Malam ini aku duduk di kursi yang menghadap secara langsung ke arah jalanan. Oh, bukan jalanan. Mungkin lautan lampu kemerlip yang sangat indah jika dilihat dari kejauhan seperti posisiku sekarang. Aku mengambil laptop milikku yang tersimpan rapi di tas-nya. Mungkin, malam ini aku akan membuka kembali kotak kenangan yang telah usang.
Perkenalkan, namaku jane arista.
Gadis biasa saja yang sekarang tengah menatap langit yang menampakkan bintangnya. Langit malam ini amat senduㅡsesuai dengan keadaanku sekarang. Setelah menaruh laptop, aku berpikir, apa yang harus aku lakukan? Mengingat tentang dia lagi? Mungkin iya. Anakku sudah tertidur, suamiku juga sudah tertidur, mungkin ia kelelahan. Aku duduk dipinggir balkon dan mengehela nafas berat.
Omong-omong, aku ingin bertanya. Apa itu cinta pertama bagimu? Cinta sewaktu SMA? Atau cinta yang berkesan? Atau justru biasa saja? Aku ingin mendengar kisah cinta pertamamu namun rasanya aku ingin agar kau mendengarkan ceritaku terlebih dahulu. Aku tersenyum ketika mengingatnya, ah kenanganku. Aku bersiap menuangkan ceritaku ini dalam folder laptop yang kuharap bisa membuatku tersenyum kala aku membacanya nanti.
Ini kisahku sewaktu SMA, karena dia, hariku berjalan dengan baik tiap saat. Ketika aku mengingatnya kembali, rasanya aku ingin kembali ke waktu itu. Tahun dimana aku terus bersamanya dan berharap ia memiliki perasaan yang sama denganku. Aku mengejar orang yang jelas tidak merasakan apapun kepadaku. Iya, tapi aku tidak pantang menyerah waktu itu. Hingga aku sadar, kalau itu semua sia-sia.
Aku hanya ingin mengatakan kalau cinta pertama akan tetap jadi kenangan, entah dalam kenangan yang berakhir bahagia, atau justru sebaliknya.
Ini tentang dia, antaresh danishwara.
•••••
Ini bagian dimana aku terus mengejar danish. Ah, bukan. Maksudku, ini bagian aku mengagumi danish dari kejauhan. Hanya bisa memperhatikan gerak-gerik danish dari jarak tiga ratus meter dibelakangnya. Iya, aku tidak bercanda. Antaresh daniswara memang terlalu sulit diraih bahkan didekati.
Pagi itu, aku sedang menjalani hari pertama masa SMA. Atau mungkin tepatnya aku sedang menjalani Masa Orientasi Siswa. Tidak ada hal yang spesial waktu itu karena memang aku tidak tertarik pada lelaki. Kau tau? Hal yang aku pikirkan saat itu bagaimana caranya agar aku dapat bertahan pada status beasiswa milikku.
Iya, aku masuk jalur beasiswa dan ternyata aku masuk kelas aksel. Jadi aku masuk kelas khusus tingkat pertama dan harus tambahan les disekolah sepulang sekolah. Jadi, bagiku saat itu waktu untuk mengejar lelaki benar-benar tidak ada. Bahkan untuk melihat atau mencuci mata saja tidak bisa. Ketika aku olahraga, aku fokus kepada praktek. Ketika aku ke kantin, aku fokus dengan buku yang kubawa. Jadi, rasanya tidak ada lagi kesempatan untuk laki-laki yang ada disini untuk mendekatiku.
Kembali lagi, hari pertama berjalan biasa saja karena memang tidak ada yang spesial kecuali aku bertemu tiga teman. Yaitu adel,anne dan Kei. Yah, setidaknya ada yang berkesan dihari pertama. Hari selanjutnya, kami semua disuruh membawa alat bersih-bersih. Maka dari itu aku membawa alat paling mudah, yaitu kain lap.
"Kau murid aksel?" tanya Kei ketika kami semua sedang bersih-bersih.
"Ya, begitulah."
Kei menaruh sapu miliknya, "Hei kau tau tidak? Kelas aksel itu kelasnya pangeran sekolah ini berkumpul!" seru Kei dengan semangat.
Aku menatap Kei, sekolah ini memang unggulan dan untuk menembus jalur beasiswa sangat sulit. Kecuali kau memiliki banyak uang dan dapat membayar semua kebutuhan disekolah ini. Kurasa Kei salah satunya. Kloter untuk kelas aksel pun hanya sepuluh persen dari jumlah siswa yang diterima lewat jalur beasiswa.
"Aku akan fokus belajar. Jadi jangan pengaruhi aku, Kei." tegasku, mencoba mempertahankan mindsetku.
Kei berpaling dariku dan melanjutkan acara bersih-bersihnya, "Ya, aku kan hanya saran agar kau tidak terlalu bosan dalam pelajaran nantinya."
"Terserah." balasku acuh.
