Dua Puluh Delapan

4.9K 327 7
                                        

Cahaya sore menyelinap masuk melalui jendela besar di kamar Kiara, membiaskan warna keemasan di atas perabotan mewah. Angin lembut menerobos tirai, membawa aroma wangi bunga dari taman istana. Kiara duduk di sofa dekat jendela, lembaran buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya mengembara, tidak benar-benar fokus pada kata-kata yang tertulis di sana.

Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu, dan sebelum Kiara sempat menjawab, pintu terbuka. Sosok tinggi dengan jubah hitam khasnya melangkah masuk dengan santai, auranya mengisi seluruh ruangan dalam sekejap.

Charlie.

Kiara menoleh dengan alis terangkat. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini masih siang."

"Memangnya salah jika aku mengunjungimu? Aku merindukanmu."

Kiara menghela napas, tetapi tidak bisa menyembunyikan sedikit senyum di bibirnya. "Aku tahu, tapi ini waktu kerjamu. Bukankah banyak pekerjaan menantimu?"

Charlie mengangkat bahu dengan santai sebelum duduk di sampingnya, satu lengannya terulur di sandaran sofa, nyaris melingkupi Kiara. "Aku juga sedang bekerja di sini."

"Oh? Dan pekerjaan macam apa itu?"

Charlie menyandarkan punggungnya, menatap Kiara dengan tatapan penuh arti sebelum menyeringai kecil. "Menghasilkan penerus juga pekerjaan terpenting, Kiara."

Dada Kiara terasa sesak seketika, pipinya langsung memanas. "Kau—"

Namun sebelum ia sempat menyelesaikan protesnya, Charlie mengangkat dagunya dengan jemarinya, matanya berbinar penuh godaan.

"Kau menggodaku lagi," gerutu Kiara, memalingkan wajahnya, tapi jantungnya berdegup kencang.

Charlie hanya terkekeh, lalu menoleh ke arah pelayan yang masih berada di ruangan itu. Dengan satu gerakan tangannya, ia memberi isyarat agar mereka keluar. Tanpa sepatah kata pun, para pelayan langsung membungkuk hormat dan pergi, menutup pintu dengan pelan di belakang mereka.

Kini, hanya ada mereka berdua.

"Kau benar-benar tidak tahu malu."

Charlie mengangkat sebelah alis. "Oh, memang."

Kiara menghela napas panjang, berpura-pura kesal, tetapi tidak bisa menyembunyikan senyum kecilnya. Ia menyandarkan kepalanya ke sofa, mengamati pria yang kini menguasai hidupnya.

Sejak hari itu—sejak pertengkaran mereka yang penuh emosi, sejak pengakuan yang keluar dari bibir Charlie dengan begitu dalam dan jujur—banyak hal berubah.

Charlie lebih sering menghabiskan waktunya di kamar Kiara. Meski ia sibuk di siang hari dengan tugas-tugas kerajaan, ia selalu menyempatkan diri untuk datang. Tidak peduli seberapa padat jadwalnya, entah itu setelah forum kerajaan, pertemuan dengan bangsawan, atau inspeksi di luar istana, ia akan selalu melangkahkan kakinya ke sini.

Dan setiap kali ia pergi ke luar istana, ia tidak pernah kembali dengan tangan kosong.

Di sudut ruangan, ada sebuah rak kecil yang kini mulai dipenuhi oleh berbagai hadiah yang Charlie bawa untuk Kiara. Sebuah kotak perhiasan berukir dari timur, gaun dengan sulaman emas dari wilayah selatan, kulit bulu dari binatang langka yang kini menjadi selimut di atas tempat tidurnya, dan buah-buahan unik dari daerah yang jauh.

Charlie tidak pernah berkata secara langsung bahwa ia melakukan semua itu untuk menyenangkan Kiara. Tapi Kiara tahu.

Pria itu hanya tahu bagaimana menunjukkan cintanya dengan tindakan, bukan dengan kata-kata.

Charlie mengangkat tangannya, mengusap pelan helai rambut Kiara yang jatuh di pelipisnya. Matanya menatap gadis itu dengan lembut, sesuatu yang jarang terlihat di wajah sang raja yang biasanya penuh ketegasan.

"Apa kau menyukai hadiah-hadiah yang kubawa?"

