Aku membuka pintu mobil yang sudah terparkir rapi di garasi rumah orangtuaku. Masuk ke rumah besar dengan lesu karena jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Keluargaku masih ramai berkumpul di ruang tengah dengan layar tv yang menampilkan salah satu film barat oleh salah satu stasiun swasta.
Mama melihatku datang dan menyuruhku untuk membersihkan diri. Gerah sekali rasanya menghabiskan waktu seharian di apotek yang aku rintis dari nol. Sesuai keinginan mama yang memintaku untuk membuka apotek di kampung halaman setelah menyelesaikan studi S1 dan profesi apoteker.
Masuk kamar bukannya melakukan apa yang disuruh mama, aku malah membaringkan tubuhku di kasur empuk kesayanganku. Mataku terpejam rapat untuk menghilangkan rasa letih sekaligus menikmati dinginya AC yang menyala di atas kepala ranjang. Sampai suara ponsel dari dalam tasku berbunyi dengan tidak sabarnya, karena kesal aku mengambilnya dan melihat banyaknya pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
"Sa.!"
"Assalamualaikum."
"Ini Raisa Nada Shabita bukan?"
Aku mengernyit bingung membacanya. Menatap pesan yang masuk lalu berganti pada nomor yang tertera pada profilnya. Tidak bisa aku tebak siapa gerangan yang mengirimkan pesan malam-malam begini, bahkan foto profilnya pun hanya menampilkan siluet seseorang dibalik indahnya sunset.
"Waalaikumsalam, maaf ini siapa ya?" balasku masih kebingungan.
"Byan. Ingat nggak?" aku bangkit dari tiduranku setelah membaca nama yang tertera di layar. Aku ingat sekali Byan, tapi tidak mungkin kan Byan ini Byan yang sama dengan yang aku maksud.
Aku membalas lagi untuk memastikan sendiri. "Aldevaro Byan Mahendra?"
Tidak lama balasan datang setelahnya. "Kamu masih ingat ternyata." Aku kaget bukan main saat tahu dia adalah Byan yang aku taksir semasa kuliah dulu. Memang Byan mana lagi yang aku kenal. "Kamu apa kabar?"
Pipiku panas membaca pesannya. Secara perlahan pikiranku mengawang-ngawang kembali ke empat tahun lalu. Dimana moment kami menjadi saksi bisu perjalanan cinta dan patah hatiku.
***
Flashback On
Aku mundur dengan cepat tak kala mencit yang menjadi objek percobaan kami kali ini meloncat tinggi dan memberontak berusaha untuk keluar dari bak kecil berisi sekam padi dengan air mineral dalam pot kecil.
Ini kesekian kalinya aku gagal memegang hewan kecil berbulu putih itu. Bukan apa-apa, sebenarnya aku agak sedikit phobia dengan hewan berbulu. Jangankan mencit, hewan selucu kucing pun kadang aku panik sendiri saat dia berkeliaran di sekitarku, bahkan terkadang aku bisa merasakan kehadiran mereka walaupun mereka masih berada jauh dariku.
Aku mendesah kecewa lalu menjauh meninggalkan bak merah berisi seekor mencit tersebut. Menarik kursi yang ada di dekatku untuk duduk dan menyenderkan punggungku pada tembok putih, hingga akhirnya tubuhku meluruh karena lesu dan lelah.
Aku hanya bisa melihat dari kejauhan saat teman-teman kelompokku sibuk mengelus hewan kecil tersebut sebelum disuntik untuk dilakukan pengamatan. Andai aku seberani mereka, maka sekarang bisa jadi aku tengah sibuk berjibaku dengan hewan itu dibandingkan hanya menjadi penonton seperti ini.
Aku menoleh ke arah lain, berusaha untuk mengalihkan rasa kecewaku pada diri sendiri. Tatapanku berhenti pada sosok tinggi dalam balutan jas putih dengan rambut messy hitam yang sedang asik menikmati obrolan dengan sahabat-sahabatnya disaat jam praktikum berlangsung.
Byan, begitu kami sering memanggilnya. Cowok tinggi dengan rambut hitam lebat khasnya ditambah kacamata minus sebagai pelengkap penampilan memukaunya. Dia bukan tipe kutu buku seperti yang banyak dibayakangkan orang-orang, justru dengan kacamatanya itu semakin menampah nilai plus tersendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharmacouple
ChickLitTidak ada yang tahu selain kita, tidak ada yang mengerti selain kita, tidak ada yang sadar semua ini, kecuali...kita. Hanya kita yang tahu situasi ini, tapi sama-sama menganggap bahwa ini sekedar ketertarikan belaka dan berusaha menutupi rasa itu se...