Aku kembali fokus dengan pekerjaanku, melupakan apa yang Kei barusan katakan padaku. Yah, aku harus bisa mempertahankan prestasiku setidaknya dua tahun kedepan. Aku dengan serius mengerjakannya sampai akhirnya fokusku teralihkan pada segerombolan kakak kelas yang lewat.
"Kau mau mengincarnya, nan?"
Aku melihat seorang kakak kelas dengan perawakan putih dan memiliki mata yang besar. Aku cukup peka untuk menyadari kalau mereka itu membicarakan aku. Iya, mereka membicarakanku saat itu!
Aku juga bisa lihat seseorang terus memperhatikan diriku. Kei menyenggolku, "Hei! Lihat! Senior itu terus melihatku! Dia tampan, ya?"
Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban dan terus mengerjakan pekerjaanku. Aku tidak mau dengan cepat menyimpulkan kalau dia menyukaiku. Lagipula sepertinya Kei menyukainya. Aku tidak ingin di-cap perebut oleh satu sekolahan, yah begitulah.
Setelahnya, aku pergi ke kantin untuk membeli minuman. Hanya sendirian karena Kei sedang sibuk dengan pekerjaannya. Untung saja aku tidak tersesat, sialnya, aku melihat gerombolan kakak kelas itu lagi. Aku berusaha untuk berjalan biasa saja dan menghiraukan mereka yang sedang berbisik.
Saat aku sudah selesai membeli minuman dan kembali melihat gerombolan yang tadi saling berbisikan kali ini sambil mendorong salah satu diantaranya. Kemudian salah satu diantara merekaㅡyang tadi didorong, berhasil mereka dorong dan kini ia menghalangi aku yang sedang berjalan. Aku jadi terhenti dan melihat kakak kelas dihadapanku ini. Ia memiliki wajah blasteran yang menurutku tampan. Rambutnya dibelah tengah, tidak terlihat cupu, malah terlihat bagus dengan wajah dan tubuhnya.
"Perㅡpermisi..." kataku sopan, tidak berani menatapnya.
"Hey, siapa namamu?" tanya kakak kelas itu menghiraukan apa yang kukatakan sebelumnya.
"JaㅡJane arista..." jawabku gugup. Akhirnya aku berani menaikkan kepalaku dan menatap kakak kelas itu.
"Namaku adnan raymond." lanjutnya lagi sambil mengulurkan tangannya, tanda untuk berjabat tangan.
Aku membalas uluran tangannya, "Senang bertemu denganmu, kak adnan raymond."
"Just call me kak adnan."
Aku bisa mendengar seruan dari teman kak adnan tadi. Seruan paling nyaring keluar dari seseorang yang memiliki hidung seperti perosotan. Entah, aku tidak tau namanya waktu itu. Hingga aku tau dari kak adnan kalau namanya itu abian.
Kak adnan tersenyum, "Maaf ya. Mereka berisik." katanya lalu menyengir.
"Iya, tidak masalah." Sejujurnya, waktu itu aku ingin cepat keluar dari gerombolan kak adnan. Karena aku malas meladeni mereka dan ingin melanjutkan pekerjaanku.
"Can i have your number?" tanya kak adnan.
"Ah, aku lupa nomorku. Nanti akan aku catat saja, baru aku beri ke kakak." jawabku seadanya. Sebenarnya aku ingat, tapi aku malas memberinya. Meski ke kak adnan sekalipun.
"Ya sudah, aku akan menganggapnya sebagai janji. Okay?"
Aku mengangguk, lalu menatap gerombolan kakak kelas itu dan membungkuk hormat. "Aku pergi dulu," ucapku. Semuanya kompak membalas dengan lambaian tangan, kecuali satu orang yang ada di ujung kanan gerombolan mereka. Ia tampak sibuk dengan handphone miliknya.
Rahangnya tegas, hidung mancung dan mata sipit. Ia menatapku dingin lalu kembali fokus dengan handphone miliknya. Sedari tadi juga aku tidak mendengar suaranya. Anehnya, aku justru tertarik kepadanya, bukan ke kak adnan. Ia, hanya terlihat menarik di mataku.
Setelah peristiwa itu, aku jarang bertemu dengan kak adnan. Tapi aku masih sering bertemu dengan kakak kelas berwajah dingin itu, karena dia masuk kelas aksel. Beberapa dari gerombolan itu juga masih sering kutemui, karena mereka juga siswa kelas aksel. Contohnya saja kak samuel, kak yuda, kak zayyan dan kak ian serta kak haris.
Sialnya, aku tidak tau nama kakak kelas berwajah dingin itu. Aku cukup dekat dengan kakak kelas yang lain, tapi aku bahkan tidak tau nama kakak kelas yang itu. Tentang Kei, adel, dan anne aku perlahan menjauh dengan mereka. Selain jadwal yang padat, aku juga enggan berurusan dengan perempuan. Menurutku mereka merepotkan, menyebar gosip yang tidak jelas kebenarannya.
Sore itu aku berjalan dengan kak adnan dan aku akhirnya memberi nomor telponku padanya. Namun, sedari tadi aku hanya ingin tau siapa temannya dengan wajah dingin itu. Aku selalu mencari kesempatan untuk bertanya hal itu. Akhirnya, ada kesempatan dimana kami sedang makan malam dan aku memberanikan diri bertanya tentang temannya tersebut.
"Umㅡkak adnan," panggilku pelan.
"Iya, kenapa?" jawabnya lembut. Aku jadi gugup.
"Aku boleh tau nama teman kakak?" tanyaku pelan, takut menyakiti perasaannya.
"Yang mana? Temanku banyak, teman dekatku dua belas orang." jawabnya sambil mengunyah makanannya.
"Yang wajahnya dingin siapa?"
Kak adnan berpikir sebentar lalu menjawab, "Oh, haris?"
"Ih bukan, haris aku kenal. Yang matanya sipit itu loh." lanjutku lagi.
"Gavin?"
"Hah? gavin? Kakak bisa beri fotonya?" pintaku.
Kak adnan mengeluarkan handphone miliknya dan menunjukkan foto dirinya dan kak gavin. Aku mendengus kesal, "Bukan yang itu kak..."
"Lah? Yang mana dong?" tanya kak adnan balik.
"Matanya sipit, rahangnya tegas dan wajahnya dingin bahkan terkesan galak dan jutek." jelasku rinci. Semoga kali ini benar, ya Tuhan.
Kak adnan mengotak-atik handphone miliknya lalu menunjukkan foto dirinya lagi. Kali ini dengan orang yang benar! "Yang ini?" tanya dia kepadaku.
Aku membalas dengan anggukkan, "Iya, yang ini maksudku."
"Oh, namanya antaresh danishwara."
Saat itu, aku bahagia hanya dengan tau namanya siapa. Sesederhana dan semudah itu bagiku untuk bahagia. Sejak itu, perasaanku terhadap kak danish terus tumbuh semakin kuat. Aku bahkan mengabaikan kak adnan sejak itu. Jahat, iya. Aku hanya berusaha tidak munafik dan jujur. Itu saja.
Tapi, semakin kukejar kak danish justru semakin jauh pergi meninggalkanku. Tampaknya, kak danish tidak suka dengan kehadiranku. Aku tidak masalah dengan responnya, hal itu justru membuatku lebih bersemangat lagi. Contohnya sekarang, aku mengikuti kak danish yang sedang berjalan menuju perpustakaan.
Aku mengikutinya dari belakang, untungnya ia tidak melihatku. Akhirnya ia duduk dan aku duduk dikursi belakangnya. Aku terus memperhatikan kak danish yang mengerjakan tugasnya. Dia tampan, batinku. Beberapa menit kemudian, aku melihat kak danish sedang memperhatikan seseorang. ITU KEI!
Kei sedang bersama dengan kak adnan. Aku paham, pasti kak danish menyukai Kei saat itu. Aku hanya tersenyum waktu itu, menyadari kalau seseorang yang kukejar justru mengejar orang lain. Aku membawa buku milikku dan duduk disamping kak danish.
"Kalau suka, ya dikejar." kataku pada kak danish namun aku sendiri merasa tertampar.
Kak danish menoleh padaku, "Tidak penting untukmu."
Aku perlahan mengkhianati janjiku sendiri, yang dimana aku tidak mau berurusan dengan laki-laki. "Kalau kak danish diam disini, itu tidak akan membuat Kei menoleh padamu."
Kak danish menoleh padaku, "Kau tau bagaimana caranya?"
"Tentu." jawabku pasti. Aku tersenyum, mencoba menyembunyikan kesedihanku.
Aku menoleh ke arah kak danish, "Bagaimana kalau pulang sekolah ini pergi ke toko buku?"
"Untuk apa?"
"Ada deh."
"Aku ada urusan."
Aku menarik tangan kak danish, meraih jari kelingkingnya. "Kita teman sekarang, aku membantumu mengejar Kei, dan aku akan bersama kak adnan! Hahaha! Let's fight for our love!"
"Kau kan sudah dengan adnan?" tanya kak danish tak mengerti.
"Kak danish tidak lihat? Kei suka dengan kak adnan. Tugasmu adalah membuat Kei suka padamu, dan kak adnan bisa..." aku terhenti, enggan melanjutkan perkataanku.
"Bisa apa?" tanya kak danish sembari menaikkan alisnya. Aku menatapnya gugup, menelan ludahku lalu mengalihkan pandanganku. "Bisa kau miliki, maksudnya?"
Aku mengangguk canggung, "Ya kira-kira begitulah."
Aku tersenyum, bagian ini sudah selesai ketika aku dan kak danish berteman. Aku tidak perlu menatapnya dari jarak tiga ratus meter dibelakangnya lagi. Danishwara ternyata cukup menyenangkan dijadikan teman, aku juga bahagia ketika aku dapat berteman dengannya. Dia ternyata tidak se-tertutup itu terhadap temannya. Walau kadang aku harus menahan sakit hatiku, tidak masalah. Setidaknya aku dapat terus bersama walau hanya sebagai teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Pertama
Romanceaku paham kalau cinta pertama memang punya tempat tersendiri di hati kita.