Kiara melirik rak di sudut ruangan. "Kau tidak perlu membawakanku sesuatu setiap kali kau pergi."

Charlie mendekat sedikit, hingga Kiara bisa merasakan napasnya. "Tapi aku suka melakukannya."

Jantung Kiara berdetak lebih cepat. "Kenapa?"

"Karena aku ingin kau selalu ingat bahwa aku memikirkanmu, bahkan ketika aku tidak ada di sini."

Kiara mengerjap. Napasnya tercekat oleh betapa tulusnya kalimat itu.

Kiara menggigit bibirnya, lalu dengan suara pelan, ia berkata, "Aku hanya ingin kau tetap datang kepadaku... Seperti ini."

Charlie menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum. Senyum yang begitu lembut, begitu hangat, hanya untuk Kiara.

"Kalau begitu, kau tidak perlu khawatir," bisiknya. "Aku tidak akan ke mana-mana."

Di dalam istana yang penuh intrik dan bahaya, di antara kehidupan yang begitu jauh dari masa lalunya, Charlie adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa seperti di rumah. Bahkan jika ia sendiri tidak sepenuhnya memahami apa makna sejati dari kata rumah.

Charlie menghabiskan sepanjang hari bersama Kiara. Hari ini, ia bukan seorang raja. Ia bukan pemimpin yang harus duduk di singgasana, menandatangani dekrit, atau menghadapi para penasihat yang terus menuntut perhatiannya.

Hari ini, ia hanyalah seorang pria yang ingin menikmati keberadaan wanita di sisinya.

Para tetua kerajaan mencarinya ke berbagai penjuru istana, meminta persetujuannya atas kebijakan-kebijakan baru yang mendesak. Namun Charlie tidak peduli. Ia telah bekerja begitu keras, dan kali ini, ia memilih untuk melarikan diri—bersama Kiara.

Mereka berlari menyusuri koridor, menahan tawa saat langkah mereka terdengar menggema di dinding-dinding batu. Charlie yang terbiasa memikul tanggung jawab sejak kecil, yang selalu dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya, kini merasakan sesuatu yang hampir ia lupakan: kebebasan.

Entah karena usia Kiara yang lebih muda atau karena sifat alami wanita itu yang begitu hidup, Charlie merasa seolah lebih muda dari sebelumnya.

Mereka mengendap-endap melewati para pelayan, mencari tempat bersembunyi dari tugas-tugas kerajaan. Dan ketika hujan turun, keduanya masih berada di kebun istana—berlarian di antara mawar yang basah, membiarkan tetesan air membasahi kulit mereka, saling menertawakan wajah satu sama lain yang kini berantakan.

Untuk pertama kalinya, mereka menemukan sesuatu yang belum pernah mereka dapatkan selama ini—sebuah kebahagiaan sederhana, yang hanya terasa lengkap ketika mereka bersama.

Malam pun tiba.

Charlie terlalu lelah. Begitu tubuhnya menyentuh kasur, ia langsung terlelap.

Kiara tetap terjaga.

Suasana begitu sunyi hingga ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Meski tubuhnya terbaring di sisi Charlie, pikirannya terus berputar, tak kunjung tenang.

Matanya terbuka, menatap langit-langit kamar yang tinggi, diterangi cahaya temaram dari lilin yang masih menyala di sudut ruangan.

Sesekali, ia menoleh ke samping.

Charlie tertidur dengan napas yang teratur, wajahnya terlihat begitu damai dalam kegelapan. Tidak ada kemarahan, tidak ada ketegangan, tidak ada beban kerajaan yang biasa membayangi sorot matanya.

Tetapi sebagai seseorang yang, dalam tidurnya, tampak begitu damai... begitu manusiawi.

Ia memperhatikan helai-helai rambut hitam yang jatuh di dahinya, bagaimana dadanya naik turun dengan tenang, bagaimana ekspresi wajahnya lebih lembut daripada yang pernah ia lihat sebelumnya.

Raja yang ditakuti oleh seluruh kerajaan ini, pria yang bisa membunuh siapapun sekali tatapan... kini tertidur dengan begitu damai di sisinya.


Dukung penulis dengan vote dan komentar positif!

the Blood Of Moroi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang