part 1

2 0 0
                                    

Hari ini seperti biasa aku terbangun subuh untuk menunaikan kewajibanku sebagai Muslimah, sebenarnya aku sedikit malas untuk selalu terbangun subuh ingin rasanya aku tidur lebih lama lagi, tetapi kalau aku lakukan itu nenek bisa  menceramahiku sampai matahari terbit pas diubun-ubun, ahhhh ini melelahkan. Oh iya namaku Delvanya Mentari, nama yang cantik pemberian ayahku, aku pernah bertanya mengapa diberi nama Mentari, dan sambil tersenyum ayah mengatakan dia ingin aku tumbuh menjadi gadis hangat yang mampu memberi banyak manfaat untuk orang lain. Aku suka namaku, sangat suka. Tapi tak seindah namaku, takdir yang menyapaku tidak sebaik itu, mamaku meninggal saat aku baru saja menghirup udara pertama kali di dunia, sehingga banyak orang yang menyebut aku pembawa sial, walau nenek dan ayah selalu bilang aku adalah pembawa keberuntungan mereka.

Jam 06.00 WIB aku sudah siap berangkat ke sekolah, aku salah satu siswa SMAN 84 JAKARTA, aku duduk di kelas XI MIPA I, rasanya hari ini sangat malas untuk melangkahkan kakiku ke sana, bertemu guru matematikaku yang sangat galak, ditambah gara-gara beliau aku harus rela tertidur jam 02.00 pagi, mengerjakan angka-angka yang nauzubillah. “Udah sarapan belum nak?” nenek menyapaku yang masih bengong di meja makan, “Belum nek” jawabku tanpa melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 06.15 WIB, “lihat jam Delva!” seru nenek, bagai kesambet petir yang berkekuatan 500megawatt kalau ada, aku bergegas bangkit tanpa sempat sarapan, rasanya tersambar petir masih lebih manusiawi daripada ditatap tajam oleh pengajar matematikaku itu, oh iya Namanya Bapak Yono. Rasanya kalau ditatap beliau ingin rasanya pindah penduduk ke Uranus.

Dengan kekuatan ekstra aku ngebut seperti orang kesetanan, Alhamdulillah pukul 06.28 sampai juga aku depan gerbang, menyapa pak satpam yang dengan senyum pepsoden sebisaku, “Assalamualaikum pak” sapaku hanya basa-basi sih, pak satpam membalasnya dengan wajah sumringah, jarang sekali aku melihat dia seperti itu, mungkin hari ini adalah hari baiknya dia, tetapi tidak untukku.

Tiba di kelas seperti yang kubayangkan di rumah, beberapa teman menghampiriku menanyakan PR matematika, hal ini menambah buruknya mood aku, “ Enak aja lu minjam PR, lu pikir gak capek apa ngerjainnya” gumanku dalam hati, tetapi sedongkol-dongkolnya aku pasti aku tetap akan meminjamkan, entahlah aku ini baik atau goblok. “Del jajan yuk!” kata Imelda sahabat terbaikku di sekolah, karena moodku benar-benar belum bagus ditambah baru saja belajar matematika, aku memilih langsung mendekatkan wajahku ke meja. “Ayo Delvanya Mentari sayang cinta hani bani sweeti” rayu Imelda sambil menarik tanganku, 10 menit di rayu akhirnya aku memutuskan mengikuti perempaun penggoda di hidupku itu, dan dengan wajah centilnya dia menggandeng tanganku ke arah kantin.

“Del hari ini gua baik, lu mau makan apa gua traktir deh, mau sama penjual kantin juga gua beliin hahahha” canda Imelda saat kami tiba di kantin, dengan mata yang benar-benar mengantuk aku menatap dia, “enggak deh gua ngatuk, enggak pengen makan” namun selesai kata itu ku keluarkan dari bibirku, terdengar suara berisisk dari lambungku, aku baru sadar aku belum mengunyah dari pagi, dan hal itu membuat Imelda sontak ngakak, yang membuatku tambah malu Doni cowok yang ku kagumi tepat berdiri di sampingku, “Tuhan apa ini azab” bisik hatiku. “Hay Del” sapa Doni yang wajahnya menahan tawa. “Hay” sapaku singkat, “Mel makanya di kelas aja yuk, gua pengen merem bentar aja” kataku sambil memasukkan satu potong besar tahu ke mulutku, aku lupa ada Doni yang diam-diam melihat kelakuanku, “Pelan-pelan makanya Del entar keselek” ucap Doni  santai, dan benar juga tahu itu terasa nyangkut di leherku, rasanya dadaku sesak, Doni spontan memukul belakangku lalu dengan sigap mengambilkan air untukku.  Imelda yang berdiri agak sedikit jauh karena sedang memesan lemon tea bergegas ke arahku, “Lu kenapa Del” tanyanya panik, “ Ke kelas yuk,” kataku sambil menarik lengannya, sebenarnya aku sangat malas sama Doni, ah hari ini aku benar-benar sial. Doni seangkatan denganku anak kelas XI MIPA II, perinkat pertama plus anak basket di sekolahku, banyak cewek-cewek di sekolah dan luar sekolah, bahkan mungkin tante-tante yang menggilainya, termasuk aku yang diam-diam sangat menyukainya. Walau sangat terkenal di sekolah atau dunia lah ya (pikiran lebaiku) tapi Doni bukan tipe cowok yang tebar pesona, malah termasuk cowok paling cuek di sekolah.

Alhamdulillah bel berbunyi tanda kesengsaraan segera berakhir, aku meraih tasku dan berjalan keluar kelas, “Les enggak Del hari ini?” tanya Imelda, “enggak deh hari ini ngantuk banget, pengen pulang tidur bisa jadi zombie gua kalau masih maksain les” kataku dengan nada lemah banget, “Ya udah gua duluan ya Del” Imelda berlalu dengan yang lain menuju tempat les, dan aku dengan sisa kekuatan naik motor pulang ke rumah, “TUHAN boleh ngak sih ngak ada pelajaran matematika di dunia ini” gumanku.

Menjelang maghrib nenek membangunkanku dengan lembut, perempuan tua ini adalah malaikat tanpa sayapku, setelah mama meninggal dialah yang mengisi ruang kosong dihatiku, memanjakanku, yang aku tahu perempuan baik ini tidak pernah rela melihat aku kesakitan, perempuan yang selalu mengajariku mengasihi sesama, dari beliau aku belajar arti kesabaran dan kejujuran. “enggak les Del? bukannya ini hari selasa? Muka kamu pucat, sakit ya?” tanya Tante Hasti adik mama, di rumah ini aku tinggal dengan nenek dan Tante Hasti (Tante Hasti sudah menjadi janda 9 tahun, dia memeilih tidak menikah walau dalam pernikahannya tidak dikaruniai buah hati. Aku pernah bertanya sekali kepadanya, mengapa ia menolak semua lamaran yang daaing setelah om meninggal, dan jawabannya membuatku jatuh cinta pada sosok wanita ini, “aku rasa aku tidak akan menemukan lagi laki-laki yang mencintaiku sebesar om mu, aku menerima begitu banyak cinta darinya, sehingga sampai aku mati cinta itu masih tersisa banyak, bagaimana aku akan mencintai yang lain sementara cinta dari om mu berlebih seperti itu, kelak kamu akan paham mengapa wanita bisa setia pada prianya bahkan saat maut memilih mengakhiri sebuah kisah itu. Kalau kamu dewasa dan bertemu cinta yang sebenarnya kamu tidak akan pernah merasa kesepian atau kekurangan, sampai detik ini tante masih jatuh mencintai Om Rudi (nama suami Tante Hasti) setiap hari masih terasa sama seperti pertama kali tante jatuh cinta saat Om Rudi mengikrarkan akad buat tante, dan tante rasa sampai tante menua dan kembali itu masih akan tetap sama. Sudah ah kamu masih kecil Del, tante berharap kamu kelak akan bertemu laki-laki seperti Om Rudi.” Katanya sambil mengacak rambutku dan berlalu ke kamarnya. Cinta, kenapa wanita-wanita di sekitarku begitu luar biasa mencintai lelakinya, nenek yang mencintai kakek seumur hidupnya, tante yang sama dan mama yang mencintai papa sangat besar. Bahkan setelah melihat punggung berlalu mereka masih hidup dalam kesetian yang begitu ajaib.
Setelah makan malam, aku merapikan kamarku dan menata bukuku, karena tadi pagi tidak sempat, matematika adalah hal terhoror bagiku bahkan dibanding tante kunti, matematika masih di list pertama. Sambil merapikan  kamarku aku mencoba mengingat ada atau tidak  PR untuk besok, ternyata aku sudah mengerjakan semua, aman, pikirku. Aku merebahkan kepalaku di bantal saat ponselku berdering, Rendi menelpon. “Assalamualaikum” sapaku dengan suara selelah mungkin, berharap dia segera menutup telponnya, Rendi sahabat aku dari SD, orannya slengean, cuek, dan berjiwa sedikit preman. “Del, lu ngak les ya hari ini? Kenapa lu? Baru gua mau jajanin lu, lunya malah enggak datang, lu sakit ya, apa lu malas ama Doni, Imel cerita pas ketemu tadi, gila lu keselek tahu depan doi, gua ngakak denger cerita lu.” Cerocosnya panjang lebar, tanpa spasi seperti pembawa acara bola. “Apaan sih lu, gua ngantuk semalam gua begadang ngerjain matematika, mulut Imel emang ember bocor ya.” Jawabku ketus. “Doni  nanyain nomor lu tadi” lanjutnya. “Buat apa ya?”  “Mau nanyain kali tahu di leher lu udah ketelan belum? Hahahhahahahah” aku yakin dia dan Imel sedang ngakak sekeras kerasnya, lebih keras dari toa masjid.

Setelah berkelakar panjang kali lebar kayak rumus matematika, Rendi mengakhiri percakapan via telpon kami. Sambil menghela nafas panjang otak aku mencoba mencari jawaban tentang alasan Doni meminta nomorku, aku sedikit cemas tetapi jujur saja aku sangat bahagia. Pukul 21.03 aku terjaga dari tidur aku, ternyata kelelahan membuat aku tertidur pulas setelah ngobrol dengan sahabatku itu, ku cek ponselku ada chat dari WA dengan nomor baru, namun aku berniat membukannya setalah sholat Isya. Aku bergegas mengambil air wudhu, sholat adalah kewajibanku, dan yang membuatku takut meninggalkannya adalah mama sedang menunggu kiriman Al-Fatihah untuknya, setidaknya ini yang bisa kulakukan untuk rasa terima kasih untuk melahirkanku dan maaf untuk kehilangan nyawa untukku, walau nenek selalu bilang semua bukan salahku, Allah selalu punya Takdir berbeda untuk semua manusia, namun terkadang aku masih saja membenarkan kata tentangga-tenggaku bahwa aku membuat mama kehilangan nyawa.

Selesai sholat ku cek ponselku, ini WA dari Doni, walau sedikit kecewa, ternyata dia meminta nomor ponselku bukan karena ingin lebih dekat, tetapi dia menanyakan PR fisika dari Pak Karim karena dia tidak menemukan cara mendapatkan hasil. Dengan malas aku mengirim foto PR fisikaku. “Makasih Delva, boleh enggak besok lu ajari gua rumus yang lu kirim?” pintanya melalui chat. “Liat besok ya kalau enggak sibuk, emang mau belajarnya dimana?” balasku masih sedikit kecewa, karena dia mencariku hanya karena butuh, kenapa bukan karena jatuh cinta hahah, otak tak warasku menggoda. “Di cafe dekat tempat les gimana? Tempatnya enak cocok untuk belajar” tawarnya “ok” balasku singkat.

Aku Lelah Menatap Punggung Yang BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang