis. Hidup seperti ini—hidup bersama Jimin, adalah rutinitas untuk Jungkook. Menyambut pagi, menjalani siang dan melewati malam, selalu ada Jimin di setiap kenangan yang terukir dalam ingatannya.
Jika dikutip dari perkataan orang lain yang sering Jungkook dengar, seseorang akan memiliki perasaan spesial jika sudah terbiasa. Dan Jungkook, ia terbiasa dengan Jimin. Rutinitasnya yang selalu melibatkan Jimin membuatnya, entah sejak kapan, memupuk perasaan untuk sahabatnya itu. Bukan sekedar perasaan untuk teman sejak kecil. Perasaan Jungkook terhadap Jimin bersifat lebih dari itu. Perasaan Jungkook untuk Jimin adalah satu-satunya; karena Jungkook tidak merasakan hal ini kepada orang lain.
Jungkook menatap Jimin beberapa detik, memperhatikan betapa gesitnya Jimin memperbaiki goresan tinta hitam yang ia lukis di kelopak matanya, sebelum akhirnya menatap jalan raya di hadapannya. Jimin selalu terlihat menawan dengan apapun yang ia lakukan. Jungkook akan selalu terpesona.
"Tadi kan aku udah bilang aku bangunnya telat. Makanya gak sempat dandan." sahut Jimin, menjawab pertanyaan Jungkook.
"Ngapain dandan cantik-cantik, sih? Yang dilihat di kampus juga orang-orang yang sama."
Jungkook sebenarnya tidak keberatan jika Jimin mempercantik dirinya. Ia hanya tidak rela harus berbagi pesona Jimin dengan orang lain.
"Mau ketemu Kak Namjoon."
Oh.
"Kak Namjoon?"
"Iya. Kak Namjoon. Anak kedokteran gigi yang waktu itu aku ceritain ke kamu."
Kim Namjoon, jika direka ulang oleh ingatan Jungkook, adalah mahasiswa kedokteran gigi yang satu tingkat berada di atas mereka. Jimin menyukainya, memiliki perasaan kagum yang begitu besar pada mahasiswa yang katanya memiliki segudang prestasi itu. Jungkook pernah berpapasan dengan Kim Namjoon sekali-dua kali. Tidak bisa dipungkiri, pesona pria yang menjadi alasan Jimin berdandan lebih dari biasanya pagi ini memang tidak bisa ditandingi. Sudah menjadi hal yang wajar apabila Jimin menaruh perasaan kagum pada pria itu. Jungkook mengakui secara tidak ikhlas dalam hati.
"Mangsa baru, ya?" kata Jungkook sambil tertawa kecil. Atau mungkin ia hanya berpura-pura untuk tertawa, menutupi kegelisahannya.
Jimin terkenal oleh seantero kampus sebagai pria yang tidak bisa bertahan pada satu orang untuk waktu yang lama. Ia akan berpindah hati ketika ia merasa bosan. Ia tidak ingin berkomitmen, lebih memilih untuk menghabiskan masa mudanya dengan bersenang-senang. Kata Jimin, rasa bosannya akan memberikan banyak pengalaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Loved and To Be In Love
FanficJimin bukan sekedar sahabat. Jimin bukan sekedar teman sejak kecil. Jungkook jatuh cinta pada Park Jimin. *** Based on 1D's 18