Akhir

37 22 4
                                    

Setelah itu, aku tidak pernah lagi bertemu kak danish. Aku selalu menyibukkan diriku jika ia ingin bertemu denganku. Hingga saat acara kelulusan kak Danish tiba, aku memberikannya sebuket bunga. Ia berdiri disamping Kei dengan wajah yang bahagia. Entah karena ia bebas dari sekolahan atau ia bahagia karena aku ada untuknya setelah enam bulan lamanya. Hahaha, mimpi.
"Selamat." kataku pada kak Danish. Dia membalasnya dengan senyuman. Aku memberikannya buket bunga lalu ia menerimanya. Dia menyambut uluran tanganku, "Terimakasih sudah menyempatkan datang." katanya.
"Hei, Haris! Tolong fotokan aku dan Jane!" teriaknya.
Kami berpose lalu tak lama kemudian kamera polaroid itu mengeluarkan hasil jepretannya. Kak Danish menulis sebentar dibelakang foto tersebut. Ia memasukkan foto tersebut dalam amplop lalu memberikannya padaku.
"Jangan dibuka sebelum kau sampai dirumah. Okay?" katanya, aku mengangguk lalu menerima amplop berwarna merah muda tersebut.
"Lanjut dimana"? tanyaku pada kak Danish. Kebetulan Kei sedang mengobrol pada beberapa temannya.
"Di Jerman." jawabnya.
Aku menoleh ke arah kak Danish, "Jerman?! Kenapa sangat jauh?"
"Aku dapat beasiswa disana."

Saat itu aku berpikir, entah sampai kapan aku harus menyembunyikan perasaanku ini. Kali ini aku harus mengungkapkannya, toh aku tidak berharap balasan dari kak Danish. Yang terpenting sekarang aku ingin jujur, terlepas dari status kak Danish.
"Umㅡaku ingin bicara." kataku gugup.
Kak Danish tersenyum, "Apapun yang ingin kau katakan, aku juga merasakan hal yang sama." katanya lalu berbaur dengan temannya yang lain.
Aku menaikkan alis, apa maksudnya? Yah, mungkin acara menyatakan perasaanku harus ditunda. Aku tersenyum ke kak Danish, lalu melambaikan tanganku. "Semoga sukses," kataku pelan.
Tampaknya kak Danish bisa membaca gerak bibirku, "Terimakasih!" balasnya.

Aku berlari dari acara tersebut dan pergi ke pantai yang pernah kudatangi dengan kak Danish. Semua terlihat sama, sepi tidak ada pengunjung karena ini bukan tempat wisata. Hanya pantai kecil. Bedanya kali ini aku sendirian, kak Danish tidak bersamaku.
Aku duduk disalah satu batu karang yang tidak terlalu tinggi. Memasang earphone milikku dan memutar lagu Andai dia tahu yang dinyanyikan oleh kahitna. Aku meraih surat yang ada di tas milikku tadi. Surat dari kak Danish.
Aku mulai membacanya perlahan.

June, 2019
Halo, Jane.
Aku tidak pandai merangkai kata-kata. Aku sudah mencoba sebisaku. Kali ini aku akan memberitahu semuanya. Baca baik-baik, ya.
Saat aku tau Adnan mengincarmu, aku merasa kalah. Aku saat itu juga menyukaimu namun aku tidak bisa memulai seperti apa yang Adnan lakukan padamu. Aku terlalu kaku. Aku melihat Adnan pergi denganmu, aku ingin menggantikan Adnan saat itu. Aku ingin aku yang pergi denganmu. Bukannya Adnan. Aku tau aku sangat pengecut.
Aku bahkan menggunakan Kei sebagai alasan agar aku bisa dekat denganmu. Rasanya hangat, aku suka senyum indah milikmu. Dadaku berdesir ketika kita berjalan dan saling menatap satu sama lain saat kita di pantai. Namun, aku takut jika aku mengungkapkannya aku malah merusak hubungan kita.
Aku selalu ingin melakukan cara-cara yang kau jabarkan untuk Kei kepadamu. Aku ingin memuji dirimu dan mengatakan kalau kau sangat cantik ketika kau tersenyum, meminta nomor telponmu agar kita bisa berkomunikasi lebih lagi, juga menatapmu seperti apa yang ku lakukan di pantai terhadapmu. Aku ingin tau, jika aku melakukan tiga cara itu kepadamu, apa aku juga dapat memenangkan hatimu?
Aku ingin bisa menatapmu sambil mengatakan kalau aku mencintaimu, seandainya aku jujur dari awal, apakah keadaan akan berubah? Aku selalu merasa sakit hati jika aku membicarakan tentang Adnan yang sangat mencintaimu. Aku ingin sekali-kali berbicara tentang perasaanku terhadapmu, namun sulit rasanya.
Melihat responmu ketika aku berbicara tentang Adnan, bolehkah aku sedikit berharap kalau kau menyukaiku juga? Hahaha.
Tapi saat kau mengatakan kalau kau sangat mencintai Adnan, aku sangat kecewa saat itu. Entah kenapa aku ingin agar kau tidak bersama Adnan dan terus bersamaku. Aku sangat sedih waktu itu. Aku egois, memang. Aku mengatakan kalau aku menyukai Kei sedangkan disaat bersamaan aku menginginkanmu.
Ketika kita belajar bersama di perpustakaan, aku ingin membetulkan helai rambutmu yang berjatuhan. Atau sewaktu tadi, aku sangat ingin memelukmu. Ketika kau sakit, aku terus menyalahkan diri sendiri dan mengatakan kalau aku tidak pantas untuk bersamamu lagi. Aku akan ingat saat kita bermain air bersama, itu yang terbaik bagiku.
Ketika aku dan Kei akhirnya berpacaran dan memberitahukanya kepadamu, aku sangat ingin menyeka air matamu. Ini salahku yang tidak bisa mengungkapkan perasaanku terhadapmu, sehingga kau jadi tersakiti. Aku yakin saat itu kalau kau memiliki perasaan yang sama denganku.
Ingat janji kita? Kita harus bahagia. Entah bersama atau tidak. Ketika kita bertemu suatu hari nanti, pastikan kita harus sudah bahagia. Tolong ingat janji kita, ya? Jangan menyiksa diri sendiri.
Maaf baru memberitahumu mengenai hal ini, tapi aku sangat mencintaimu. Entah kau membalasnya atau tidak, aku tetap mencintaimu.
I love You.
                                          Tertanda,
                                          Antaresh Danishwara
Aku menghapus air mataku, perasaan sangat bermain-main denganku dan Danish. Aku meraih polaroid tadi dan melihat tulisan dibelakangnya.
                         Now and Forever,
                 From bestfriend into lover.
      Antaresh Danishwara Jane Arista.
Aku menangis, menatap kenangan terakhirku dari cinta pertamaku. Dia, Danishwara.

