Apa aja yang ada di pikiran kalian mendengar kata-kata 'SMA'? Yang pasti awalnya kalian berpikir SMA itu enjoy, kisah cinta, dan sebagai macamnya, tidak sama sekali. Apalagi buat gue anak yang dulunya suka banget melanggar peraturan sekolah, di dunia SMA yang berat ini, gue memutuskan untuk aktif di sekolah, eskul, dan organisasi. Awalnya berat untuk anak yang malas ini, tapi ternyata itu merubahku.
Memoriku berputar kembali ke awal masa-masa aku kelas 10, dimana aku saat itu sangat membenci Ali. Ia sangat menyebalkan.
Saat itu, aku sedang bertengkar dengan salah satu teman kelasku, aku melempar sepatu ke arahnya. Tapi, ternyata sepatuku salah sasaran, sepatuku malah mengenai kepala seseorang yang ada di sebelah temanku itu.
"Auch!" Ucap anak itu
"Maaf, maaf, sumpah ga sengaja, salah sasaran" kataku yang panik dan refleks memegang kepalanya.
"Makanya jadi cewek anteng napah!" Ucapnya dan langsung pergi
Teman yang sedang bertengkar denganku sudah lari kemana pun aku tak tahu.
"Aduh Alda, lu salah sasarannya ke Ali lagi, cowok tampan dari kelas sebelah" ucap Ghina yang daritadi ternyata mengejarku dan melihat semua kejadian itu.
Aku pun terus memikirkan anak yang menjadi korban salah sasaranku tadi
"Jadi namanya Ali Fayyaad? Kelasnya hanya berbeda jarak dua jarak dari kelasku" gumamku, sambil terus mencari-cari informasi tentangnya. Entah mengapa hari itu aku ingin sekali mencari tahu tentangnya, tanpa kusadari aku daritadi tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar di depan.
"Alda, kerjakan nomor tiga" ucap Bu Ela, guru matematika. Aku hanya diam mematung karena tidak mengerti satupun materi yang sedang dijelaskan. Untungnya Farah langsung memberikan bukunya yang sudah ada jawaban untuk nomor tiga dan menyuruhku maju ke depan.
✨✨✨
"ya jadi gitu ya gais kira-kira" ucapku, mengakhiri penjelasannya
"Apa sih Emi, ngoceh mulu" tambah Ali, berusaha membuatku marah
"Ada masalah apa sih sama gua, ribut aja deh yuk!" apa yang diharapkan Ali pun berhasil
Itulah Alda dan Ali sehari-hari, kami selalu bertengkar karena sangat dekat.
"Sudah, kalian ini ribut saja" ucap Gina melerai kami berdua
"Emey aja yang daritadi bawel banget, pengang kuping gue dia kebanyakan ngoceh" tambah Ali, membuatku makin kesal
"Gw lagi ngejelasin konsep ya, gak mau dengerin ya pergi aja gak usah ngomong" tambahku
"Kan gue punya mulut buat ngomong" nahkan si Ali gini nih kerjaannya, hobi banget mencari keributan, heran.
Hari-hari kulalui dengan semangat, mengapa? Ya karena ada Ali. Aneh ya, dibalik sifatnya yang menyebalkan, dia memiliki sifat yang lembut.
Banyak teman perempuanku yang berkata bahwa dia boyfriend-able itulah kata yang mereka sebutkan untuk tipe lelaki idaman.
Ali memiliki tinggi yang pas, rambut tebal, pintar, baik, bisa bermain alat musik, lembut kepada perempuan (kecuali aku), dan pastinya single.
"Gak jelas kalian semua, cowok kayak gitu dibilang boyfriend-able" kataku menanggapi sekumpulan anak-anak perempuan yang sedang membicarakan Ali.
"Alda, kasih kita tips and trick napah, biar bisa dekat sama Ali" ucap salah satu anak perempuan.
"Ha? Gue aja gak deket sama dia, gak jelas kalian" kataku mengelak
Akupun berjalan meninggalkan sekumpulan anak perempuan itu, bisa pusing nanti. Aku bingung apa sih yang mereka liat tentang Ali, jelas-jelas Ali itu galak suka ngomel sana-sini.
✨✨✨
Hari-hari pun berlalu, rasa ini mulai tumbuh. Rasa apaan? Rasa gatal?.
Aku makin dekat dengan Ali, dan makin sering juga kami mempeributkan hal-hal sepele.
Walaupun Ali suka memarahiku, tetap saja 'first human information' nya hanya aku. Akulah orang pertama yang dia cari jika ia butuh bantuan.
Sedekat apa pun kami, orang-orang tetap menganggap kami hanya sepasang sahabat biasa. Tidak ada istimewanya. Sepertinya itulah yang ada di pandangan Ali. Aku, hanya sebatas sahabat untuknya. Aku memang tidak pernah berharap lebih padanya, lagipula kami 'beda agama'. Hal itu yang membuatku semakin sedih, walaupun aku tak berharap lebih bersamanya, aku hanya ingin dia tau aku suka padanya.
Saat itu hujan deras, saat dimana aku harus pulang sore dari sekolah karena ingim menyelesaikan tugas. Rumahku dibilang cukup dekat dengan sekolah. Jika naik angkot terlalu dekat, jika jalan terlalu jauh. Saat hujan itu mataku sulit untuk melihat jalanan, hujan yang deras seakan menutup mataku. Saat di perjalanan pulang, aku bisa melihat tas neon terang, aku tau itu pasti tas Ali.
"Ali!" Kupanggil dia dari kejauhan, tapi suara hujan sepertinya menghalangi suaraku juga.
Tiba-tiba, tas neon itu berhenti. Aku pun terus melanjutkan jalan ku hingga akhirnya aku bersebelahan dengan Ali.
"Mey, hujan, ayo gue antar pulang" katanya secara tiba-tiba sambil menarik tanganku
"Ha? Gak usah, rumah gue deket ini" kataku yang tetap diam di tempat.
"Nah kan mulai kan, munafiknya, ayo cepat, nanti makin deras hujannya. Nanti lu sakit, lu kan kalau sakit suka ngomel, nanti berisik" katanya sambil tetap menarikku
Hari itu aku pulang bersamanya. Aku sudah pernah sebelumnya diantar pulang olehnya, tapi entah mengapa hari itu terasa berbeda. Aku merasa seperti tidak diantar oleh sahabat. Entahlah, mungkin saja hanya aku yang berlebihan.
Di perjalanan pulang, tetap saja aku basah kuyup. Aku tidak menggerutu sama sekali, aku senang bisa basah kuyup. Kupikir hujan membawa sial, tapi tidak, justru hujanlah yang membawa keberuntungan bagiku.
✨✨✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin
Teen Fiction✨✨✨ Emeralda Gracillia, yang biasa dipanggil Alda, mungkin tidak akan bisa melihat indahnya kota Hannover bila tidak ada dukungan dari Ali Fayyaad. Ali adalah seorang teman yang selalu mengingatkan Alda untuk semangat di studinya, tapi apakah Alda m...