Suaraku sangat lantang. Menyeruak menggetarkan gedung-gedung yang ada di bawah bukit Moko itu. Bayu penyejuk mengipas-ngipas leher dan rambut panjangku yang selalu digerai. Aku betul-betul berada di puncak paling tinggi. Sungguh sulit dipercaya. Bahagia bukan main!
Seolah dewa-dewi yang mendiami kayangan, aku begitu bebas. Di sekeliling tampak berjejer rapi bebunga elok yang semerbaknya menjadi parfum alamiku. Tak pernah aku berada di kesempatan yang semenakjubkan ini. Menunggu sunset dan benar-benar menyaksikannya berdua. Ya, hanya berdua.
"Bagaimana? Kamu senang?"
"Em!" aku mengangguk dengan senyum lebar yang tak bisa ditahan.
"Kamu benar-benar belum pernah ke tempat seperti ini?"
"Em!" aku menggeleng.
"Haha! Mungkin karena kamu terlalu disayang orang tua, ya?" kali ini ia bergurau.
Iihh... aku tertawa manja sambil memukul-mukul lengannya. Lelaki modis yang ada di hadapanku tertawa terbahak-bahak. Dalam kesejukan Moko senja, suasana begitu hangat antara aku dengan dia. Dia, Si Pria yang hendak aku pertemukan dengan mamaku secepatnya.
"Kalau sayang seharusnya mama mengerti tentang keinginanku!" tiba-tiba mimikku berubah cemberut seraya memalingkan muka.
"Justru mamamu itu tid...."
"Berarti kalau begitu kamu tidak menyayangi aku karena malah berani mengajakku ke tempat tinggi seperti ini?" sontak aku kembali menatapnya.
"Justru aku menyayangimu lebih dari yang kamu tahu!" telunjuknya tiba-tiba dengan sigap menempel di kedua bibirku.
"Aku tidak peduli sebahaya apa pun bukit yang indah ini untuk kamu. Yang pasti... aku akan selalu menyayangi dengan menjagamu setiap detik tanpa terlewatkan. Bahkan kedipan mata tercepat pun tak akan bisa menyelingi penjagaanku padamu. Aku akan selalu melindungimu, Kasih. Percayalah!" lanjutnya. Kini sorot matanya benar-benar membiusku sehingga aku benar-benar mematung.
Beberapa detik terasa seperti berjam-jam. Tubuh ini mendadak bungkam dari segala gerakan. Sepoi bayu senja pun seolah tak mampu mengayunkan ujung rambutku yang paling tipis. Benar-benar sulit dipercaya. Baru kali ini ada lelaki yang berhasil membuatku mematung seperti ini. Badanku bak membeku, lidah pun kelu. Mataku tak bisa berkedip beberapa saat. Hingga sorot mentari senja membuyarkan semuanya.
Aku tersadar, lantas mengalihkan pandangan ke arah Sang Surya yang hendak tenggelam dari muka bumi. Senyuman kecil masih tak bisa kusembunyikan. Tiba-tiba aku sedikit menunduk.
"Loh, kenapa mukanya, Dik?" ia menengok ke arah wajahku yang sedang berusaha kusembunyikan dari pandangannya.
Sial, lagi-lagi ia mencandaiku. Ia tak mengerti aku sedang menyembunyikan wajahku yang tersipu malu karenanya.
"Tidak jadi lihat sunset nih? Yakin? Kok nunduk aja?" ia masih saja semangat menggodaku. Padahal aku tengah kesulitan mencari kata-kata dan menetralkan mimik wajahku.
Sebuah benda kotak hitam dengan sigap kutempatkan di depan mataku. Suara 'cekrek' berkali-kali dimainkan hingga akhirnya perasaanku netral lagi. Aku beranjak berdiri dan memberikan senyum terakhir untuk sunset sebelum akhirnya aku memutuskan turun dan pulang.
"Ayo! Sunset sudah berakhir!"
Melihatku berbenah diri, ia mengernyit, lalu berdiri.
"Loh, kamu mau ke mana? Puncak keindahan Moko akan kita dapatkan malam nanti. Sebentar lagi, Kasih! Kamu jangan dulu pulang. Kan aku sudah bilang, aku akan selalu menjagamu. Jadi, kamu jangan khawatir. Nanti aku yang menjelaskan kepada mama kamu, ya?!"
YOU ARE READING
Di Bawah Temaram Lentera Kelam
RomanceCinta bukan hanya berbicara tentang rasa. Tapi, bagaimana cinta bisa mengenal kebijaksanaan terhadap peran kasih sayang. Akankah cinta Andre dan Kasih mengenal kebijaksanaan itu? Ikuti selengkapnya!