•••••

Aku mengambil polaroid yang kupajang di meja kerjaku. Sudah belasan tahun, tapi Danishwara masih tersimpan dengan baik di dalam kepalaku. Aku tersenyum, lalu menatap polaroid itu. Sudah belasan tahun juga, aku tidak bertemu Danish. Entah bagaimana kabarnya aku tidak tau.
Aku merindukannya, hanya ingin bertemu dengannya lalu mengatakan aku sudah menepati janji yang dibuatnya dan menagih janjinya. Juga bertanya, apa ia hidup sesuai dengan janji yang dibuatnya atau malah sebaliknya.
Terkadang, kau harus tau mana rindu dan perasaan ingin kembali. Aku sadar, Danish hanya bagian dari kenangan yang kubuat selama ini. Aku merindukannya, namun tidak ingin kembali padanya karena ada hati yang harus kujaga.
"Terbangun? Atau kau belum tidur?" tanya suamiku.
"Aku rindu Danish," kataku lalu memeluk Adnanㅡsuamiku.
Adnan membalas pelukanku lalu mengusap rambutku. "Iya, aku juga ingin bertemu dengannya."
Aku lalu menangis dipelukan Adnan, ia sadar dengan perasaanku. Aku merindukan Danish namun dia tau aku hanya mencintainya. Aku bukanlah anak SMA lagi yang tidak bisa menentukan perasaanku. Adnan menepuk punggungku, menenangkanku. Aku terus menangis. Aku hanya ingin melihat keadaan Danish sekarang. Aku ingin tau bagaimana keadaan sahabatku setelah belasan tahun ini.
Bukannya aku tidak pernah mencari sosial media Danish, namun sepertinya Danish tidak punya akun seperti Facebook, Twitter, ataupun Instagram.
"Tidur ya? Nanti kau lelah." kata Adnan sambil menghapus air mataku.
Adnan tidak pernah cemburu atau kesal karena aku terus memikirkan Danish. Sudah kubilang, ini murni perasaan sesama teman. Lagipula, aku sudah memiliki Syahla Alea. Aku tidak mungkin mengkhianati Adnan disaat aku sudah memiliki seorang putri, iya kan?
"Iya. Besok kau libur? Aku ingin ke pantai."

•••••

Keesokan harinya, aku dan Adnan serta lea berjalan-jalan di pantai tempatku dan Danish pernah bertemu. Aku terus kesini setelah sekitar dua belas tahun lamanya, namun Danish tidak kunjung datang. Padahal setiap harinya aku berharap Danish datang.
"Wah pantai!" seru putriku, aku mengelus kepalanya pelan.
"Lea suka?"
"Sangat suka! Ah! Ada teman, ma!" kata putriku lalu berlari menghampiri anak kecil laki-laki yang bermain air bersama ibunya.
Aneh, padahal hanya aku dan Danish yang tau pantai kecil ini. Tunggu, jangan-jangan Danish ada disini?! Aku melirik ke banyak arah, berdoa semoga Danish ada disini. Ketika aku melihat anak laki-laki itu, ternyata ibunya itu Kei!
Tak lama, Adnan datang dengan lelaki dengan rahang tegas, mata sipit, berwajah dingin. Hei, dia bahkan tidak berubah. Bahkan dia tetap tampan di usianya yang aku yakin hampir tiga puluh tahun ini. Tapi, Adnan jauh lebih tampan ketimbang Danish.
Aku menatap Danish dengan tatapan berbinar dan tersenyum setelahnya. Aku menghampiri Danish. Ia tersenyum, "Lama tidak bertemu, teman."
Aku tertawa lalu menatap Danish, "Lama tidak bertemu, Danishwara."
Danish memelukku erat, "Aku rindu," katanya padaku.
Aku membalas pelukannya, "Aku juga. Aku hidup sesuai dengan janji kita. Bagaimana denganmu?"
"Aku juga... bahagia."
Kami menatap satu sama lain lalu tertawa. Aku yakin Danish dan aku sendiri memiliki pikiran sendiri mengenai cinta pertama. Aku pikir, cinta pertama itu pengalaman yang memberitahuku bagaimana rasanya jatuh cinta dengan sahabat sendiri. Aku tidak tau dengan Danish, namun aku bahagia.
Aku dan Adnan, Danish dan Kei.
Kami telah mendapatkan pasangan yang kami inginkan sewaktu SMA dahulu. Ini jauh lebih membuatku bahagia. Aku pikir, apa yang terjadi antara aku dan Danish mengantarkan kami pada cinta kami sesungguhnya. Hanya saja aku dan Danish menyimpang dari rencana Tuhan.
Kami memiliki perasaan satu sama lain namun sekarang perasaan itu tidak lebih dari perasaan sayang terhadap teman. Aku yakin.
Danishwara, terimakasih sudah ada di hidupku dan menjadi bagian dari kisahku. Cinta pertamaku berakhir menyedihkan, namun ia memiliki tempat tersendiri dihatiku yang kupanggil 'kenangan'.
"Senang bertemu denganmu, Danishwara."



-SELESAI-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang