part 2

0 0 0
                                    

Pulang sekolah seperti kesepakatan aku dan Doni menuju kafe yang dia maksud, Doni sudah berangkat duluan karena aku masih harus berurusan dengan Imelda yang ngotot mau ikut, dengan sejuta alasan akhirnya sahabat rempongku itu mau mengalah untuk tidak ikut, “Awas lu ya jadian tapi gua enggak tau” ancamnya sambil mencubit pipiku, “Gua harus menjadi orang pertama yang tahu titik” teriaknya agak keras sehingga beberapa teman disekitar kami menoleh, dengan menutup mulutnya sambal mengkode dengan tatapan Imel mau berhenti nyerocos. Aku melambaikan tangan padanya saat sedikit berlari menemui Doni di kafe, dia pasti sudah lama nunggu walau ini bukan peretemuan untuk kencan tetapi aku jujur saja deg-degan.

Saat memasuki kafe jantung aku berdetak lebih cepat, berkali-kali ku atur dan membujuk organku itu untuk bekerja normal tetapi tetap saja dia memilih menghianati tuannya dan berdetak lebih kencang, terlebih saat Doni melambaikan tangan ke arahku, ingin rasanya aku berbalik dan pulang ke rumah. “Hay Del” sapanya dengan senyum yang membuat wajahnya  semakin tampan saja. “Hay Don” sapaku balik dengan ritme jantung penderita phobia. “makan dulu yuk” ujarnya “kok banyak banget Don, ini untuk satu kampung juga bisa?” candaku melihat banyak makanan di meja, “oh tadi aku telpon Rendi dan katanya kamu suka makanan makanan ini,” Rendi memang sahabat yang rese, pikirku. Selesai makan aku mengajarkan rumus yang Doni minta, aku sedikit heran sepertinya dia tahu rumus ini, dan menurut pemikiran jeniusku yang turun dari Gregor Mendel, harusnya dia tahu karena kami satu tempat les, dan pengajar fisika di tempat les kami mungkin turunan dewa fisika, soalnya tidak ada satu soal fisika pun yang dia tidak tahu.

“Del, lu udah punya pacar belum?” sela Doni saat aku masih asik menghitung angka-angka, sontak aku menjadi kaget dengan pertanyaan itu. “kenapa emang?” jawabku dengan sedikit paksaan tawa. “enggak, penasaran aja, lu sama Rendi sahabat apa lu punya perasaan buat Rendi?” Pertanyaan itu sontak membuat aku ngakak, dan berhenti ketika sadar aku sedang bersama siapa dan dimana. “gila lu, di itu sahabat gua, udah kayak saudara, lagian dia udah punya pacar kali” jawabku masih diiringi sedikit tawa, dan kulihat Doni tersenyum. “kalau aku suka kamu, boleh ngak aku jadi pacar kamu Del?” kata Doni sambal menatap mataku, sonta aku salah tinkah “apaan sih Don, bercanda lu garing tau” aku yakin saat mengatan itu mukaku merah mengalahkan buah strowbery yang sangat ranum sekalipun. “aku ngak bercanda Delva, sejak masuk ke sekolah ini, melihat kamu pertama kali saat di ospek, kamu yang selalu di kerjain senior, melihat kamu dihukum menyanyi, jalan jongkok, melihat kamu yang selalu berlari di koridor, bercanda dengan Imel, kamu yang berbeda dengan wanita lain, aku  menyukai kamu Delva” katanya masih menatapku, jantungku rasanya mau copot mendengar pengakuannya, aku semakin salah tingkah, benarkah dia menyukaiku, menyukai wanita yang biasa-biasa saja sepertiku. Jangan-jangan dia tahu aku menyukainya dan dia mau menjadikanku mainannya, atau mungkin dia sedang taruhan dengan temannya, pikirku mencoba mencari penolakan dalam otakku, tapi sialnya otakku memilih merespon kata-kata itu dengan bahagia.

“lu yakin dengan apa yang baru aja lu ucapkan Don? lu salah kali” jawabku dengan suara penuh kelembutan. “ia aku yakin dengan perasaanku, apa aku boleh jadi pacar kamu?” dia menatapku lembut, walau sangat ingin bilang iya seketika, namun aku harus punya sedikit harga diri sebagai perempuan. “gua ngak bisa jawab sekarang Don, beri gua waktu untuk meyakinkan diri gua Don”. Kata-kata itu begitu saja keluar dari bibirku walau percayalah seluruh hatiku emosi. Dalam perjalanan pulang aku banyak berfikir, tetapi semakin ku pertimbangkan semakin aku ingin mencoba hubungan dengannya, dan semakin takut akan sebuah penghianatan.

Dua minggu berlalu sejak aku memutuskan menjadikan Doni salah satu laki-laki penting di dalam hidupku. Belum banyak yang tahu hal ini kecuali sahabat-sahabat terdekatku, aku meminta Doni menjaga jarak jika berada di sekolah aku belum siap dengan bullyan para wanita-wanita di sekolah. Doni sebenarnya menolak keinginanku, dan akhirnya menyerah setelah seluruh jurus rayuan aku kerahkan. Selama dua minggu sih sulit berakting, terlebih Imelda yang sering keceplosan menggoda Doni di kantin, yang mengundang banyak mata curiga. Di tempat les pun sama, karena di tempat les banyak anak 84, berkali-kali Doni memintaku untuk menjalani hubungan seperti pasangan yang lain tapi aku benar-benar belum siap.

Aku Lelah Menatap Punggung Yang BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang