Senyum dan Tatapan

217 20 5
                                    

Pagi-pagi begini, aku, ibu, dan Anissa sudah duduk di meja makan. Ikan patin asam padeh khas Minang menjadi santapanku sebelum berangkat ke pesantren. Tidak ada keributan kali ini, karena aku yakin Anissa pasti sedang merajuk. Sudah jelas raut wajahnya jauh lebih asam dari ikan patin ini. Setelah menghabiskan semua sarapan pagi, aku langsung masuk ke kamar, mengambil tas milikku dan Anissa.

"Uda siap makannya, Nissa?"

Anissa yang saat itu terdiam langsung menoleh.

"Uda, Bang."

Ibuku yang sudah membereskan piring, langsung menghampiriku. "Gibran, kamu kalau pulang nanti harus bawa calon istri, ya."

"Iya, nanti aku bawa semua deretan calonnya kalau perlu," kesalku.

"Bagus. Kalau begitu, kan, enak. Kalau soal wajah, ibu kasih saran ya. Paling gak asal kamu gak malu bawa istrimu kondangan, itu uda cukup buat ibu." Ibuku menanggapinya dengan guyonan.

"Bang Gibran itu gak ganteng, jadi nanti kalau cari istri gak usah pilih-pilih," tambah Anissa lagi. Mereka pun tertawa mengejekku.

Memang dua wanita kesayanganku ini sama sekali tidak mengerti aku. Kalau untuk wanita sebenarnya banyak yang mengincarku, namun aku saja yang belum ingin memilih salah satu dari mereka.

Sesaat kupastikan semua beres, langsung kucium tangan ibuku. Ku kecup pipinya, kupeluk dirinya, setelah itu langsung berpamitan. Dan Anissa hanya mengekoriku. Kami menjinjing tas masing-masing. Selama berjalan kaki menuju terminal, tidak ada sepatah dua kata pun yang keluar dari bibirnya. Hanya derap langkah sandal kami yang terdengar.

Membutuhkan waktu lima belas menit untuk berjalan kaki ke terminal. Saat mata ini sudah mampu menangkap badan bus yang akan membawa kami pergi, semakin kupercepat langkahku. Begitu pula dengan Anissa. Kami memasuki bus, saat bus hampir berangkat.

"Bang, apa abang yakin mau masukkan Anissa ke dalam pesantren? " tanyanya tiba-tiba.

"Iya yakin. Kalau gak yakin buat apa abang susah payah mengurus surat pindahmu secara diam-diam," jawabku seraya membereskan tas, karena bus sudah melaju di jalan.

Anissa menarik lenganku. "Tapi Nissa ... bukan orang baik, Bang. Nissa gak pantas di pesantren."

"Masuk pesantren bukan tentang jahatnya diri kita. Tapi tentang ingin agar diri kamu ke arah yang lebih baik," tuturku padanya. "ingat, Niss, pesantren itu bukan tempat mengerikan. Abang sebenarnya tidak mengancam kamu, tapi memang abang mau lihat Nissa paham ilmu agama, hafal Qur'an, dan yang pasti bisa membanggakan ibu. Makanya dengan ini kamu abang masukkan pesantren," lanjutku lagi dengan penuh ketenangan.

Aku yakin pasti dia akan lebih semangat mendengar penjelasanku. Tapi anehnya, saat sudah kujelaskan panjang lebar tidak ada balasan darinya. Aneh sekali. Saking penasarannya, kulirik dia di sebelah. Ya Allah, dia tertidur dengan pulasnya. Mulutnya menganga pula. Andai saja aku punya ponsel yang ada kameranya, sudah kuabadikan momen ini.

"Nissa, Nissa." Aku hanya mampu menggelengkan kepalaku saat melihatnya

Adikku ini sebenarnya sangat lucu. Saking lucunya bawaannya kadang ingin sekali kentut di dekat dia. Tapi ku urungkan, takut dikira dzolimi dia. Adikku juga sebenarnya sangat cantik, kalau hijabnya gak buka tutup kayak tudung saji. Ya, walau begitu aku sangat menyayanginya.

Bus semakin melaju cepat, pelan-pelan mataku juga mulai mengatup. Dan akhirnya aku tertidur.

***

Bus tiba di terminal. Kubangunkan, Anissa saat itu juga. Dengan keadaan setengah sadar, ia berjalan mengikutiku. Membawa tasnya dalam keadaan malas. Tak butuh lama untuk ke pesantren, hanya seperempat jam saja.

Ustazah, Nikah Yuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang