00

9 6 0
                                    

     Malam ini, aku lagi-lagi mendengarnya. Sebuah suara yang terdengar janggal

     Kupikir Kota Silverwood adalah kota yang aman dan memiliki tingkat kriminalitas yang cukup rendah sehingga tak ada kemungkinan akan adanya pencurian di tengah malam ataupun penculikkan anak dibawah umur. Dengan demikian, kuanggap lalu suara tersebut. Tetapi, pada malam ini ada yang sedikit berbeda. Tak ada suara tangisan atau ringisan yang terpendam, hanya ada suara dedaunan yang beradu dan bergoyang dengan terpaksa di taman pekarangan rumah. Aneh.

     "Paman, bangunlah!" bisikku kepada Paman yang kini tengah tertidur dengan pulas. "Aku tahu ini tak masuk akal tetapi, sepertinya ada hantu."

     Paman tersentak. Ia menatapku selama beberapa detik sebelum menyingkapkan selimut tebal yang menutupi separuh tubuhnya dan segera duduk. Beberapa detik kemudian, ia berkata, "Hantu? Jam berapa sekarang?"

     Aku menatap sekelilingku, mencari-cari keberadaan jam sebab aku tak tahu sekarang jam berapa. Namun, belum juga aku menjawab, Paman kembali bertanya. "Kenapa kau ada disini?"

     Secara refleks, aku mengernyitkan dahiku bingung. Kutatap Paman dengan pandangan tak mengerti akan pertanyaannya. Apa mungkin karena Paman baru saja bangun tidur, sehingga seluruh kesadarannya belum kembali?

     "Aku mendengar suara-suara aneh di pekarangan rumah. Walaupun, aku yakin di kota ini kemungkinan terjadinya kriminalitas hanya sedikit, setidaknya, aku mencoba memastikan bahwa itu bukanlah pencuri atau penculik. Tetapi, saat kulihat dari balik jendela kamar, tak ada siapa-siapa. Hanya ada pohon kamboja yang bergoyang-goyang," jelasku mengabaikan pertanyaan Paman sebelumnya.

     "Dengar, Lilly. Paman juga yakin kemungkinan terjadinya kriminalitas di kota ini hanya sedikit. Tetapi, Paman lebih yakin kalau hantu itu tidak ada. Apa kau yakin itu bukan khayalanmu?" Paman kembali bertanya kepadaku, lebih tepatnya, meragukanku. Aku mendengus lalu berucap, "Kalau Paman tak percaya, kita lihat bersama saja. Bagaimana?"

     Paman tersenyum tipis. Ia arahkan tangan kirinya untuk mengelus kepalaku dengan lembut. "Jangan macam-macam. Lebih baik kau tidur. Biar Paman sendiri saja yang memeriksanya."

     "Aku bukan anak kecil lagi, Paman. Sekadar mengingatkan, aku sudah berumur enam belas tahun. Walaupun tak seberapa dengan Paman yang berumur dua puluh delapan tahun, setidaknya aku sudah cukup dewasa," belaku.

     Paman terkekeh, "Besok kau masih harus ke sekolah. Tidurlah."

     Setelah ucapannya ia akhiri, Paman segera membawaku menuju ke kamarku. Memastikan aku untuk tertidur sampai pulas lalu, ia segera keluar dari kamar. Beberapa detik kemudian, aku tak lagi mendengar suara-suara aneh tersebut. Apa Paman yang menghentikannya?

***

     "Sudah seminggu Pak Lee tak datang ke sekolah. Rasanya aneh tetapi juga menyenangkan, ya kan, Lil?"

     Aku menoleh kemudian menatap kedua manik teman sekelasku, Abby, sebelum menjawab, "Mungkin."

     "Hei! Kau itu harus menjawab dengan tegas 'Ya! Rasanya sangat menyenangkan!', tahu! Gadis secantik dirimu ini sudah menjadi salah satu korban kemesumannya! Kalau aku jadi kau, akan aku sewa pembunuh bayaran lalu kau tahu selanjutnya seperti apa," protesnya.

     Aku tersenyum tipis tanpa ada niat untuk menjawab. Salah satu korban pelecehan, tepatnya. Itu terjadi sekitar delapan hari yang lalu saat pelajaran olahraga tiba. Pak Lee seperti biasanya mengajari kami berolahraga, hanya saja saat itu materinya benar-benar mendukung otak mesumnya untuk bekerja. Tangan kotornya ia gunakan untuk mengotori para gadis-gadis, salah satunya, aku. Setidaknya dewi fortuna agaknya masih memihak kepada kami sebab aksi pelecehannya terhenti karena para siswa laki-laki menyadari perlakuan menjijikannya dan mengancamnya. Beberapa hari kemudian, ia tak lagi datang untuk mengajar. Batang hidungnya tidak kami temukan lagi sampai sekarang.

senandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang